Halaman

Senin, 10 Oktober 2011

Pertaruhan

Taruhan. Sudah sekian lama saya mempertaruhkan hidup saya di atas meja judi. Tidak ada kekhususan judi jenis apa yang menjadi favorit saya, karena saya hanya ingin bertaruh bukannya berjudi. Andaikan permainan anak-anak semacam galasin bisa diajadikan ajang taruhan, saya pasti sudah mempertaruhkan hidup saya disana. Menikmati ketegangan, mencari keberuntungan.

Lewat dadu yang dilempar atau kartu yang dihentak bergantian, saya mempertaruhkan hidup saya. Mengatur beragam strategi untuk mendapatkan kepuasan batin yang tergambar melalui seulas senyuman kemenangan. Saya seringkali tidak tertarik dengan hadiah utama, karena proses bagaimana jantung saya berpacu seiring dengan deru kocokan dadu atau kocokan kartu mejadi hal yang menurut saya lebih penting untuk dinikmati.

Tidak jarang saya terlewat gila, saya gadaikan tidak hanya sebagian hidup saya tapi hampir keseluruhannya. Yang tersisa mungkin hanya kepercayaan bahwa siapa tahu saya menang. Siapa tahu saya bisa memberikan hidup saya sensasi arung jeram adrenalin yang akan membuatnya lebih kuat. Tempaan-tempaan semacam ini memang saya perkenalkan pada hidup saya agar dia tidak cengeng, agar dia tahu bahwa ada rasa yang disebut dengan kekalahan.

Saya bukan Tuhan, jadi tidak selamanya saya menang. Saya sering dipaksa menyicip kalah, dan kekalahan itu akan saya nikmati dengan mengemasi hati. Beranjak dari ajang pertaruhan itu untuk menjajal arena pertaruhan baru. Bagi saya mengemasi hati bukan lagi sesuatu yang dirasa sulit, aneka pengalaman telah memberi saya awahan untuk melakukannya sesederhana menghirup udara. Memang kadang arena pertaruhannya meninggalkan jejak yang tidak mudah dihilangkan, merapat erat pada hati selayaknya lintah yang belum puas mereguk darah. Tapi saya tetap berkemas dan terus berjalan.

Waktu akan menyembuhkan. Mengikis perlahan ketidakberuntungan yang saya pernah taruhkan di meja perjudian, meski tetap akan meninggalkan sebuah ceruk seperti bopeng akibat jerawat yang digaruk paksa. Kalau sudah seperti itu maka saya akan membungkusnya dalam kristal memori untuk saya telan dan simpan di lobus khusus hati saya. Kristal bening yang bisa saya terawang isinya ketika suatu saat saya ingin bernostalgia. Bukan mengungkit, karena saya hanya melakukan wisata hati. Memutar film dokumenter yang ceritanya sudah pasti usang.

Waktu akan menyembuhkan. Memberikan kekuatan baru untuk saya mempertaruhkan hidup di arena perjudian yang berhadiah sama. Saya tidak akan pernah tahu saya menang kalau saya tidak bertaruh. Saya tidak akan pernah bisa mengklaim kalau saya seorang pecundang, apabila saya tidak menggadaikan kepercayaan saya kemudian kalah. Saya hanya menjalani hidup dengan mengecap pertaruhan demi pertaruhan, dengan harapan di salah satu ujung pertaruhan entah yang mana saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan.

Kali ini, entah untuk yang keberapa belas kali, saya pasang taruhan kemudian bermain sesuai aturan. Tidak banyak yang saya pertaruhkan, hanya segenggam hati perak kecil berisi anyaman kepercayaan yang saya inisiasi sejak lama. Sesaat sebelum saya melemparkan kocokan kartu ke landasan, saya terpejam dan berharap bahwa pertaruhan saya dengan takdir di permainan ini akan saya menangkan dan mengantarkan saya pada seseorang yang akan saya panggil jodohku.

5 komentar:

Gloria Putri mengatakan...

wuhhhhh...
kata2nya yg terakhir aq AMIN-i kang.....
semoga cepet dpt yaaaaaa :)

Anonim mengatakan...

Kata Pak Haji, Judi itu haram, Pis.

Apisindica mengatakan...

@Glo: amiiiiiiin...

@Arik: kalo haram itu bukan kata pak haji. tapi kata bang hati. Ter-La-Luuu :)

Jo mengatakan...

Ooh.. Jadi sekarang fokusnya udah bukan ke proses lagi dong yaa.. Jadi ke hasil akhirnya aja gt. Setujuuuuu... Kalo keenakan berpetualang lama2x nanti malah kebablasan hihi...

Apisindica mengatakan...

@jo: hahhaa, you've got the point then....