Halaman

Senin, 03 Oktober 2011

Laki-laki dan Seorang Bocah

Bocah itu menangis sesenggukan, seakan kesakitan yang baru saja dia rasakan tidak lagi terperi. Bahkan apabila ada orang lain yang melihatnya, mereka bisa langsung merasakan apa yang bocah itu rasakan, seperti menyilet pergelangan tangan sendiri dengan potongan parut yang tidak sesuai dengan bentuk anatomi ototnya. Luka perih yang berantakan.

Pikiran kanak-kananknya sebetulnya tidak bisa dengan jelas mencerna apa yang baru saja dia rasakan. Pengalaman baru yang mungkin sebetulnya tidak ingin dia alami apabila situasi sedikit saja lebih berpihak kepada keberuntungan hidupnya. Sayang, sepertinya jalan cerita yang telah dipilihkan untuk dia lakoni mengharuskannya mengecap pedih. Lewat tangan kecilnya dia menjamah sesuatu yang diluar kendalinya.

Bocah itu teraniaya. Bocah tanpa dosa itu terluka.

Seorang laki-laki setia menemani bocah itu melewati segala macam kepedihan, seperti pasangan sejiwa mereka tidak bisa terpisahkan. Laki-laki itu jatuh kasihan kepada bocah yang seharusnya tidak pernah mengalami kepahitan yang membuat hidupnya berdarah. Laki-laki itu seperti sosok seorang kakak yang selalu hadir ketika bocah itu membutuhkan lawan bicara, atau setidaknya menjelma menjadi sepasang telinga yang rela mendengarkan setiap perih yang terapal dari mulut sang bocah yang tanpa cela.

Mereka bersahabat. Laki-laki itu menjadi saksi bagaimana nista menyambangi si bocah ketika dia diberondong tak berdaya. Laki-laki itu bagai kumpulan naskah yang menampung air mata sang bocah saat dia berjalan terseok di tengah keterpurukannya. Laki-laki itu seperti layar hitam putih yang kapanpun bisa memutar film yang mengejawantahkan si bocah tanpa ada bagian yang terlewat dan keliru. Mereka bersinergi sedemikian kuat dan sempurna.

Seiring waktu, bocah itu tetap menjadi seorang pesakitan. Seorang anak kecil yang tidak lantas bisa memberangus semua hal yang pernah menimpanya sampai gamang. Dan laki-laki itu gagal membebaskan si bocah dari kelam masa lalu, laki-laki itu justru tanpa disadari seperti memberi pupuk dan wahana yang mempersubur perasaan sakit yang tetap dirasakan si bocah. Tanpa sadar, laki-laki itu membiarkan si bocah tetap duduk menangis di pojokan serta meratapi dan menyesali kejadian yang dia kutuki sepanjang hidupnya. Laki-laki itu bertahan, si bocah tidak terbebaskan.

Sebetulnya laki-laki itu tahu apa yang harus dia lakukan. Membukakan pasungan si bocah dengan memberinya pengertian untuk memaafkan dan bergerak melupakan. Memang semua noda yang telah tergambar tidak akan dengan mudah dihilangkan dalam sekali usapan, tapi berdamai dengan diri sendiri termasuk memaafkan orang yang telah meneteskan noda dalam hidup si bocah lambat laun pasti akan membebaskan. Mengikis masa lalunya yang temaram.

Tidak ada untungnya memelihara kesakitan si bocah, meskipun sampai sekarang laki-laki itu masih sering ikut menangis mengiringi kepedihan yang bocah itu dendangkan. Laki-laki itu setia melindungi si bocah dengan cara yang salah. Membiarkannya terus meratapi noktah-noktah luka yang menggerogoti batin sampai kopong. Membiarkan bocah itu mengutuki dan mempersalahkan dirinya sendiri atas apa yang pernah terjadi. Membuatnya tetap berpikir bahwa si bocah terlalu lemah dan menyesali kelemahannya itu sampai mati.

Memaafkan dan melupakan adalah dua kunci yang akan membebaskannya dari trauma yang sepanjang hidupnya membayangi tak berhenti. Mungkin sekaranglah saatnya laki-laki itu membebaskan bocah yang hidup di dalam tubuhnya dari pasung nista dengan cara berdamai dengan diri sendiri.

Note: ditulis untuk seorang sahabat di luar sana yang terus menderita akibat trauma masa lalunya yang berkepanjangan. Seperti apapun kamu, saya akan tetap menemanimu dan akan berusaha selalu hadir setiap kamu butuhkan. Kapanpun.

2 komentar:

Wuri SweetY mengatakan...

Hmmm emang indah sekali ya persahabatan, selalu ada kapanpun dibutuhkan, saat seneng maupun susah.

Apisindica mengatakan...

@wuri: satujuuuuuu!!!!! :)