Halaman

Senin, 24 Oktober 2011

RINDU

Rindu itu adalah ketika aku masih bisa merasakan rumput basah yang menggelitik telapak kakiku di halaman belakang rumahmu, padahal waktu sudah bergulir seiring dengan sobekan-sobekan almanak yang bertempo dinamis.

Mereka mengendap dalam labirin-labirin panjang tanpa sekat di sebuah padang ilalang subur tak terurus. Mempertontonkan ranum tarian angin yang membelai bulir-bulir kembang ilalang seakan menggoda dan mengajaknya berdansa.

Rindu itu adalah ketika aku masih bisa membaui aroma tubuhmu bahkan ketika kamu belum sepenuhnya masuk pintu. Menunggang udara, mereka menyapa lebut syaraf-syaraf penciumanku kemudian mencumbunya perlahan. Berkarat dalam rongga ingatan.

Perantaraan segala wahana, mereka minta dihadirkan meskipun aku tidak menghamba. Membuat limbung seketika karena aku seringkali tidak siap menerima hantamannya yang membabi buta. Mendesirkan selaksa lewat darah yang kuat terpompa menjelajahi setiap inchi bagian tubuhku, menjajahnya dengan leluasa.

Rindu itu adalah ketika aku masih seperti dalam rengkuhanmu padahal dulu itu malam terakhir kita berjumpa. Kamu pamit, tapi pori-poriku selayaknya terbungkam keringat yang meleleh gemetar dari erat yang tercipta. Mereguknya dan disimpan di jambangan rahasia untuk diuapkan sedikit demi sedikit sesukanya, bahkan ketika aku sudah hampir lupa.

Mereka menari. Bercanda. Bahkan tertawa lepas dalam palung-palung emosi yang memenuhi halaman rasa yang aku pelihara. Mereka sengaja menjebakkan diri pada palung buntu tanpa saluran sehingga tidak bisa lepas dari jeratan. Menenggelamkan diri dalam ceruk dangkal yang mudah tergambar membentuk bayangan. Memutar kisah antara aku dan kamu dalam bumbu kerinduan yang tertahan.

Rindu itu ketika kita berlarian di jalanan aspal tanpa sandal. Berebut berburu layang-layang yang putus tanpa tujuan. Tidak peduli lagi pada luka parut yang mungkin akan tergores, tidak takut pada matahari yang garang memanggang.

Dalam selokan mereka berdiam, dorman ketika lingkungan dirasa tidak menguntungkan. Seperti spora cendawan yang menyelubungi diri dengan selimut tahan ancaman, mereka hidup menghimpun tenaga untuk pecah suatu masa. Menyebarkan anak panah untuk menancap pada simpul-simpul syaraf yang membuatku tak bergeming menghadapi serangan.

Aku bertahan, meski kadang kala air mata meleleh perlahan. Membentuk alur memanjang sebagai pertanda suatu kepedihan. Aku menguatkan diri dengan mengkerut di pojokan, menonton kilas balik masa lalu yang menggantung dalam layar ingatan. Seperti godam yang berulang-ulang memukul ujung saluran pencernaan, tidak berhenti hingga semuanya termuntahkan tanpa sisa dan meninggalkan perasaan lega.

Rindu itu adalah seperti saat ini. Ketika aku rindu merindukan seseorang. Sepertimu. Dulu.

5 komentar:

Jo mengatakan...

Oo u woo aku rinduuu...
Katakan padanya aku rinduuuuu....

Hihi

Anonim mengatakan...

Deskripsinya keren, Kakak. ;D

Apisindica mengatakan...

@Jo: keliatan banget sih lo angkatan berapanya #eh #ups

@wiwi: Makasih kakak! dicoba dulu kakak, banyak pilihan kakak!! (berasa di gerai Giordano) :P

fatul mengatakan...

rindu itu seperti gurun, pertemuan adalah oasenya...
salam kenal...

Apisindica mengatakan...

@fatul: dan kadang oase hanya sebuah fatamorgana yang membuat kita memupuk rindu selamanya.

salam kenal juga Mas!