Harusnya siang itu kamu berada di sana. Tidak perlu banyak
bicara. Cukup duduk manis dan menonton apa yang mereka semua sedang
pertunjukan. Kalaupun ingin terlihat sedikit lebih antusias cukuplah kamu
pamerkan sederetan gigi geligimu yang tersusun rapi dari celah bibirmu yang
tipis menawan dalam sebentuk senyuman yang terpasang tanpa paksaan.
Menganggukan kepala juga sepertinya akan lebih dari cukup
ketika menanggapi beragam pertanyaan yang mungkin akan memborbardirmu. Menjawab
hanya akan membuat mereka mengejarmu, menempatkanmu pada posisi sulit yang
mungkin selama ini kamu hindari. Jadi cukuplah tersenyum dan menganggukan
kepala seolah kamu sangat tertarik dengan keriaan yang sedang berlangsung di
hadapan.
Harusnya siang itu kamu berada di sana. Menjelma menjadi
semacam tameng yang bisa aku jadikan tempat untuk berlindung. Benteng yang akan
melindungi aku dari sebuah kerapuhan yang selama ini tersamar lewat keceriaan
yang aku pertontonkan. Harusnya kamu berada di sana, tidak perlu banyak bicara,
cukup kamu genggam saja tanganku. Alirkan keberanian yang saling menguatkan
lewat kapiler-kapiler yang bersentuhan di telapak tangan yang ujungnya mengapal.
Tapi sepertinya itu tidak adil untukmu. Bagaimana mungkin
kamu harus aku seret pada pusaran yang sebetulnya kamu tidak harus terlibat.
Belum harus terlibat lebih tepatnya. Masalah yang mengintaiku harus aku yang
menyelesaikan. Membawamu pada sesuatu yang kamu belum tahu hanya akan membuatmu
berpikir berulang kali apakah akan terus berada di sampingku. Membuatmu
mengkaji banyak kemungkinan untuk berbalik arah dan meninggalkanku sendirian.
Seperti siang itu.
Aku tidak akan bertanya kepadamu kemana kamu siang itu. Aku
juga tidak akan menuntutmu nanti ketika kita bertemu kelak hanya karena kamu
telah tega membiarkanku sendirian menyaksikan banyak momen sakral yang sengaja
digadang. Aku mengerti kalau kamu masih belum mau dipamerkan, belum ingin
dibewarakan kepada khalayak kalau kamu sudah tersimpan sekian putaran
jaman. Aku bisa apa. Kita ikuti saja
bagaimana permainan ini diputar.
Dua kali kamu absen datang di saat sebetulnya aku ingin diselamatkan.
Dua kali kamu tidak hadir ketika banyak dari mereka mempertanyakan. Dan seperti
yang kamu ajarkan lewat mimpi yang bergelung di malam-malam yang panjang, aku
hanya membalas semua pertanyaan dengan senyuman. Bertahan hanya akan membuat
mereka mengejar. Berdalih hanya akan membuat mereka semakin mentertawakan.
Karenanya aku mengikuti saranmu ketika untuk kedua kalinya kamu masih belum mau
datang siang itu, aku hanya lebih banyak tersenyum.
Harusnya kamu berada di sana siang itu. Membelai bahu
tanganku dan meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Mungkin kamu juga akan
berbisik bahwa didahului bukanlah sesuatu yang menohok harga diri. Terlambat
adalah bukan pilihan yang sengaja ditekadkan ketika orang-orang di sekitar
justru sudah menemukan kenyamanan. Kamu pasti akan menguatkanku seperti itu,
sayang kamu masih saja absen untuk datang. Dan aku menghadapinya sendirian.
Aku masih kuat bertahan. Tidak peduli kamu sampai kapan akan
berdiam di dalam persembunyian. Penantian adalah sesuatu yang sudah aku candu
dari dulu. Dan aku yakin kalau penantian ini akan membuahkan hasil seperti yang
mungkin kita berdua idam-idamkan.
Harusnya kamu berada di sana siang itu. Menemaniku tersenyum
dan menjawab pertanyaan-pertanyaan wajar yang dirasa hambar.
Pertanyaan-pertanyaan biasa yang ternyata bisa merontokan telinga. Tapi kamu
tidak ada, jadilah aku menghadapinya tanpa senjata. Sendiri mengumbar bahwa aku
ikut bahagia dengan apa yang sedang mereka upacarakan. Sungguh, saya tidak bersedih.
Tidak hanya karena kamu belum juga datang atau karena saya harus lagi-lagi di dahului.
Harusnya kamu berada di sana siang itu. Tidak perlu banyak
bicara. Cukup duduk bersisian denganku sambil menyaksikan acara pertunangan
adikku dengan pasangannya yang sudah terlebih dahulu datang dikirim Tuhan.
4 komentar:
aishhhh....
knp hbs posting,sya nembe sadar klo post kita judulnya sama?
hmmmmm
dalem banget kata2nya
hmmm sedih bacanya
👍👍👍
Posting Komentar