Saya merasa ditampar. Berulang-ulang. Di tempat yang nyaris sama.
Panas.
Dalam sms-nya teman tersebut mengajukan pertanyaan yang
membuat saya linglung. Tidak bisa menjawab segera karena saya merasa tersesat.
Lupa dimana sebenarnya sekarang saya berada. Memang itu hanya sementara karena
sesaat kemudian saya menemukan kalau saya seperti sedang berdiri di tepian
hati. Lagi. Dengan jawaban yang masih mengambang. Bimbang.
Pertanyaan itu terus mengiang-ngiang seperti suara kumbang
yang sedang kasmaran. Menghantui tidak mau pergi, mengikuti kemanapun saya
sembunyi. Tidak ada kesempatan untuk
saya melarikan diri, karena pertanyaan itu seperti mengikat erat kaki yang
sedang berdiri. Bergaung berulang-ulang meminta saya merefleksi hati. Termasuk
kedalam kelompok manakah saya selama ini.
“Ada yang terpaksa mencintai. Ada yang memaksakan diri agar
dicintai. Lebih cenderung kemanakah kamu?”
Begitu pertanyaan teman yang dikirimkannya melalui sms tadi
malam. Pesan singkat yang membuat mata saya tiba-tiba terbelalak. Pesan singkat
yang tidak mudah untuk saya jawab karena ternyata butuh analisis lebih, bukan asal menjawab untuk sekedar menipu diri. Seharusnya pertanyaan tersebut
dapat dengan mudah saya jawab, karena saya tahu dimana selama ini saya berada.
Tapi tetap saja saya bingung, linglung dilimbung banyak pertikaian antara akal
dan perasaan. Lagi-lagi saya harus bercermin pada hati dan kemudian menjawab
dengan pasti. Tidak lagi abu-abu, tidak lagi penuh ragu.
Dulu saya sering terpaksa mencintai. Mungkin lebih tepat
belajar mencintai walaupun diembel-embeli dengan imbuhan “terpaksa” belajar
mencintai. Saya senang sanjungan, saya gila dielu-elukan, jadi ketika seseorang datang dengan bekal
sayang yang sangat berlebihan saya merasa tertawan. Hanya itu biasanya, karena
kemudian saya cepat merasa bosan. Merasa menyesal telah meladeni tawaran hati
dan ingin segera berlari. Tapi perasaan kadung ikut terlibat, saya jatuh
kasihan sehingga saya melayani. Tanpa tendensi. Saya terpaksa mencintai.
Terpaksa belajar mencintai.
Sebut saya jahat. Karena memang itu yang seringkali terjadi.
Dulu. Ketika darah muda dalam diri saya mendidih butuh sarana. Ketika saya
belum bisa menerima kesendirian berkepanjangan. Sebetulnya saya hanya takut,
takut tidak dicintai. Takut sanjungan keburu pergi tanpa pernah sempat saya
rasai. Saya ketakutan, karenanya saya memilih opsi terpaksa mencintai. Terpaksa
belajar mencintai hanya untuk sekedar mengisi amunisi hati. Memanfaatkan
keadaan.
Sebut saya jahat. Nilai saya tidak punya hati.
Kemudian saya menyadari, meski terlambat karena waktu tidak
bisa diputar ulang seperti jam pasir yang bisa dibolak-balikan. Saya sadar
kalau selama ini saya banyak melakukan manipulasi hati. Menipu perasaan sendiri
hanya untuk sekedar merasa dicintai. Saya terbuai tapi lambat laun hati saya
lapuk seperti kayu yang terus menerus diguyur hujan tanpa perlindungan.
Saya memperbaiki diri. Saya berbenah, mengganti hiasan yang
selama ini saya gadang menghiasi ruang penuh kepalsuan. Saya memperbaiki diri,
berani menolak tawaran hati ketika saya tidak merasakan apa yang selama ini saya
cari. Cinta itu sendiri.
Sayang saya lupa kalau saya hidup di dunia penuh karma.
Selalu ada balasan untuk semua tindakan yang pernah dilakukan. Akan ada
ganjaran atas sesuatu yang pernah berlaku. Dan saya membayarnya sekarang. Tidak bisa langsung dilunasi karena ternyata harus diangsur hari demi hari, saya harus melunasi
melalui penantian panjang tidak bertepi.
Sekarang saya mati-matian berusaha untuk sekedar bisa
dicintai. Dan tidak ada yang peduli. Tidak ada yang kemudian mendekati untuk
sekedar mengamati. Sekarang saya mati-matian berusaha untuk sekedar bisa
dicintai, tanpa perlu menipu hati. Tapi tidak ada yang percaya lagi. Saya
berlari kesana kesini sendiri . Berusaha sekedar untuk dicintai.
Ini harga yang harus saya bayar. Balasan atas apa yang dulu
pernah saya lakukan. Entah sampai kapan saya harus membayar karena sepertinya
penantian ini masih panjang. Untung saya masih memiliki stok sabar yang
berlebihan. Satu atau dua tahun ke depan sepertinya saya masih akan sanggup
bertahan. Mudah-mudahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar