Ngakak, gue bener-bener ngakak ngedenger cerita temen gue waktu selesai mengajukan surat pengunduran diri [WHAT? Ada temen gue yang mengundurkan diri lagi?]. Iya temen sedivisi gue mengundurkan diri, setelah yang dulu dipaksa mengundurkan diri, yang satu ini mengundurkan diri secara baik-baik. Dapet pekerjaan baru yang lebih baik, membuat dia hengkang. Wajar sih, apalagi dengan gaji bernominal dollar. Siapa yang gak ngiler coba. Gue kapan yah hengkang dari perusahaan ini? I don’t know.
Temen gue itu cerita, waktu dia mengajukan pengunduran diri itu sama direktur utamanya. Pertamanya susah, sang direktur mempertahankannya dengan sekuat tenaga dengan berbagai alasan meskipun akhirnya luluh juga. Membolehkannya pergi. Membebaskannya. Yang bikin gue ngakak [sumpah, gue ngakak beneran], sang bos bilang katanya dia tahu kenapa temen gue itu mengundurkan diri, dia berpikiran bahwa temen gue itu frustasi karena yang diangkat jadi team leader adalah gue bukannya dia. Totally silly though kan?
Aduh, heran deh. Masa sih temen gue frustasi karena dia nggak diangkat jadi team leader. Temen gue aja ngakak waktu si bos bilang begitu. Katanya dia, amit-amit dia nggak pernah pengen jadi team leader. Do I want that posisition? No, jelas nggak. Kan gue bilang di salah satu tulisan blog gue kalo sebenernya gue nggak mau jadi team leader. Kalo boleh milih sih, mending jadi rakyat jelata aja. Lebih nyaman. Lebih sedikit jatah dihantui kehadiran bos gue itu. Syeremmmmmmm.
Sang bos bilang lagi kenapa dia milih gue [iya, GUE] jadi team leader dan bukannya temen gue itu. Satu, gue S2. Dua, gue laki-laki. Halooo, 2008 gitu lho, masa gender dijadikan isu utama. Dua alasen yang buat gue nggak masuk akal, nggak nyambung sama nalar gue. Pertama, kan gue udah bilang kalo gue itu S2 nya kebeneran. Kebeneran gue masih mau kuliah, kebeneran bokap gue masih mau ngebiayain dan kebeneran lulus [cum laude lagi, teuteup]. Trus kalo soal gue laki-laki, aduh hari gini. Presiden aja bisa cewek masa team leader masih mempermasalahkan gender. Ibu kartini pasti nangis sesenggukan liat realita kayak gini. Dan jujur, bener ini gue jujur sejujur-jujurnya. Gue nggak keberatan kalo yang jadi atasan gue atau team leader gue itu anak S1 and cewek. Doesn’t matter.
Masa lama tinggal di eropa, yang biangnya kapitalis, yang biangnya modernisasi tapi pikirannya masih sempit yah. Isu gender dan pendidikan masih dijadikan pijakan utama. Ato jangan-jangan dia bilang gitu sama temen gue cuman buat bikin temen gue merevisi keputusannya [yang gue yakin nggak bakalan, meskipun dunia jungkir balik pun, temen gue itu pasti nggak bakalan mau merubah keputusannya]. Mencoba membesarkan hati temen gue dan mengatakan secara tidak langsung kalau dia minta maaf karena memilih gue dan bukan temen gue itu. Gue jadi nggak enak. Sampe-sampe gue sambil bercanda bilang sama temen gue, ya udah jabatan team leadernya gue kasih deh ke lo biar lo bertahan. Dia malahan bilang, amit-amit. See?!
Atau jangan-jangan gue diangkat jadi team leader cuman karena dua alasan itu aja. Yang sebenernya kalo temen gue yang mo resign itu cowok dan S2 pasti dia yang dipilih dan bukannya gue. Berarti gue dipilih karena terpaksa and there no other choice. Masa sih? Padahalkan gue kompeten. Kompeten banget malah. Kompeten untuk mulai cari kerja baru lagi biar bisa secepatnya ikut hengkang dari perusahaan ini. Perusahaan yang bikin gue cenut-cenut setiap harinya. Yang selalu bikin kepala gue mau pecah dengan rencana-rencana yang gak focus. Tau ah, kita liat saja nanti. Would I?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar