Halaman

Kamis, 19 Mei 2011

Sebuah Analogi

Benda itu semakin berdebu seiring waktu. Tanpa pernah tersentuh, debu menumpuk ibarat karat yang menggerogoti hampir semua permukaannya. Mengaburkan sosok aslinya yang sebetulnya mengkilat dan berkilau.

Semenjak kehadirannya, benda itu tak pernah berpindah tempat. Tetap teronggok di atas meja seperti ketika pertama kali tiba. Kehadirannya dulu mungkin ambigu, didatangkan dengan fungsi yang jelas tapi entah untuk apa. Kalaupun akan disebut sebagai hiasan, benda tersebut tidak bisa dikategorikan sebagai hiasan. Tapi baiklah, kita sebut saja dia sebagai hiasan meja. Penghuni salah satu sudut yang seringkali terabaikan.

Saya tidak mengerti kenapa dulu benda itu saya datangkan. Dari awal saya tahu kalau saya tidak akan menggunakannya sesuai fungsi. Kegiatan yang seharusnya melibatkan benda tersebut tidak pernah saya jamah, entah karena alasan kesehatan atau karena alasan karena saya memang tidak suka. Jadi kalaupun benda itu digunakan pasti akan melenceng jauh dari fungsi aslinya. Itupun dulu, sekarang dia sudah benar-benar terabaikan. Bak pesakitan yang hanya menempati sebuah pinggiran, dan berdebu.

Kamar saya yang asosial membuatnya semakin tidak pernah terjamah peradaban. Mungkin dulu saya membelinya untuk berjaga-jaga kalau suatu hari kamar saya tidak lagi asosial, ada yang berkunjung kemudian membutuhkan kehadiran benda tersebut. Daripada mengotori ruangan, lebih baik saya menyediakan benda tersebut. Setidaknya membantu saya untuk tidak berjibaku dengan urusan membereskan kamar yang tidak saya suka. Tapi itu hanya sebatas teori. Sampai saat ini kamar saya masih asosial, dan benda itu tetap dingin mengigilkan kebisuan.

Harusnya saya pindahkan saja benda itu, atau kalau perlu saya buang sekalian. Tapi niat itu selalu urung sebelum eksekusinya benar-benar dilakukan. Saya masih berfikir bahwa suatu saat saya akan membutuhkan benda tersebut, entah akan sesuai dengan fungsinya ataupun tidak.

Ada sedikit ketidakrelaan di hati saya ketika harus sekedar menyingkirkannya. Entah kenapa, tapi rasanya berat. Seperti akan berpisah dengan sahabat lama yang sudah menemani saya bertransformasi. Sahabat yang menjadi saksi bisu tentang harapan-harapan yang saya umbar ke udara. Mungkin dalam ketidakterjamahannya, diam-diam dia mengucapkan amin atas semua doa yang saya ucapkan. Atau bisa jadi dia ikut berdoa tentang sesuatu yang akan membuatnya menjadi difungsikan. Entahlah.

Tapi kemarin akhirnya saya menyerah. Saya buang benda itu ke dalam tempat sampah di depan kamar. Bukan karena saya mengubur semua impian yang berkenaan dengan benda tersebut, bukan juga saya ingin menyelamatkannya dari kesunyian panjang. Satu langkah ceroboh membuatnya membentur lantai dan menjadikannya serpihan. Umurnya tidak panjang, bahkan dia berakhir sebelum dia bertemu jodohnya.

Setelah kejadian itu kemudian saya berdoa, semoga saya tidak bernasib seperti asbak berdebu yang saya simpan di atas meja. Dipaksa menyerah oleh keadaan ketika belum bertemu dengan pasangan yang seharusnya. Sebatang rokok.

7 komentar:

nita mengatakan...

Dari td coba nebak apa tuh bendanya.. xixixixi ndak taunya asbak. yo wes buang aja mas, lagipula ngerokok itu ndak baik bwt kshatan lho ;)

FeraSuliyanto mengatakan...

oh yaampun..ternyata asbak!

tapi bagus penggambarannya...suka suka suka! :)

Sassy Enno mengatakan...

oh ttg asbak ya? hahaha....
keren tulisannya yud :D

Paulus mengatakan...

hadeee.....:D

Farrel Fortunatus mengatakan...

udah bisa nebak dari beberapa paragraf awal sih (sok mulai bisa nebak jalan pikiran apis ha ha ha...).

Anonim mengatakan...

huahahaha dikirain teh naonnnn... taunya roko :D hihihi

Apisindica mengatakan...

@nita: hehehe. Iyah nggak baik buat kesehatan tubuh dan dompet :)

@fera: terima kasiiiiiiiiih!!!!

@mbak enno: seneng kalau dipuji mbak enno. karena biasanya nggak cuman lip service :P

@mas pau: yup, Hadeeee!!!!! :D

@farrel: igh, sok tau deeeeh.....

@Zi: bukan rokok Ziiii, asbak!!!