Saya anak kost sejati. Sejak memutuskan untuk keluar dari
rumah selepas menyelesaikan pendidikan untuk bekerja, saya berkelana dari satu
rumah kost ke rumah kost yang lainnya. Sepertinya terlalu berlebihan kalau saya
bilang rumah kost karena sebetulnya saya hanya mampu menyewa sebidang kamar
kost dan bukannya satu rumah utuh.
Banyak yang menyarankan untuk saya menyewa rumah saja atau
bahkan ada yang gencar menyuruh saya membeli rumah mengingat pekerjaan saya
yang sudah mapan. Mapan dalam artian tidak akan ada ancaman bagi saya di PHK
atau diberhentikan sepihak. Menurut mereka apa lagi yang saya tunggu, padahal
harga rumah di kawasan pinggiran Jakarta dimana sekarang saya tinggal setiap
tahunnya merangkak dengan kenaikan yang fantastik.
Terus terang saya belum kepikiran. Saya masih nyaman
berlindung di dalam sepetak kamar kostan yang semakin sempit karena sepertinya
barang-barang yang saya miliki beranak pinak tak bisa ditahan. Sekarang,
satu-satunya area yang lenggang di dalam kamar kost saya hanyalah area yang
menghubungkan dipan dengan kamar mandi. Selebihnya sesak berisi tumpukan barang
dalam container-container plastik, entah itu berisi baju, buku bahkan sepatu.
Tidak bisa saya bayangkan bagaimana kalau ke depan saya
menyewa atau beruntung memiliki sebidang hunian yang akan saya sebut rumah
tempat saya pulang. Keinginan saya untuk berbelanja pasti tidak bisa lagi
ditahan, apalagi akan banyak ruangan kosong yang sepertinya sayang kalau tidak
diisi oleh barang. Pasti selalu ada alasan atau sekedar pemakluman untuk saya
membeli barang yang mungkin tidak terlalu dibutuhkan. Tapi saya memiliki
keyakinan kalau suatu saat barang tersebut pasti akan dibutuhkan. Kalau tidak
sekarang, pasti nanti akan bisa digunakan. Satu dari sekian pemakluman yang
sering saya ucapkan.
Tidak heran kalau kamar kost saya penuh berisi barang. Dan
anehnya saya tetap saja nyaman berdiam di dalamnya. Nyaman itu diciptakan di
pikiran, jadi kalaupun kita tinggal di rumah yang luas luar biasa tapi pikiran
kita tidak nyaman pasti rumah tersebut menjadi berasa tidak nyaman. Lagi-lagi
satu dari sekian pemakluman. Jadi biarkan saja saya dengan kenyamanannya
tinggal di sebidang kamar yang sesak oleh barang.
Di bulan Ramadhan seperti sekarang, sebagai anak kost saya
juga mempersiapkan banyak hal terutama yang berhubungan dengan aktivitas sahur
dan berbuka. Dan saya senang dibuatnya karena ada alasan untuk saya (kembali) mempergunakan
magic com yang selama ini berdebu di dalam kardusnya karena tidak pernah
dipakai. Atau ada alasan bagi saya mengeluarkan beberapa wadah tupperware yang
dulu saya beli dari seorang teman kantor karena jatuh kasihan, untuk diisi abon
atau kering kentang yang saya pesan dari Bandung. Lihat apa saya bilang, suatu
saat barang-barang tersebut pasti akan terpakai. Tidak ada yang sia-sia.
Saya anak kost sejati. Saya tidak khawatir dengan ketakutan
banyak anak kost lainnya yang takut ibadahnya terganggu karena tinggal
sendirian, seakan sendirian adalah sebuah beban. Buat saya, sendirian atau
berpasangan puasa akan tetap berasa lapar. Saya terbiasa memasak nasi sendiri,
membuat minuman hangat sendiri, membeli masakan jadi sendiri, dan itu tidak
pernah menjadi beban. Saya menikmati kesendirian saya menjalankan puasa di
bulan Ramadhan.
Soal banyak pertanyaan yang bernada miring yang sering
ditujukan kepada saya sebagai anak kost, saya tidak lagi gentar. Pertanyaan
sahur sama siapa tidak lagi membuat saya gelagapan, karena sudah bertahun-tahun
sebetulnya saya sahur tidak pernah benar-benar sendirian. Saya sahur selalu
berdua. Bersama masa lalu. K