Halaman

Rabu, 05 Oktober 2011

KARAM

Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Bukankah semua jembatan sudah aku jajal?
Mungkin memang perlahan
Tapi setidaknya aku sampai di ujung pandangan

Waktu bergerak ibarat anak panah yang melesat
Lewat busur yang meregang dia terlontar tak bisa dihalang
Mengantarkan aku pada satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya
Setia mengikutiku yang kadang berlari tapi seringnya terpapah

Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Ratusan perahu alang-alang sudah aku larung ke lautan
Meskipun tidak ada satupun yang kembali pulang
Aku tetap berdiri menunggu di tepian

Karam,
Sepertinya mereka karam sebelum bertemu dengan daratan
Atau jangan-jangan justru tenggelam sesaat setelah mereka terlepas dari tangan
Dihempas angin yang berputar-putar di atas buritan

Mataku terpejam
Sebait pujian aku nyanyikan kepada pencipta alam
Kalau itu masih dirasa kurang
Tak ragu akan aku tarikan sebuah ritual mirip upacara seserahan

Kudengar bisikan yang datang menunggang kepiluan
Dia membewarakan bahwa benar semuanya sudah karam
Membentur karang di negeri seberang
Tercerai dari harap yang aku ucap dalam bimbang

Aku kecewa tentu saja
Bagaimana bisa alam membelot dari titah sang raja
Kuludahi langit sebagai bentuk tidak terima
Kurapal serapah untuk menunjukan angkara

Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Haruskah menunggu bangkai perahu alang-alang itu terkubur di dasar lautan?
Atau aku harus meronce lagi satu demi satu harapan?
Yang mungkin akhirnya juga akan tetap karam

Karam, kau buat aku hidup dalam penyesalan.

4 komentar:

Jo mengatakan...

Aduh penuturannya baguus.
Putus cinta?...

Asop mengatakan...

Jangan sampai karam saat olahraga..
Eh itu sih kram ya.

putu mengatakan...

another sweet remedy mas apis :)

Apisindica mengatakan...

@Jo? putus cintaaaa? pacarannya kapaaaan?! :))

@asop: jayus ah!!!! :D

@putu: semoga memang remedy dan bukannya memedi. hihihi