Aku
berlari ke halaman berusaha mengejar dia yang nampak baru keluar dari pagar.
Terlambat. Ketika aku sudah sampai di depan pagar sosoknya sudah hilang di
ujung gang. Masih terlihat tas gendongnya sepersekian detik, tapi aku tidak
kuasa untuk mengejar. Aku tidak pakai sandal.
Gontai
aku kembali ke dalam rumah sambil menenteng barang yang lagi-lagi dia lupakan.
Sebuah payung biru yang sudah aku siapkan untuk dibawanya pergi lagi-lagi tidak
dia masukan ke dalam tasnya. Kebiasaan, padahal dia paling benci hujan apalagi
kehujanan. Penyakit asmanya mudah sekali kambuh kalau air hujan mengguyurnya
tanpa perlindungan.
Payung berwarna biru langit itu sengaja aku belikan untuk
melindunginya dari hujan. Butuh banyak perdebatan sampai akhirnya dia mau
memasukkan payung itu ke dalam tasnya setiap dia akan meninggalkan rumah.
Sering kali dia melupakannya sehingga aku yang lebih sering memasukannya, tidak
peduli nanti akan dipakainya atau tidak tapi setidaknya barang itu ada di
tempatnya ketika dia butuh untuk menerobos hujan yang dia tidak suka.
Hari ini aku lupa, aku disibukan dengan telepon yang terus
berdering dan ketika aku angkat tidak ada yang berbicara di seberang. Aku
bahkan hanya menganggukan kepala ketika dia berpamitan sambil menempelkan
jarinya yang merentang mirip telepon di telinga dan mulutnya. Artinya “Nanti
aku telepon” Dia memang rutin menelponku ketika dia punya kesempatan, kadang di
tengah marathon rapat yang harus dilaluinya dia menelponku hanya untuk berucap
rindu. Kadang aku malah menganggapnya lucu dan kekanakan, dan dia seringkali
marah karena merasa kalau usahanya tidak dihargai.
Sambil meletakan payung biru yang seharusnya dia bawa, aku
merasakan khawatir yang lebih dari biasanya. Apalagi kumpulan awan hitam sudah
bergelayut di minggu pagi ini. Hari ini seharusnya dia libur, tapi tadi dia
bilang kalau ada sedikit masalah di kantor yang mengharuskannya datang
sebentar. Mungkin itu juga yang menjadi alasan kenapa dia tidak memasukan
payung biru yang aku belikan ke dalam tasnya, pergi hanya sebentar dan hujan
pasti mau menunggunya pulang.
Aku makin khawatir ketika di luar aku dengar hujan mulai
turun perlahan. Gemericik air yang menyentuh kanopi garasi menimbulkan aroma
tersendiri yang membuat aku tak menentu hati. Aku ambil telponku dan akan menghubunginya
tapi urung aku lakukan. Dia tidak suka aku telpon ketika dia sedang dalam
perjalanan. Katanya ribet untuk mengangkat telpon di tempat umum. Jadi sudah
menjadi kebiasaan kalau aku akan menelponnya ketika aku sudah benar-benar yakin
dia ada di tempat tujuan kalau dia tidak yang melakukannya duluan.
Banyak kesepakatan-kesepakatan yang kami lakukan semenjak
kami memutuskan untuk tinggal bersama 5 bulan silam. Tidak mudah mempersatukan
2 karakter yang sudah terbentuk kuat dalam sebuah rumah yang dibangun atas
dasar cinta dan kepercayaan. Pertengkaran dan selisih faham terjadi lebih
banyak dibanding jumlah ornamen yang menghiasi ruang tamu mungil di rumah kami.
Tapi kami tidak lantas menyerah, seiring dengan waktu masing-masing dari kami
melunak. Tidak lagi saling memaksakan kehendak dan berusaha memahami setiap
kebiasaan yang sudah mendarah daging sebagai suatu paket lengkap.
Tidak ada lagi aku yang setiap pagi teriak-teriak karena dia
lupa menjemur handuk basah yang digeletakan begitu saja di atas tempat tidur.
Tidak ada lagi omelan dia yang memprotes kebiasaan mandiku yang katanya selalu
lebih lama dari Bandung Bondowoso membangun Prambanan. Semua perlahan berubah
menjadi sebuah pemakluman, mungkin bentuk kompromi paling besar yang pernah
kami lakukan selama hidup. Tahapan yang memang harus dijalani ketika angka 2
berubah menjadi 1.
