Saya fasih berbicara mengenai masa lalu karena pernah saya
pernah berada di situ, dulu. Apalagi Tuhan memberikan saya anugerah berupa
ingatan jangka panjang yang sedikit tajam. Ingatan yang mampu menyimpan setiap
ornamen-ornamen ataupun jalinan yang pernah saya jalani tanpa takut waktu
gerogoti. Hentakan detik yang akan menjadikannya kopong dan usang karena
terlalu lama terbengkalai. Saya menyimpannya dalam jambangan khusus di salah
satu lobus otak saya yang berkerut.
Berbicara mengenai masa depan sering kali membuat saya
ketakutan. Saya hanya bisa menerawang yang dibumbui sedikit pengharapan.
Mungkin lebih tepat dikatagorikan sebagai langkah menguntai impian. Memupuk asa
yang digelembungkan lewat doa-doa panjang tidak kenal bosan karena ada
keyakinan kalau tidak sekarang mungkin nanti pasti akan terkabulkan. Menanti
saat yang tepat untuk menepi, menunggu waktu yang tak tentu. Saya hanya tahu
bahwa di masa yang akan datang saya akan bahagia. Semoga.
Berbicara mengenai masa depan sering kali membuat saya
ketakutan. Saya takut terbangun ketika mimpi justru belum sempat mengecap realisasi. Saya takut terpaksa membuka mata padahal mimpi yang saya reka belum
menjelma nyata. Ketakutan yang sebetulnya tidak beralasan. Ketakutan yang hanya
tumbuh dalam pikiran. Ketakutan yang justru membuat saya seperti orang yang
tidak beriman karena menyepelekan kemampuan Tuhan. Karenanya saya akan
senantiasa memintakan ampunan dan tuntunan agar semua yang saya takutkan hilang
tanpa kesan yang mendalam.
Bagaimana dengan masa sekarang? Mengapa saya tidak tertarik
untuk membicarakan masa kini? Terus terang sekarang hidup saya sedang
membosankan, berputar-putar pada lintasan yang memusingkan. Lintasan yang hanya
menghubungkan saya dengan koridor masa lalu yang tidak mau berlalu. Mengikat semua
perasaan sehingga sulit beranjak. Membelenggu hampir seluruh permainan ingatan
sehingga yang teringat hanya itu melulu.
Saya belum bisa move on. Entah kenapa. Cinta yang dulu
pernah saya punya untuknya sudah kandas. Regas. Anehnya saya masih saja berdiri.
Menatapi. Meratapi. Sungguh menyedihkan karena saya yakin kalau dia pasti sudah
melupakan. Sepenggal kisah yang mungkin menurutnya tidak layak untuk dikenang,
apalagi dulu saya hadir bagai ilalang. Tumbuh tidak kenal aturan di pekarangan
bertuan. Jatuh cinta pada dia yang hatinya masih termiliki.
Harusnya situasi tersebut memudahkan saya untuk sekedar
beranjak pergi, tapi ternyata tidak demikian. Dia menjelma menjadi sesosok
teman yang tidak bisa saya abaikan. Dia mengikuti saya di semua jejaring sosial
yang saya punyai. Dan terus terang itu menyakitkan karena saya seperti dipaksa
untuk terus membuka luka lama. Andai saya punya banyak pilihan atau setidaknya
sedikit keberanian untuk sekedar mengabaikan. Sayang saya terlalu takut dan
berubah wujud menjadi pengecut.
Ketika dulu saya terpaksa mengakhiri perasaan cinta kepada
dia yang hatinya masih termiliki, sebetulnya saya ingin memilih opsi kembali
menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal daripada berteman yang
ternyata menyulitkan saya untuk menyongsong masa depan.
1 komentar:
tadi nonton grey's anatomy.
katanya carpe diem.
Jngan membicarakan (memikirkan) masa lalu, sudah lewat.. gitu Bang..
:)
Posting Komentar