Menyusuri lorong kenangan tidak selamanya menyenangkan.
Padahal seharusnya hal itu meninggalkan seulas senyum tipis yang tergambar di
akhir perjalanan yang memang sengaja dilakukan. Sebuah perjalanan napak tilas
ketika kita ingin rehat sejenak dari putaran kehidupan yang memaksa kita untuk
terus berjalan ke depan. Menoleh ke belakang akan meniupkan energi baru untuk
memapah langkah kembali terayun maju.
Tapi seringkali perjalanan tanpa anggaran itu justru
menimbulkan banyak persoalan. Hati tidak sepaham dengan nalar karena hati ingin
tertambat di masa silam padahal nalar memerintah untuk terus mengayuh pedal dan
bergerak ke depan. Hati merasa memiliki banyak peran sehingga seringkali dia
meminta porsi lebih dari yang seharusnya ketika perjalanan menyusuri lorong
kenangan dilakukan. Hati membelot dari perjanjian awal yang dia buat dengan
nalar.
Mereka bersitegang. Saling berargumen tidak mau ada yang mengalah.
Masing-masih berpijak pada pegangannya yang berlainan, saling tarik menarik
seperti permainan tarik tambang yang dilakukan pada peringatan hari
kemerdekaan. Keduanya bertahan, tidak peduli pada peluh yang meleleh di dahi
atau di badan.
Nalar yang biasanya limbung duluan. Pertahanannya goyah oleh
hati yang terus berjuang ingin tertambat sejenak pada penggalan masa silam.
Nalar tidak mau disebut kalah atau mengalah, nalar lebih senang mengambil kata
berkompromi. Mempersilahkan hati untuk berjalan di lajur keinginannya mengenang
masa silam yang sering temaram. Nalar ongkang-ongkang kaki menunggu di sebuah
titik pemberhentian yang sudah disepakati dengan hati. Menunggu dengan pasti
karena nalar sangat yakin kalau hati akan kembali, dengan kesakitan yang
biasanya belum sembuh terobati.
Hati sebetulnya tahu bahwa berjalan di lorong kenangan tidak
selamanya menyenangkan. Banyak air mata yang harus dipunguti kembali. Banyak
kesedihan yang harus digugah lagi tanpa alasan. Tapi memang seperti itu
kenyataan yang terpampang. Hati lebih senang menyimpan kesakitan dalam
labirin-labirin kenangan ketimbang sekedar senyuman atau kebahagiaan. Hati
lebih suka kembali dikerubungi rasa sakit daripada digelantungi melodi yang
sebetulnya bisa membuatnya bernyanyi. Hati berkomplot dengan sedih dan
melupakan tawa yang pernah tercipta.
Begitulah hati. Meskipun dia berteman akrab dengan nalar,
tapi ketika dihadapkan pada lorong bernama kenangan maka hati lebih senang
berjalan sendirian. Meniti waktu ke belakang tanpa ingin direpotkan oleh nalar
yang berteriak-teriak mengingatkan. Hati memilih jalannya sendiri, menyusuri
pematang-pematang luka yang masih menganga dan belum sempat pulih seperti
sediakala. Hati tidak lantas jera kalau di ujung perjalanan yang dilakukan dia
akan kembali membawa kesakitan berulang yang sebetulnya bisa saja dilupakan.
Dan hati terus akan mengulang, entah sampai kapan.
Beruntung hati bersahabat dengan nalar karena nalar tidak
pernah benar-benar meninggalkan hati sendirian. Dia hanya memberi hati sedikit
celah untuk berjalan sesuai dengan kemauannya. Dia menunggu dengan sabar dan
memeluk hati yang kembali setelah berlari dengan mata yang membengkak karena
dihujani air mata. Dia tidak pernah bosan. Dia tidak lantas menyalahkan. Dia
hanya akan berperan sebagai sahabat yang menenangkan. Menasehati dengan
rapalan-rapalan yang sama mengenai kebodohan hati yang dilakukannya berulang
kali.
Di ujung perjalanan menyusuri lorong kenangan yang tidak
selamanya menyenangkan, persahabatan antara nalar dan hati layak ditiru. Tidak
saling menghakimi dan memaksakan kehendak karena bagaimanapun mereka adalah dua
jiwa yang tidak akan pernah sama.
2 komentar:
...ckckck....untuk menjelaskan sebuah kata bernama "Galau" bisa jadi 1 posting yak...
@simple guy: salah kalau cuma jadi 1 posting. jadi banyak posting doonk! coba lihat post-post terdahulu :))
Posting Komentar