Dia memutuskan untuk pergi. Katanya mencoba peruntungan baru
karena di kota ini dia merasa sudah banyak hal yang membuat mutung.
Dia memutuskan untuk pergi. Membuat ceruk kesedihan menemukan
jalan untuk mengalir lewat air mata yang menetes padahal sudah sekuat tenaga
ditahan. Berusaha kuat padahal hati terasa sempoyongan. Mencoba tegar padahal
perasaan seperti dilanda badai topan.
Aku mencoba bermufakat dengan akal. Tidak berlaku egois
karena menurut nalar arti bahagia itu adalah melihatnya bahagia. Tidak peduli
kalau ternyata kebahagiaan itu diperolehnya dengan cara beringsut meninggalkan
kenyamanan yang sudah sekian lama kami rasakan. Tidak peduli kalau kebahagiaan
itu ternyata harus diperoleh dengan perantaraan jarak yang terbentang. Jarak
yang membatasi ketika hanya ingin saling memandang. Jarak yang terbentuk pada
saat tangan ingin saling mengenggam. Sekedar berdekatan.
Dulu, jauh sebelum hati bersepakat untuk berjalan berisisian
kemungkinan untuk saling terpisahkan sudah ada dalam frame pemikiran. Entah dia
atau justru aku yang memulai. Dalam timeline kami jarak sudah dipertimbangkan
akan membayang meskipun datangnya entah akan kapan. Artinya kami harus
senantiasa siap memasang kuda-kuda. Tidak lantas goyang tanpa awahan ketika
jarak tiba-tiba datang memaksa untuk dihadirkan. Tidak segera ambruk ketika
perpisahan berbuah jarak terhidang tanpa diundang.
Dia memutuskan untuk pergi. Mendahului aku yang di
babak-babak awal justru yakin akan memulai langkah itu terlebih dahulu. Dan
ternyata aku tidak sesiap apa yang sudah dibayangkan. Kaki ini goyah juga
meskipun tetap memasang kuda-kuda. Aku seperti direnggut paksa dari rasa nyaman
yang senantiasa bisa dihidangkan ketika kapanpun ingin berduaan. Aku seperti
mendadak disuruh berhenti dari kesenangan merasakan sensasi komedi putar karena
arena pasar malam tiba-tiba ditertibkan oleh sekawanan orang-orang berseragam.
Aku seperti kehilangan sebelah pegangan. Gamang.
Lama bergumul dengan berbagai pemikiran sampai akhirnya
sanggup untuk mengiyakan. Tidak sedikit pertentangan batin ketika menimbang
hingga ujungnya ikhlas membiarkan dia terbang. Aku tidak boleh egois.
Menghalangi kebahagiaannya hanya untuk mendapatkan kebahagiaanku sendiri. Aku
tidak boleh egois melihatnya kelelahan dengan segala hal di kota yang sudah
membuatnya tidak nyaman hanya untuk membuatku merasa nyaman. Cinta tidak
seperti itu.
Aku bertahan. Dia juga bertahan. Tidak mudah memang tapi
seperti biasa ternyata jarak bisa dimanipulasi. Komunikasi bisa digagas dengan
berbagai cara walaupun hanya tersisa selembar lontar. Perasaan masih bisa
dihangatkan dengan kata-kata yang mengalir lancar lewat kabel sarat optik di
udara. Memang kulit tidak bisa lagi sering bersentuhan, tapi esensi sebuah hubungan
tidak melulu soal itu.
Kami belajar dewasa. Dipaksa dewasa lebih tepatnya. Dan kami
bertahan. Hari sudah bergulir hingga hitungan bulan dan seperti dapat dilihat
kami masih bersamaan. Saling mengenggam secara virtual dalam menghadapi segala
macam masalah yang memang tidak bisa dihindarkan. Kami masih saling menyayangi,
tidak peduli pada jarak yang tercipta memisahkan. Kami masih saling mencintai,
tidak lantas menyerah pada dua titik koordinat yang saling berjauhan.
5 komentar:
pada akhirnya cinta adalah tentang ikhlas melepaskan :)
semangat terus ya,Apis
Kabel serat optik adanya dibawah tanah kak. Ga melayang-layang di udara dia *damn! gw pinter deh*..
Yang penting secara berkala diperkuat dengan ketemu secara nyata ya kak. Kalo kelamaan virtual, ntar bener2x virtual jadinya :).
Bersiap memang bukan berarti kita siap, Apis ... tapi tetap semangat ya :) ingat kalau satu-satunya hal yang konstan dalam hidup adalah perubahan itu sendiri
Mas Apis boleh minta email pribadi nya? trms...
apis.indica@yahoo.com
Posting Komentar