Halaman

Senin, 07 November 2011

Drama di Kepala

Aku menjadikan kepalaku sebagai panggung tempat pementasan drama. Puluhan cerita siap dipentaskan ketika aku menekan tombol on di sebelah tulang mata. Tanpa perlu aba-aba, babak demi babak akan runut dimainkan sesuai dengan skenario yang aku gubah sendirian. Kadang penuh persiapan tapi seringkali spontan ketika aku sedang butuh tontonan.

Memang pementasan drama di kepalaku cenderung asosial. Tidak ada penonton yang bertepuk tangan di akhir pertunjukan, atau mengeluarkan sumpah serapah karena sudah membayar sejumlah uang dan tontonannya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Bahkan tidak ada penonton yang tertidur pulas di bangku keras karena keburu bosan sebelum cerita sampai pada klimaksnya. Pementasan drama di kepalaku sepi pengunjung, tapi tidak pernah berhenti berlangsung.

Aku tidak peduli dengan rating karena sebetulnya drama yang aku cuplik bukan untuk konsumsi publik. Aku tidak peduli dengan tidak adanya komersial yang katanya akan meningkatkan nilai jual. Aku hanya ingin panggung yang memang sudah ada tidak miskin cerita, aku ingin mereka tetap gempita meskipun kenyataannya banyak yang kontra. Aku hanya ingin pemeran-pemeran tanpa casting yang sudah aku reka menemukan nyawanya dalam alur sebuah laga.

Terkadang aku membuka sedikit sekat agar pementasan drama yang tengah diputar di kepala menemukan udara. Membuatnya sedikit lega karena terlepas dari pengap yang mendera. Lewat jendela imaji paparan demi paparan aku unggah penuh makna. Bukan untuk mengumbar ataupun membanggakan atas apa yang sedang dirasakan, aku hanya ingin sosok-sosok yang kerap aku pelihara dalam bandrol drama mengenal dunia. Aku ingin mereka lantas bercerita bahwa mereka sebetulnya ada.

Tidak terlalu berlebihan rasanya ketika mereka aku hadirkan layaknya nyata. Menunggang aksara mereka membungkuk memperkenalkan perannya dalam sebuah jalan cerita. Menitis dalam kata mereka memainkan skenario yang digubah penuh prahara. Tapi jangan kasihani mereka, karena mereka hanya bersandiwara. Jangan kasihani aku karena aku hanya seorang penggubah cerita, seorang penggila drama dalam pentas tanpa suara di kepala.

Lewat jendela imaji aku berbagi. Menyapa serakan ribu maya yang berkunjung merapal kidung. Bagai cermin di pinggiran trotoar aku berdiam, menyediakan awahan bagi pejalan kaki yang sekedar ingin merefleksi. Berdiri sebentar kemudian meraba hati, berharap setelah itu sebuah senyum terulas di wajah sang pejalan kaki. Meski tipis tapi aku tahu kalau dia merasa tidak pernah hidup sendiri. Ada orang sepertinya yang memainkan peran yang sama dalam drama yang pentas di kepala. Bedanya hanya karena dia itu nyata.

Aku penggila drama, karenanya aku gagas banyak pertunjukan di dalam kepala. Meski tanpa riuh deru penonton yang gemuruh, pertunjukan tetap harus dijalankan. Mengikuti jadwal kesepakatan antara pihak-pihak yang tidak kelihatan.

Aku penggila drama, dan kalaupun aku umbar ceritanya melalui aksara, aku hanya ingin membersihkan panggung dari debu yang menggunung. Agar ketika sudah sedikit bersih, aku bisa menciptakan lagi babak baru yang kusenandungkan dalam nyanyian. Sendirian.

4 komentar:

Asriani Amir mengatakan...

sya suka teaterrr... loh??
"Agar ketika sudah sedikit bersih, aku bisa menciptakan lagi babak baru yang kusenandungkan dalam nyanyian. Sendirian", kdang seseorang mmg bisa kasmaran utuh dgn dunia saat ia sendiri. :D

Rona Nauli mengatakan...

saya mengerti :)

Gloria Putri mengatakan...

dramanya kalau ditulis di taman aksara pasti aq jd penontong yg bertepuk tangan :)

tulisannya bagus, suer dehhh, aq selalu sampe bengong klo baca tulisan kang apis :) kebawa bgt emosinya :)

have a nice day kang :)

Apisindica mengatakan...

@accilong: waaah suka teater juga yah? yup setuju, saya suka sendirian karena saya bisa mencerna "dunia" saya secara utuh

@rona: syukurlaaaah :)

@glo: terima kasih untuk apresiasinya. tersanjung :)