Halaman

Senin, 13 Januari 2014

Cermin Usang

Aku terperanjat. Sontak melangkah beberapa acuan mundur ke belakang. Langkah tanpa koordinasi yang membuatku sedikit terjengkang. Untung masih ada pinggiran bufet yang bisa kujadikan sanggaan badan yang bereaksi tanpa prediksi.

Sejenak aku terdiam, berusaha menenangkan diri. Mengatur nafas yang tadinya berpacu seperti dikejar-kejar waktu. Lama. Ketenangan tidak kunjung datang, aku masih saja ketakutan. Nafas masih saja menderu. Detak jantung kurasakan lebih cepat beberapa kali dari biasanya. Keringat mulai membanjiri dahi kemudian menjalar ke tengkuk dan punggung. Kuyup.

Aku melirik ke tempat dimana tadi aku menemukan sedikit janggal. Sebuah pojokan temaram dimana di dindingnya menepel sebuah cermin usang yang tidak pernah terjamah rupa. Mungkin sudah sedemikian lama dia tidak bertemu bayangan yang tergambar. Sepertinya dia hanya mencumbui debu. Bersahabat dengan sinar matahari yang terbias dari celah-celah atap rumbia yang tidak kalah usang.

Penasaran, aku beringsut mendekat. Melangkah jingjit guna meminimalisir suara yang yang pasti tercipta. Pelan-pelan sampai aku merasa siap untuk melihat lagi ke arah cermin yang tadi menampilkan sosok yang tidak aku kenal. Entah keberanian dari mana yang tersulut saat itu, yang pasti aku hanya ingin membuktikan kepenasaranku. Membuktikan apa yang tadi kulihat bukan sekedar bayangan semu seperti yang selalu terbentuk di dalam kepala. Aku hanya mencari tahu.

Jarak sudah sedemikian dekat, ada perasaan ingin mundur dan membiarkan apa yang baru saja kejadian menjadi misteri tanpa pembuktian. Tapi keinginan untuk terus mendekat justru lebih besar hingga kini aku tepat berdiri di depan cermin misterius itu. Aku menatap lurus ke arahnya, berharap ada yang berubah seperti saat aku terjengkang ke belakang. Tidak ada perubahan. Yang teramati hanya debu tebal yang menempel seperti karat. Tidak ada bayangan padahal aku jelas berada tepat di depannya. Aneh.

Aku terpaku. Tidak lantas beranjak meskipun hasil yang kuharapkan tidak aku temukan. Aku diam. Menunggu. Aku yakin pasti ada sesuatu. Gemetar aku mengangkat sebelah tanganku, mencoba menyibak sedikit debu supaya lebih banyak cahaya yang terkumpul. Belum genap tanganku sampai pada permukaan cermin, tiba-tiba muncul bayangan seperti yang aku temui tadi di awal. Kali ini aku tidak melangkah mundur ataupun terjengkang. Kali ini aku tetap berdiri di hadapannya seperti menantang.

“Kamu siapa?” Seperti orang gila aku bertanya pada bayangan dalam kaca. Tidak ada jawaban. Hanya hening yang terpapar.

Aku kemudian mengulang, “Kamu siapa?” Lama tidak ada sahutan hingga aku hampir kehilangan kesabaran. Kuangkat tanganku, kukepalkan kemudian berniat untuk menghantam. Tapi aku lantas diam dengan kepalan mengambang di udara. Sosok di dalam cermin kusam itu tersenyum memamerkan sederetan giginya yang rapi. Perlahan dia kudengar tertawa atau lebih tepatnya mentertawakan. Sementara aku hanya bisa diam. Memperhatikan.

Dia masih saja tertawa. Menggema di hampir seluruh ruangan. Suara tawanya seperti penuh ejekan meskipun aku tidak tahu apa yang dia tertawakan atau apa yang dia cibirkan. Perlahan tawanya hilang. Perlahan aku bisa menginderai sosoknya dengan benar. Dengan jelas. Tapi aku tidak punya ingatan sedikitpun tentang sosok itu, mungkin ada sedikit tapi semuanya baur. Bias oleh cahaya yang semakin lama semakin terkumpul seperti pusaran. Aku berusaha mengingat, siapakah dia. Kenapa dia bisa muncul di dalam cermin yang aku gunakan untuk berkaca.

“Kamu tidak tahu siapa aku?” Dia bertanya balik dengan intonasi yang mengintimidasi. Aku menggeleng tanda aku tidak berhasil membongkar kotak memori untuk mengingat siapa sosok itu. Dia kemudian tertawa. Dengan isyarat tangannya dia memintaku untuk semakin mendekat.

Aku melangkah, awalnya ragu kemudian pasrah seperti dituntun tanpa bisa melakukan perlawanan. Di depan cermin usang itu aku mendekatkan telingaku. Perlahan kudengar dia berbisik “Aku adalah kamu!” Kaget, kujauhkan telingaku. Kutatap dia seakan meminta penjelasan. Tanpa perlu ditanya sepertinya dia sudah siap menjawab.


“Kamu berubah! Semenjak memiliki pasangan, kamu berubah. Sedemikian berubahnya sampai kamu tidak lagi mengenali siapa dirimu sendiri” Setelah mengatakan itu sosok dalam cermin usang menghilang dan yang aku rasakan hanyalah hitam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Ah. Kamu tetaplah Apis yang ku kenal. Hanya saja sedang larut dalam euforia cinta saja. Nikmati sajalah, nanti ketika rutinitas tercipta, pasti akan ada sedikit ruang waktu untukmu menabur benih cerita du taman indah ini :)