Semalam kamu paksa aku untuk ikut bermobil denganmu. Hari
sudah teramat larut dan rasanya lelah telah memberondongku untuk sekedar
menikmati gelap. Kamu tetap memaksa meski aku sudah berulang kali menolaknya.
Kamu bilang ada sesuatu yang penting.
Bahasa tubuhmu menggambarkan sebuah kerisauan. Entah apa,
yang pasti aku melihat sebuah beban bergelayut di wajahmu.
Ketika kutanya kita mau kemana, kamu hanya menjawab singkat.
“Nanti juga tahu!”
Ketika kutanya mau membicarakan apa, kamu juga menjawab
dengan singkat. “Nanti kalau sudah sampai disana, kamu juga akan tahu!”
Hening lebih banyak mendominasi perjalanan kita. Tidak
banyak percakapan yang tercipta, tidak banyak kata yang terlontar. Bosan. Dan
ketika aku berusaha membunuh kebosanan itu dengan bermain BB, kamu marah. Kamu
bilang aku tidak berempati dengan muatan beban yang akan kamu sampaikan
kepadaku. Aku menyerah, akhirnya aku hanya berusaha menikmati alunan musik dari
speaker di mobilmu malam itu.
Mobil menepi di tepian jalan dengan pemandangan kota
Bandung. Sejauh mata memandang yang tampak hanyalah kelipan lampu rumah-rumah
penduduk yang membuat semuanya jauh lebih indah. Aku ingat tempat ini,
tempat dimana kita sering menghabiskan
malam-malam panjang tanpa tujuan. Menikmati pekat, menghitung bintang. Disini
juga kita sering berbagi cerita tentang apapun. Saling mencaci, saling
mentertawakan kebodohan masing-masing.
“Aku akan menikah!” dia berkata tiba-tiba. Posisi tubuhnya
berada beberapa meter di depanku sehingga aku tidak bisa melihat raut wajahnya
ketika dia mengatakan hal itu. Tapi dari getar suaranya, aku tahu kalau dia
mengatakannya dengan penuh kehati-hatian.
“Aku sudah tahu” jawabku singkat
“Kamu tidak keberatan? Maksudku kamu tidak apa-apa?” dia
bertanya dengan posisi masih memunggungiku. Lagi-lagi aku kehilangan momen
mengamati wajahnya ketika berkata semua itu.
“Untuk apa aku harus keberatan? Dari awal aku sudah bilang
bahwa kalau kamu mau menikah ya tidak apa-apa. Jangan mengkhawatirkanku, aku
baik-baik saja dan itu bukan masalah besar. Ini semua hanya masalah waktu,
kalau waktu lebih berpihak kepadamu sehingga membuatmu harus menikah lebih dulu
aku ridho”
“Benarkah?” Dia bertanya lagi. Kali ini dia membalikan
tubuhnya dan memandangku.
“Sungguh. Jodohmu lebih dahulu sampai, tidak ada alasan
untuk menunda-nundanya lagi. Tidak perlulah memperhatikan perasaanku, aku akan
seperti biasanya. Mendukungmu dengan segenap kesungguhan. Bukan salahmu juga
kalau jodohku datang terlambat, meski kamu harus yakin seperti halnya aku kalau
jodohku itu akan datang suatu hari nanti. Sekali lagi ini hanya masalah waktu”
Tiba-tiba dia menghambur ke arahku kemudian memelukku dan
berkata “ terima kasih atas pengertianmu”
Malam itu, di bawah jutaan bintang yang dihadirkan langit
malam Bandung yang cerah dua orang laki-laki berpelukan erat. Tidak lagi ada
beban dari laki-laki yang selalu memanggilku AA. Semuanya lenyap menguap
seiring dengan angin yang mengigilkan tubuh karena malam semakin condong ke
arah pagi.
Adikku akan segera menikah, melangkahiku.
7 komentar:
tertipu saya :D, 2 kali pulak x_x. pertama kirain sepasang kekasih, kedua kirain homo. ehh ternyata kk adek :D
@tenri: Tertipuuuuuu :))
Dan aku berasa dejavu ngebaca tulisan mu dan membandingkan dengan pembicaraan kita di bbm
Sigh...life goes full circle indeed
@BaS: Kita? BBM? Yang mana yah? :))
Sama adeknya deket banget ya yud... bacanya terharu :)
@teh enno: Bangeeeeet. Nuhun teh...
Hehehe, tertipu habis, ketawa sndiri jadinya... ヾ(*´∀`*)ノ
Posting Komentar