Karena saat itu pekerjaan sedang banyak-banyaknya, tulisan yang saya buat tidak sempat dibaca dan diedit ulang apakah penggabungan yang saya lakukan kongruen atau malah tidak. Sekali jadi langsung kirim, mengingat saya juga mensubmit di hari terakhir batas pengumpulan. Dan benar saja, tulisan saya tidak jadi penenang.
Kemarin malam ketika saya masuk ke kamar saya di Bandung, saya menemukan kiriman dari nulisbuku.com yang berisi buku 17 kumpulan cerpen terbaik dari lomba tersebut. Alhamdulillah "dunia paralel" tercetak di sana beserta cerpen pemenang 1, 2 dan 3.
Nggak nyangka aja. Ternyata setelah digerus menulis banyak jurnal ilmiah, saya masih bisa menulis prosa. Bangga. Itu saja. Berikut saya posting ulang cerita tersebut. Kali-kali saja ada yang penasaran :)
DUNIA PARALEL
Di
sebuah gerai kopi yang nyaman seorang laki-laki duduk sambil sibuk mengetik di
atas tuts-tuts keybord komputer jingjingnya. Dia sendirian. Di atas meja bundar
di depannya hanya ada komputer, gelas plastik berisi es mocha milk kesukaannya
dan sebuah asbak tak berpenghuni. Asbak yang merepresentasikan dirinya.
Sendirian. Dan kosong.
Entah
apa yang tengah dituliskannya di lembaran kertas putih yang kadang terisi
beberapa kalimat tapi kemudian kosong lagi karena seketika dipijitnya ctrl A kemudian del. Sepertinya dia sedang kebingungan. Gagal menuliskan sesuatu
yang tengah berkecamuk di dalam pikirannya, atau jangan-jangan dia sedang
berkutat dengan sebuah pekerjaan kantornya. Tapi ini malam minggu, dan
laki-laki itu bukan karyawan yang super sibuk sampai harus bekerja di malam
yang katanya banyak bergelimpangan cinta.
Lama
dia terdiam. Sinar dari layar komputer menerangi hampir seluruh wajahnya. Tidak
tergambar raut kekalutan seperti saat dia terburu-buru menghapus beberapa
kalimat yang baru saja diketikannya sebelum membentuk sebuah paragraf utuh.
Tidak juga terlihat sebuah keputusasaan padahal beberapa saat sebelumnya dia
menghela nafas panjang kemudian menyeruput minuman dingin favoritnya. Dia
nampak biasa saja. Hanya terlihat sebagai laki-laki yang menikmati malam minggu
sambil berusaha menuliskan sesuatu yang mungkin dia juga tidak tahu. Sendirian.
Laki-laki
itu seperti memberikan pengumuman tidak tertulis dengan bunyi “apa yang salah
dengan menghabiskan malam minggu sendirian?” Dia seolah tidak peduli dengan
orang yang berlalu lalang sambil bermesraan atau sekedar berpegangan tangan.
Baginya mungkin itu hanya sebuah tontonan gratis yang terlalu diobral.
Romantisme yang diumbar seakan butuh pengakuan kalau mereka adalah pasangan.
Picisan.
Mendadak
dia bersandar. Merebahkan punggungnya yang sedikit terlihat tegang di bantalan
kursi yang semula berjarak. Ada sebuah tanda tanya di wajahnya. Tanda tanya
yang mungkin bisa dengan jelas terlihat oleh orang yang memperhatikannya dengan
seksama. Tanda tanya di akhir pertanyaan yang mungkin menggelumbung di dadanya.
Pertanyaan yang kemudian dijawabnya dengan cara berlari. Laki-laki itu seperti
berlari dari berondongan pertanyaan kenapa di malam minggu seperti ini dia
hanya berdiam di rumah dan sendirian dari para handai taulan. Karenanya dia
berlari. Menghabiskan kesendirian di gerai kopi favoritnya. Tempat yang dia
anggap aman untuk terlihat seperti mencari kesibukan.
Laki-laki
itu tetap berada di dimensi yang sama. Sendirian. Entah itu di rumah ataupun di
tempat persembunyiannya sekarang. Bedanya dia hanya terbebas dari serangkaian
pertanyaan yang mungkin memekakkan gendang pendengaran. Pertanyaan yang
laki-laki itu bosan menelannya. Pertanyaan yang sering kali tidak cukup dijawab
hanya dengan diam. Apalagi sekumpulan angka terus bergerak di lingkaran
usianya.