Hujan di luar semakin deras. Bau basah sudah tidak lagi
tercium digantikan suara air yang terlindi mencari saluran. Hatiku semakin tidak
karuan karena aku kenal betul siapa dia, seseorang yang sudah membuatku merubah
banyak kebiasaan sejak 5 bulan silam. Dia orangnya tidak sabaran, jadi kalau
hujan menghadang dia tetap akan berjalan dengan tempo yang dibuatnya 4 kali
lebih cepat dari biasanya. Tidak peduli kuyup yang akan membasahi seluruh badan
dan bajunya. Tidak peduli dengan sakit yang bisa saja dideritanya. Tidak peduli
dengan aku yang biasanya marah-marah kemudian.
Hujan datang terlalu dini, merenggut hari yang masih bayi.
Tanpa melewati gerimis dia langsung berubah wujud menjadi deras. Payung biru
langit yang tadi aku geletakan di meja kemudian aku genggam, berharap hangat
yang tercipta dari genggaman sampai pada dia yang mungkin saja sedang
hujan-hujanan. Seseorang yang sudah membuatku menjadi sesuatu yang baru sejak 5
bulan silam. Seseorang yang memberiku benih kepercayaan kalau cinta itu benar
adanya, cinta yang ternyata bisa melintasi berbagai batas keniscayaan.
Aku memijit panggilan cepat di tombol telepon genggamku. Tak
ada jawaban. Kuulangi lagi dan tetap tak ada jawaban. Kuulangi sampai 4 kali
dan tetap tak ada sahutan. Aku berlari ke teras, mengamati hujan yang turun
seperti ditumpahkan. Rumput-rumput jepang yang kami tanam di kebun sempit pinggir
garasi kuyup tak berdaya, terbungkam hujan yang datang kepagian. Pandanganku
tetap tertuju pada ujung gang, meski dikaburkan bias air yang tercurah aku
tetap memandang ke arah sana. Berharap dia muncul dan kembali pulang karena
bajunya basah dan tidak layak dipakai bepergian.
Akan aku siapkan air hangat untuknya mandi kemudian
secangkir cokelat panas, minuman kegemarannya. Aku gosokan kayu putih di
punggung dan perutnya seperti bayi agar dia merasa hangat, kemudian aku peluk
dari belakang. Lama. Prosesi yang sering kami lakukan sambil mengintip bulan
dari jendela kamar belakang.
Hujan belum ada tanda-tanda berhenti. Jalanan becek
menggenang di kanan kiri jalan. Dan aku masih berdiri di teras depan, menunggu
tanpa kepastian. Payung masih kugenggam dengan kedua tangan, barangkali tanpa
diduga di muncul di mulut gang sehingga dengan mudah aku bisa berlari menjemput
ke depan. Tapi dia tidak muncul, hanya bunyi hujan yang terus terdengar memenuhi
ruang pendengaran.
Telponku berbunyi. Sigap aku bergegas masuk ke ruang depan.
Nama dia yang muncul di layar. Seketika hatiku berubah tenang, ada semacam
kelegaan yang muncul bertandang tanpa diundang. Kujawab telponku dan sesaat
kemudian aku dengar suara dari arah seberang.
“Aku tidak kehujanan. Aku memilih berteduh di tepian jalan
karena aku ingat kalau aku begitu menyayangimu” Begitu katanya sesaat setelah
aku berujar halo.
Kubayangkan seulas senyuman tergambar di wajahnya yang tadi
pagi sempat aku elus halus. Kelegaan benar-benar memenuhi rongga dada pagi itu
saat hujan datang terlalu dini. Ternyata kebersamaan yang baru sekejap ini
mampu membuat kami berkompromi sampai tahap yang kadang tidak dapat dipahami. 5
bulan yang begitu menakjubkan, 5 bulan yang sudah kami lalui sebagai awalan untuk
hidup bersamaan. Semoga tanpa akhiran kecuali sebentuk kematian.
Dia membuatku lengkap, seperti hujan yang melengkapi hari
pagi ini. Dia memberiku kenyamanan seperti payung biru yang memberi naungan
saat dipakai menerjang hujan. Dan yang pasti dialah seseorang, laki-laki yang
membuatku menjadi seorang laki-laki.
Bumi Serpong Damai, 9 Mei 2012 jam 2 kurang 5 pagi.
Sebuah Antalogi ketika mata dipaksa terjaga