Halaman

Selasa, 01 Oktober 2013

Menyalin Wajah

Kesalahanku hanya satu. Terlalu khusuk menyalin wajahmu sepanjang perjalanan hari itu. Wajah yang rautnya aku salin sempurna dalam lembar-lembar ingatan terbaik yang pernah aku punya. Tidak hanya raut yang aku gambar, tapi aku selipkan juga rona-rona yang terhias bagai pelangi yang muncul setelah hujan sore hari.

Kesalahanku hanya itu. Kesempurnaan replika yang aku salin dalam lembar terbaik ingatan ternyata sulit untuk dienyahkan. Bahkan ketika kesakitan dia hidangkan di altar sebagai bukti ketidaksetiaan yang akhirnya terbongkar. Wajah itu tetap berada di sana, menempati tempat yang paling istimewa padahal rasa terhadapnya sudah tidak pernah lagi ada. Mungkin secara tidak sadar aku justru memeliharanya, membiarkan dia tetap subur dalam ranah ingatan dengan substrat sejumput kenangan usang.

Sebetulnya tidak ada yang layak dikenang. Potongan-potongan cerita yang dulu terasa indah hanyalah sebuah kiasan. Bumbu yang justru menyamarkan dari rasa yang sesungguhnya terhidang. Sayang lidah suka akan tipuan sehingga seringkali tidak bisa membedakan mana kenyataan dan yang mana kebohongan.

Aku terlalu khusuk menyalin wajahmu sampai otak menolak lupa. Tidak hanya dulu, tapi hingga saat ini. Dan aku menyesal. Dengan keterbatasan kemampuanku membuat pola bagaimana bisa wajahmu justru tergambar dengan sempurna. Dengan keterbataan tanganku menghubungkan satu titik kordinat ke titik koordinat berikutnya, bagaimana rautmu justru tercipta tanpa cela. Aku ingat semua, bahkan setiap detail yang kadang orang lain tidak menyadarinya. Aku ingat semua, bahkan pada bekas luka yang kamu tutupi dengan sejumlah perona.

Ternyata aku salah. Yang aku salin dengan khusuk justru adalah sebuah topeng. Penghalang yang kamu kenakan untuk menyamarkan siapa yang sesungguhnya ada di belakang. Berbulan-bulan aku gambar wajahmu dalam berlembar-lembar kertas buram dengan penampakan yang nyaris sempurna. Ratusan malam aku habiskan tinta hanya untuk membubuhkan semua tanda yang aku rekam ketika mata terjaga. Dan itu sebuah kesalahan. Sketsa itu masuk ke dalam ranah ingatan jangka panjang hingga sekarang. Tidak mau enyah, bercokol tidak beritikad pergi.

Aku sudah jauh berjalan selayaknya kamu yang mungkin sudah ditelan penggalan-penggalan kisah yang terjelang. Aku sudah banyak menyicip jalinan-jalinan baru yang ditawarkan ketika aku berjalan meniti tujuan, tapi otak tetap nenolak lupa. Wajahmu yang dengan khusuk aku salin waktu dulu senantiasa menyambangiku. Mendatangi bahakan di saat sesungguhnya aku sedang ingin sendirian. Datang tanpa diundang justru menyulitkan karena seringkali aku tidak punya ancang-ancang. Tiba-tiba terpelanting karena tidak siap menerima kehadiran sosok yang wajahnya aku salin dengan khusuk  meski hanya serupa bayangan.

Kesalahanku hanya satu. Terlalu khusuk menyalin wajahmu sehingga menepel pada ranah ingatan yang sulit dienyahkan. Dengan sekali kejapan aku bisa meningat semuanya, mengesampingkan kesakitan yang sering kamu pertontonkan. Dengan satu helaan nafas, kamu sempurna terhadirkan mengalahkan luka yang sebetulnya tidak bisa disebut kering benar.


Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi kali ini aku bersungguh-sungguh ingin lupa. Selamanya.

Tidak ada komentar: