Halaman

Jumat, 04 November 2011

Bersemi (Kembali)

Hilang kata. Semua menguap ke udara ketika sosok itu berdiri tersenyum di hadapanku kemarin senja. Tanpa kabar dia tiba-tiba bertandang, membuat limbung seketika. Mengoyak semua tatanan yang tersusun rapi di dalam kepala, membuatnya bergerak acak berlarian tanpa pola. Kebanyakan berebut minta disembunyikan, tapi ada beberapa bagian yang justru menantang ingin ditampilkan.

Sekian tahun tidak ada yang berubah. Hanya gurat kedewasaan yang semakin banyak dipertontonkan wajahmu yang tetap rupawan. Senyummu masih sama, senyum yang pernah membuatku seperti hilir mudik diantarkan ke nirwana. Senyum yang senantiasa mengembang mengiringi bergulirnya hari. Senyum yang pernah padam seperti api terguyur hujan ketika selepas ashar kita bersitegang dan memutuskan tidak lagi berpegangan.

Jangan bertanya apakah saat itu aku merasa kehilangan, atau apakah aku tidak menyesal. Berminggu-minggu aku sakaw mencandu kehampaan sampai akhirnya bebal. Berhari-hari aku selayaknya setan yang bergerak melayang. Tidak aku rasakan kaki yang menapak menopang massa seakan teori relativitas Einstein bekerja tanpa kerangka. Aku kehilangan meskipun sebetulnya sakit yang tengah dia hidangkan.

Bukankah seharusnya ada segumpal maaf yang menggelembung di ujung ketersiksaan? Bukankah seharusnya aku bisa memilih buta dan berdamai dengan apa yang sudah dia lakukan? Sayang aku tidak bisa memilih opsi itu, aku lebih memilih membuka mata tentang kenyataan bahwa dia sudah membagi apa yang seharusnya tidak dia bagikan. Aku lebih memilih melepaskan karena mungkin itu bisa membuat dia lebih bahagia. Aku belajar tidak egois.

Tapi lihat, setelah sekian tahun aku belajar melupakan, sekarang dia datang lagi. Menimbulkan turbulensi yang masih tetap memporakporandakan. Membuatku menaiki mesin waktu ke masa lampau untuk merinci apa yang tidak bisa hilang dari pekarangan kenangan. Dia begitu indah, karenanya dia dan aroma memorinya aku bingkai dalam pigura tanpa kaca. Menyisakan secuil kemungkinan untuk aku rogoh dan aku hadirkan ketika aku ingin bertamasya. Berjalan di pematang yang sering aku dan dia lewati dalam bayangan.

Ratusan pertanyaan berawalan ingatkah bermunculan perantaraan tatapannya yang melumat diriku hingga lekat. Tidak banyak suara yang menggetarkan udara, tidak banyak pertanda yang harus diterjemahkan rasa. Aku dan dia hanya duduk dalam hening dengan jalan pikiran yang saling bertumbukan, mencipta momentum-momentum jawaban dari semua pertanyaan yang keluar bergantian. Merapal semua kemungkinan.

Aku tidak bisa menjanjikan taman untuk saling bercengkrama seperti dulu. Dia juga tidak menjanjikan untuk menyemai ratusan benih bunga beraneka warna sebagai hiasan. Masa lalu telah mengajarkan aku dan dia bahwa terlalu berharap hanya akan menimbulkan kesakitan berkepanjangan. Terlalu dalam menggali perasaan hanya akan menjadikan semuanya sebagai jeratan yang siap menghadang.

Untuk saat ini aku dan dia hanya memulainya dengan rasa percaya. Mengobati luka yang masih menganga, entah untuk berapa lama.

2 komentar:

Cindikya mengatakan...

halohaa,,
semoga g bikin tambah galau, orang bisa datang dan pergi kapan sajo!:P

Apisindica mengatakan...

@cindikya: tenang kalaupun galau, paling hanya galau artificial :)