Sudah
jauh laki-laki itu berjalan sendirian. Menapaki setiap pematang yang membentang
ingin ditaklukan. Membuka setiap kesempatan yang menggoda untuk sekedar
dijajal. Banyak yang sudah dia dapatkan entah itu kebahagiaan atau sebuah
kesakitan. Pelajaran-pelajaran hidup yang justru menguatkan, menempa batin yang
awalnya rapuh tak tahan cobaan. Banyak pula yang sudah dia belanjakan.
Penantian, mempertaruhkan, menyodorkan perasaan, disakiti, disia-siakan. Dan
dia bertahan. Berharap semakin kuat setiap harinya meski dilaluinya dengan
melakukan beragam pelarian.
Menurutnya
sendirian bukan berarti lemah atau menjadi bisa dilemahkan. Sendirian buat
laki-laki itu menjadi sebuah jalan untuk melakukan banyak penilaian. Objektif,
tidak lagi subjektif. Pematutan dari serangkaian kegiatan ketika dia mulai
berjalan. Penilaian dari serangkaian penerimaan diri ketika pertama kali
menyadari kalau ada yang berbeda dari sebagian besar orang. Penilaian yang
mulanya lebih banyak berisi angka merah karena dipenuhi dengan banyak
kemarahan. Pengugutan kepada Tuhan. Ketidakterimaan.
Apakah
laki-laki itu sekarang sudah memperoleh jawaban? Entahlah. Yang pasti dia sudah
mengantongi sebuah pemakluman hasil berjibaku dengan banyak pertanyaan yang
dulu sering dia gadang. Hasil yang mungkin tidak sesuai dengan harapan banyak
orang. Hasil yang mungkin membuat orang justru mentertawakan. Laki-laki itu
tidak peduli. Hidup bukan hanya pada koridor menyenangkan hati orang lain yang
justru tidak mengenal siapa dia sebenarnya. Hidup adalah bagaimana meraih
kebahagiaan dengan caranya. Meskipun sendirian.
Sendirian
bukan halangan. Sendirian justru membuat laki-laki itu kuat dengan caranya
sendiri. Terdengar klise? Pastinya. Mudah dijalani? Tentu saja tidak. Butuh
waktu tidak sebentar untuk dia sampai pada fase seperti sekarang. Butuh banyak
pemakluman seperti yang sudah dia bilang. Butuh banyak menebalkan telinga
karena selalu sendirian menimbulkan banyak pertanyaan dari lingkungan, seakan
kalau sendirian menjadikannya seorang pesakitan. Kesepian. Butuh dikasihani.
Kasihan.
Kebiasaan
sendirian bukan berarti laki-laki itu tidak lantas mencari pasangan. Lagi-lagi
pengalaman mengajarkan banyak hal. Bukan berarti karena ingin lepas dari stigma
kesendirian dia menjadi tidak lagi memilah. Angka dikepala tidak lagi muda.
Bertualang dari satu pemberhentian sesaat ke pemberhentian sesaat yang lainnya
bukan lagi saatnya untuk dilakukan. Sayang memboroskan waktu untuk sesuatu yang
dari awal sudah dia tahu bagaimana
ujungnya, apalagi dengan kesadaran penuh bahwa ternyata dengan sendirian dia
baik-baik saja.
Laki-laki
itu sudah jauh berjalan sendirian. Mencoba menikmati apa yang sudah Tuhan beri
sebagai jalan yang memang harus dijalankan. Tanpa pertanyaan walaupun terjal.
Sudah jauh dia berjalan sendirian. Menyemai banyak doa di setiap kesempatan,
berharap suatu saat ada sebagian doa yang dikabulkan. Tidak perlu semua, karena
dia tahu tidak akan semua doa bertemu dengan jawaban. Sudah jauh dia berjalan
sendirian. Mengetuk pintu-pintu virtual sampai bertemu dengan apa yang
(mungkin) selama ini dia idam-idamkan.
Apa
laki-laki itu bosan? Tidak jarang. Tapi dia punya keyakinan kalau bosan hanya
akan membunuh harapan. Kesendirian membuatnya kreatif agar terbebaskan dari
belenggu bosan. Kesendirian memaksanya memutar akal agar dia tidak lantas mati
perlahan. Laki-laki itu tetap harus hidup untuk berbagai alasan.
Malam
ini dia masih saja berjalan sendirian, seperti biasa dia akan mengetuk pintu
yang sudah dia amati sejak lama. Awalnya ragu tapi kemudian dia menantang diri
untuk terus berani. Lama tak ada jawaban. Dia
menunggu. Satu, dua, tiga sampai sembilan. Tetap tak ada jawaban hingga
akhirnya dia memutuskan bahwa dia harus memutar badan dan kembali berjalan.
