Di luar hujan sudah jarang datang. Tidak tampak lagi
dedaunan basah yang baru bercumbu dengan rintik yang turun perlahan. Tidak
terinderai lagi genting-genting kuyup
sehabis diguyur air yang tercurah tak berkesudahan. Semua berubah ritme.
Kemarau sudah menghadang di hadapan.
Lihatlah sekawanan capung yang bermigrasi di atas awan. Menutupi
biru menjadi kelabu. Menciptakan ilusi mendung yang seperti menipu. Mereka
terus terbang, berbondong-bondong mencari tempat ke utara yang lebih basah
untuk sekedar beranak pinak. Meneruskan garis keturunan. Menghindari kemarau
yang menjanjikan dahaga lewat kerontang tanah yang retak terpecah belah. Mereka
menjadi tanda, kemarau akan segera tiba.
Atau coba dengarkan dengan seksama, banyak bunyi tonggeret yang
kencang saling bersahut-sahutan. Serangga dengan kemampuan bersuara yang tidak
seimbang dengan bentuk dan ukuran tubuhnya. Mereka menyanyikan lagu seolah
bergembira menyambut kemarau yang sudah di depan mata, membalas dendam karena
saat hujan suara mereka dibungkam di dalam lubang. Mereka bersuka ria,
bersembunyi di balik daun-daun yang siap absisi. Mengasah pita suara yang
lagi-lagi menjadi tanda, kemarau tidak lama lagi akan tiba.
Semua berubah. Hujan berpamitan lewat kunjungannya yang
kadang-kadang. Kemarau mulai menyapa lewat coklat daun yang terpanggang
sempurna. Tidak ada lagi embun yang dapat disesap pagi hari, tidak banyak lagi
gutasi yang dapat dilihat menetes dari ujung-ujung rumput yang lembut. Semua
berubah, melewati siklus yang terus berulang. Hujan digantikan kemarau. Rimbun
digantikan ranggas yang bertahap. Mencipta serasah yang menggunung di atas
tanah.
Coba kau ingat lagi, kemarau ini kemarau keberapa kita
saling menghindar? Saling mencari jalan yang berlainan padahal dari jauh kita
sudah bisa saling memandang. Di persimpangan, ketika aku memilih ke kiri maka
kamu akan memutuskan untuk berputar lewat belakang. Di jalanan buntu, ketika
kamu memilih untuk terus melaju maka aku akan diam membalikan badan. Berusaha
untuk tidak terlihat dengan membuat banyak kesibukan. Dan kamu pura-pura tidak
tahu. Tidak saling menunjukan perhatian padahal kita saling mencuri pandang.
Sejenak.
Sebetulnya apa yang kita hindari? Perasaan saling menyakiti?
Perbincangan mengenai hati? Atau justru yang kita hindari hanyalah serangkaian
basa basi? Aku yakin kamu juga pasti tidak mengerti. Seperti sudah
ditandatangani dalam hati kalau menghindar adalah jalan paling aman untuk
diambil saat ini, entah sampai kapan. Mungkin sampai nanti ketika kita sudah
bisa berkompromi, ketika kita sudah bisa meraba hati sendiri dan menyadari
bahwa menghindar bukanlah solusi.
Sudah berapa kali kemarau kita begini? Mencampakan perasaan
yang mungkin masih tersisa sedikit dari kegiatan saling mengungkit. Membenamkan
hati pada kubangan tanpa penyelesaian. Saling menyakiti, saling menyalahkan dan
saling tidak mau mengalah.
Aku bosan menghindar. Kamupun pasti demikian. Mengambil
jalan memutar untuk sekedar saling menghindar hanya membuat kita seperti naik
komedi putar. Berputar-putar dilintasan yang sama tanpa beranjak kemana-mana.
Masalah diantara kita sudah lama selesai. Seharusnya. Kalau
saja kita tidak sama-sama mempertahankan hati dengan ego yang bercokol tak mau
pergi. Semua perasaan sudah enyah, kalaupun masih tersisa itu hanya remah-remah
yang tidak pantas dipunguti untuk kemudian dihidangkan. Sudah tidak ada lagi
cinta, tapi kenapa yang muncul justru benci. Sudah tidak ada lagi rasa, tapi
kenapa kita masih saja menyimpan kecewa.
Kemarau sudah datang, dan ini kemarau kesekian kita saling
menghindar. Kenapa di kemarau yang sepertinya masih panjang ini kita tidak
duduk bersama. Berbicara. Bukan untuk mengungkit luka lama, tapi justru
mengobati luka yang mungkin masih menganga. Menyelesaikan pertikaian yang
seharusnya sejak dulu disudahi. Membuka lembaran baru tanpa lagi saling
membenci .
Sini duduklah di dekatku. Kita nikmati sekawanan capung yang
terbang bermigrasi menutup biru menjadi kelabu. Kita dengarkan lagu bebunyian
tonggeret yang bersembunyi di balik daun yang siap absisi. Kita berbicang, tidak
perlu saling menggenggam tapi tidak perlu juga saling mendendam.
4 komentar:
ini bukan kemarau, ini summer
wkwkwkwkwk....instead of kemarau, aq koq lbh suka musim panas y kang? ngga tau kesannya 'sadis' aja klo kemarau.....aniway, seperti biasa, kombinasi kata2nya indah :)
@glo: ah kamu sok ngingris. hehehe...
Di indo mana ada musim panas, yang ada musim hujan sama kemarau. Begitu kata guru SD jaman dulu. Xixixixi
hahaha... lho, bukannya musim ada tiga? kemarau, hujan dan musim paceklik. haha
@Falra: hahaha, masih ada musim kawin kalau begitu....
Posting Komentar