Halaman

Kamis, 20 Oktober 2011

I Love My Ally

Saya mengenal Ally ketika saya masih berpakaian putih biru. Perkenalan yang tidak disengaja tetapi memberikan kesan yang begitu mendalam. Ally memberi saya pengalaman jatuh cinta pada pandangan pertama. Entah bagaimana awalnya, tetapi sejak saya melihatnya hati saya berucap bahwa dia sosok yang menyenangkan. Seorang perempuan yang bisa membawa saya merasakan arung jeram perasaan yang sering kali dia pertontonkan.

Pertemuan saya dan dia memang dibatasi oleh waktu. Saya hanya memiliki kesempatan bertemu dengannya seminggu sekali, itupun tidak jarang saya melewatkan pertemuan itu karena saya ketiduran. Bodoh, padahal sedari pagi saya sudah menuliskan jadwal dalam hati untuk bertemu dengannya. Kalau sudah seperti itu, ketika saya terbangun dan Ally sudah tidak ada di tempatnya maka saya akan merasakan kosong. Seperti ruh saya diambil paksa dan hanya meninggalkan raga yang bebal rasa.

Ally seorang perempuan yang mandiri. Perempuan yang dengan keunikan karakternya justru membawanya menapaki setingkat demi setingkat undakan hidup menuju kesuksesan menurut takarannya. Saya banyak belajar dari dia, termasuk bagaimana mentertawakan banyak kebodohan ketika hal tersebut dilakukan tanpa sadar dan berefek panjang. Saya berkaca pada perempuan itu, mengambil intisari hidup dalam mata saya yang masih bocah.

Tak jarang saya mengamatinya ketika sedang menangis sendirian di kedai kopi, atau melampiaskan kekesalan serta kesedihannya pada berbotol-botol minuman keras. Saya tidak bisa melarangnya, saya tidak memiliki kapasitas itu karena saya dan dia seperti dipisahkan sebuah sekat kaca. Tembus pandang tapi tidak bisa saling bersentuhan. Karenanya saya hanya mengamati sambil berharap andai saja saya bisa mendatanginya dan merengkuhnya atau paling tidak menangis bersamanya.

Ally mengajarkan saya bagaimana menjadi sentimentil. Mendahulukan perasaan daripada logika dan akal nalar meskipun pada akhirnya tetap tersadar dan bangkit mengejar ketertinggalan. Ally sering membuat saya menangis dan tertawa disaat yang bersamaan lewat tingkahnya yang kocak sekaligus membuat haru. Sebal sebetulnya saya kalau dia sudah berlaku seperti itu, mengaduk-ngaduk perasaan saya sampai kadang saya bingung harus ikut tertawa atau justru mengeluarkan air mata. Tapi Ally pintar, di ujung setiap cerita yang dia pertontonkan dia selalu membuat saya tersenyum lega dan bertekad untuk menemuinya lagi di minggu berikutnya.

Kami bersahabat, atau lebih tepatnya saya bersahabat dengan dia sementara saya tidak tahu dia akan menganggap saya sebagai apa. Saya tidak mempermasalahkannya selama dia masih setia menyambangi saya di jadwal tetap pertemuan kami. Dia tidak pernah absen, tidak seperti saya yang selalu saja ada masa dimana saya melanggar janji untuk bertemu dengannya. Dia tidak pernah marah, tapi saya seperti dibebani karena saya akan luput mengetahui apa yang telah terjadi semenjak pertemuan terakhir kami. Dan pasti saya akan menyesal.

Lewat penuturan Ally, saya mencoba memahami hidup. Perbedaan usia tidak lantas membuat saya berhenti mengaguminya. Lewat sosoknya, saya mengecap bahagia luar biasa karena bisa menjadi semacam saksi dari perjalanan hidupnya yang saya akulturasikan dengan kehidupan saya sendiri. Jauh berbeda memang, tapi proses memahami hidup bagaimanapun akan tetap sama karena hidup mengajarkan bagaimana kita harus bertahan. Hidup memaksa kita berstrategi untuk sekedar menjadi seorang pemenang atau seorang yang beruntung. Dari Ally saya belajar semua itu.

Ally boleh saja pergi, tapi apa yang sudah dia torehkan di hati saya selama beberapa periode waktu tidak akan pernah hilang. Semuanya berbekas tanpa cela, siap diumbar kembali ketika saya ingin melakukan napak tilas seperti minggu kemarin. Saya mendatangkan lagi Ally untuk sekedar bernostalgia, sekedar mengingat kebodohan-kebodohan saya yang percaya bahwa perempuan itu bisa membuat saya bahagia. Tapi memang begitu adanya, ketika saya menghadirkannya lewat sekat kaca yang membatasi kami seperti kemarin saya tetap saja tertawa dan merasa bahagia.

Saya tidak bosan mendatangkannya dalam ingatan saya melalui gambar-gambar yang bergerak beraturan. Sampai kapanpun saya akan mengagumi Ally, Ally McBeal. Pengacara sinting yang hadir dalam serial TV berlangganan jaman dulu. Yang kemudian saya koleksi keping DVD-nya lengkap selama 5 season, 10 CD dan 13 episode dalam setiap Cdnya.

8 komentar:

Rona Nauli mengatakan...

ahahaha...serial TV ini juga tontonan-ku jaman masih sekolah-kuliah :D

Jo mengatakan...

Koleksi yang lain udah ditonton? Mengharukan juga lhoo

Gloria Putri mengatakan...

ini kayaknya serial jaman aq masih TK-SD....wkwkwkwk...jd ga gt ngerti :) hehehhe

Apisindica mengatakan...

@rona: berarti kita seangkatan dooonk?! hahaha

@jo: belom booo, will and grace elu masih ada di gw tuh. Masih rapih dalam tempatnya.

@glo: iya deh yang masih mudaaaaa :)

Tanto mengatakan...

Salam kenal. Aku dulu juga suka, sama si pengacara ini. Wanita yang lucu dan tangguh.

Apisindica mengatakan...

@tanto: salam kenal juga. Aku sih suka bukan cuma dulu, tapi sampai skarang :)

youknowwho mengatakan...

ih mau dunk warisan koleksi dvd nya *wink*

Apisindica mengatakan...

@yesiknowwho : yaelaaaah, rajin blogging lagi jeuuung. Kesepian yah cuma ngurus anak di OZ. #ups :)

eh dvd warian elu juga masih ada di gw. six feet under kalo nggak salah...