Rasanya saya ingin berteriak seperti itu ketika saya nanti
bertemu dengannya. Tapi semua itu hanya rencana, dan rencana tinggal rencana.
Saya urung melakukannya ketika bertemu langsung dengan dia sore itu. Apalagi
dia yang tiba-tiba memeluk kemudian menangis di hadapan saya.
Panggil saja Angkara. Laki-laki berumur 22 tahun yang saya
kenal perantaraan taman aksara. Laki-laki yang entah kenapa tiba-tiba
menghubungi saya melalui email dan bercerita panjang lebar mengenai masalah
yang sedang dihadapinya. Mungkin salah saya karena sering membagi kegamangan
dan kebimbangan dalam postingan-postingan di taman aksara sehingga menarik
banyak pembaca untuk sekedar menghubungi dan berbagi. Tapi berkat mereka-mereka
inilah yang membuat saya tidak pernah benar-benar merasa sendiri.
Angkara baru saja lulus dengan nilai “menakjubkan” dari
salah satu jurusan favorit di kampusnya, kampus kami. Argggh, kenapa harus kampus
itu lagi? Seakan-akan dunia saya hanya berputar-putar di seputaran kampus itu.
Cinta pertama, dikhianati, bangkit, berteman, bersahabat, mencintai sahabat,
mencintai kekasih orang, mencintai kekasih orang (lagi) semuanya beraroma gajah.
Dan sekarang Angkara datang membawa aroma yang sama, gajah. Karena itupulalah
secara tidak resmi kalau kami berkorespondensi melalui surat elektornik selalu
diawali dengan kalimat ini : “Salam Ganesha! Bakti kami untukmu, Tuhan, Bangsa
dan Almamater. Merdeka!!”
Garing.
Saya mengenal Angkara kurang lebih satu bulan yang lalu, dan
saya dibuat ternganga oleh hidupnya. Ketakutan yang tengah dia hadapi membuat
saya mengelus dada, kasihan. Tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa kecuali
memberinya suntikan semangat. Saya lebih sering berperan sebagai pendengar
karena dalam posisinya sekarang dia sedang tidak butuh dihakimi. Saya berusaha
membesarkan hatinya karena bagaimanapun noda sudah tergambar. Butuh waktu untuk
membuatnya hilang atau sekedar membuatnya pudar.
Sore minggu lalu adalah pertemuan saya yang pertama dengan
Angkara. Kebetulan saya ada tugas dinas ke kampus saya dulu untuk menggagas
sebuah joint research, dan saya mengajaknya bertemu. Selepas wisuda bulan lalu
dia belum kembali ke kampung halamannya di Medan, masalah yang dia hadapi ini
yang membuatnya gentar untuk pulang.
Saya menunggunya di salah satu sudut taman di kampus itu.
Udara Bandung terasa segar selepas diguyur hujan
hampir 2 jam, dan dia datang terlambat. Mungkin karena hujan. Waktu dia datang,
sosoknya tak ada yang berbeda dengan foto-foto yang dipajang di jejaring
sosialnya, hanya saja dia nampak kuyu. Tak ada semangat, tidak nampak seperti anak
muda yang berhasil menaklukan studi dengan nilai yang gemilang. Semua samar,
dibalut kegalauan.
Kami berpelukan seperti 2 orang sahabat yang sudah saling
mengenal lama. Kemudian dia menangis, awalnya hanya meneteskan air mata yang
lambat laun berubah menjadi isakan. Saya hanya diam, bingung harus berlaku
seperti apa. Saya hanya mengelus-elus punggungnya berharap tangisanya segera
mereda.
“Gue takut banget Pis!” Hanya kalimat itu yang keluar di
sela-sela isakannya.
Angkara sedang menunggu waktu jendela. Waktu tunggu antara
dinyatakan tidak terinveksi dengan kemunculan antibodi yang dapat dideteksi.
Waktu sekitar 3 bulan yang membuatnya kalang kabut seperti mau mati besok
hari. Angkara baru saja melakukan tes HIV, dan meskipun hasilnya negatif tapi
dia masih khawatir karena gejala-gejala yang dipertontonkan tubuhnya mirip
dengan gejala orang yang terinfeksi HIV.
Tidak saya lihat semangat untuk menjalani hidup pada diri
Angkara. Serentetan tes itu benar-benar melenyapkan semua mimpi yang mungkin
telah dia rintis dari dulu. Angkara tidak ingin pulang, Angkara tidak ingin
mencari kerja. Angkara hanya ingin bangun dari mimpi buruk yang dirasakannya
terlalu panjang. Itu yang dia bilang kemarin. Dia juga meminta dukungan doa
agar hasil dari menunggu “waktu jendela” nya sesuai dengan apa yang dia
harapkan.
Angkara
bukti nyata sebuah kebodohan. Betapa tidak memikirkan dampak dari yang telah
dilakukan harus di bayar belakangan. Sekali lagi saya bilang, untuk Angkara dan
untuk kalian semua. Sleeping around is none of my business, tapi bertanggung
jawablah dengan itu. Lindungi diri kita, karena kalau bukan kita yang
melindungi maka ancaman bisa datang tanpa diundang. Saya bukan sok suci, tidak
sedang menggurui, tapi saya hanya tidak ingin melihat ada
Angkara-Angkara lain yang harus mengorbankan atau paling tidak menggadaikan
masa depannya pada banyak ketakutan.
Hari ini “waktu jendela” Angkara berakhir, dan dia akan mengetahui
kejelasan mengenai hidupnya. Mari kita mendoakan yang terbaik untuknya apapun
nanti hasil yang harus dia telan. Dan semoga Angkara menjadi sebuah
pembelajaran.
1 komentar:
jadi ingat jargon alm Harry Roesli dalam sebuah iklan layanan masyarakat untuk mencegah HIV/Aids: "KENAKAN atau KENA!!!"... kalo bukan kita sendiri yang care dengan hidup kita, siapa lagi coba?
Buat Angkara: Semoga semuanya baik-baik saja.
Posting Komentar