Tepat di langkah pertama yang dilakukannya, sebuah pemikiran yang tiba-tiba membuatnya
seperti seakan tersadar.
Sementara
itu di sebuah dunia paralel, seorang perempuan berbaju biru yang dipadu dengan
celana jins ketat tampak bergelendotan manja pada tangan kekasihnya. Mereka
berjalan bersisian di sebuah pusat perbelanjaan ternama di kotanya. Tanpa
riskan mereka masuk dari satu gerai ke gerai lainnya sambil terus mempertontonkan kemesraan. Cinta
yang diumbar seolah tidak ada yang keberatan.
Perempuan
itu sumringah. Tidak tampak sama sekali sebuah beban di hidupnya. Bagaimana
tidak, di sampingnya ada seorang laki-laki yang padanya dia menggantungkan
banyak pengharapan. Sedih berada jauh dari jangkauannya karena dia sudah
menemukan cinta. Rasa yang dia gadang akan mengantarkannya pada perasaan
pulang. Cinta yang akan menerbitkan sebentuk lain dari sebuah harap yang selama
ini dia bayangkan. Termiliki. Seutuhnya.
Laki-laki
di sampingnya terus mengenggam tangan sang perempuan. Seperti berlekatan kedua
tangan itu tidak terpisahkan. Sesekali laki-laki itu menggoda yang dibalas
dengan cubitan manja si perempuan yang mendarat di perutnya. Laki-laki itu
seperti ksatria, tahu betul apa yang dibutuhkan pujaan hatinya. Sementara si
perempuan berlagak jinak, seperti sudah ditaklukan lewat serentetan kejadian
yang melambungkannya ke nirwana.
Mungkin
bagi mereka tidak ada istilah malam minggu karena semua malam adalah serupa.
Berisi hanya cinta. Mungkin bagi mereka, entah perempuan yang berbaju biru dan
bercelana jins ketat atau laki-laki yang menjelma ksatria semua sudah diaturkan
Tuhan. Ditulis dalam sebuah perjanjian jauh sebelum mereka dilahirkan. Sekarang
mereka hanya memainkan peran, berusaha memenuhi perjanjian banyak pasal yang
tidak pernah mereka ingat pernah ditandatangani berbarengan.
Ketidakingatan
pada sebuah perjanjian yang dibuatkan Tuhan kadang menyebabkan seseorang salah
mengambil jalan. Salah menterjemahkan bunyi pasal yang maknanya tidak tersurat
secara gamblang. Salah mengejawantahkan arti karena bunyi dibaca tidak terlalu
teliti. Karenanya banyak orang salah meyakini. Banyak orang salah mengambil
titian langkah yang justru berputar padahal tujuan terpampang jelas di hadapan.
Di
gerai kopi yang mulai sepi, laki-laki yang seperti sedang berlari kembali
menuliskan sesuatu di layar komputernya. Lama dia terdiam setelahnya.
Mencermati satu demi satu kata yang dia tuliskan menjadi sepenggal kalimat
lengkap. Terlihat ada sebuah kepuasaan di wajahnya, seperti menemukan
pencerahan. Tangannya menggeser-geser kursor kemudian menghapus kalimat yang
baru saja mengantarkannya pada sebuah kepuasan. Membuat kertas di layar
komputernya kembali putih tanpa coretan.
Sesaat
setelah laki-laki di gerai kopi itu menghapus kalimat yang membuatnya orgasme,
tiba-tiba perempuan berbaju biru bercelana jins ketat di sebuah dunia paralel
merasakan sesuatu yang lain di hatinya. Sontak dia melepaskan genggaman
tangannya yang seolah menempel dengan laki-laki yang selama ini dicintainya.
Entah kenapa ada desir lain yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah
keraguan yang timbul dalam sebuah keyakinan. Kegamangan yang hadir dalam sebuah
kepercayaan. Absurd.
Laki-laki
yang berselimut kesendirian beranjak dari gerai kopi yang didatanginya sejak
dua jam silam. Mulutnya bergumam merapal kembali kalimat yang sudah dia hapal
benar. Kalimat yang tadi dihapusnya setelah seketika mendapatkan pencerahan.
Laki-laki itu terus mengulang dan mengulang. Dia bilang “Jodohku malam ini
mungkin sedang sibuk mengumbar kemesraan dengan orang yang dia anggap
jodohnya”. Lagi-lagi sesaat setelah laki-laki yang nampak sedang berlari
selesai mengucapkan kalimat itu, hati perempuan berbaju biru bercelana jins ketat
di dunia paralel mendadak hangat. Entah karena apa.
1 komentar:
Jodoh ku manaaa.. Jodoh ku manaaa...
Posting Komentar