Kemaren waktu gue ngemsi di salah satu acara kawinan, gue nangis. Bener-bener berlinangan air mata. Bukan lagi haru seperti biasa, tapi lebih ke miris. Buat gue ngemsi di acara nikahan siapapun semuanya bisa dilewati dengan aman. Nggak peduli yang nikahan itu anak konglomerat sampe klien dari kalangan yang biasa-biasa aja. Gue nggak pernah membeda-bedakan klien gue, yang penting mereka bawa duit dan mampu bayar gue. Status sosial jadi nggak masalah ketika mereka membawa duit dengan nominal yang sama. Hehehe.
Nah pas kemaren itu, gue bener-bener musti kerja keras ngatur nafas, ngatur suara karena nggak lucu kan masa suara MC nya sengau dan sesenggukan. Kalau pas acara siraman yang diiringi shalawat badar gue pasti nangis, nggak bisa lagi jaga emosi. Tapi itu wajar karena situasinya memang syahdu banget, jadi keingetan dosa sama kedua orang tua gue. Padahal yang mau kawin siapa, tapi kok gue yang sedih yah. Namanya juga banyak dosa, jadi kadang suka sedih sendiri.
Di acara nikahan kemaren itu, air mata gue tumpah ruah. Bahkan dari acara masih di awal-awal. Ngemsi gue kali ini lebih ke acara derma, salah satu kerabat jauh temen gue minta tolong buat dipandu acara nikahannya. Kalo udah gini, nominal nggak jadi lagi masalah, yang penting ada uang buat bensin sama buat ngelaundry kostum gue. Hari gini masih gratis? Lo pikir suara gue milik Negara.
Apa sih yang bikin gue mengharu biru? Banyak hal yang bikin glandula lakrimalis alias kelenjar air mata gue terinduksi dan kemudian tumpah nggak terbendung. Kesederhanaannya, keterbatasannya, kesan dipaksakannya (wait, bukan dalam artian dipaksakan karena mempelai cewek hamil duluan yah!). Menikah itu kan sesuatu yang sakral, sesuatu yang dilaksanakan ketika semua hal sudah dirasa siap. Bukan cuman keinginan yang siap, tapi juga materi dan bukan hanya untuk melegitimasi nafsu.
Acara nikahan kemaren, gue bilang teramat sangat sederhana. Mungkin gue nggak adil karena gue membadingkan dengan puluhan bahkan ratusan acara pernikahan yang udah gue datengin baik sebagai MC maupun hanya sebagai tamu. Kesan sedrhana sudah terkuak dari awal acara. Pernikahan memang tidak harus dirayakan dengan besar-besaran, tapi ketika sudah dipustuskan untuk mengundang khalayak, maka kesederhanaan sudah menguap diganti dengan keterpaksaan apabila ada ketidaksiapan materi.
Kedua orang tua dari kedua belah pihak yang sakit juga jadi bahan yang bikin gue meneteskan air mata. Sang ayah mempelai yang bicara aja susah ketika akan menikahkan putrinya pas ijab Kabul, sang mempelai wanita yang nggak henti-hentinya nangis ngedenger suara bapaknya, suara mempelai pria yang sesenggukan diiringi tangis ketika mengikrarkan dan memberikan mas kawin, bikin gue luluh lantak. Gue nggak akan menyoroti masalah materi, karena nanti jatohnya nggak adil dan menyepelekan. Semuanya cuman bisa bikin gue mengucap syukur. Thanks God buat kehidupan gue sekarang ini dan sebelumnya.
Tapi…..Kembali like slap on my face. Menikah? M-E-N-I-K-A-H. Acara sakral untuk menyatukan dua insan itu kembali menampar muka gue. Orang-orang dengan keterbatasan ekonomipun sudah berani mengambil resiko besar untuk melompat, tak lagi melangkah. Nah gue yang insya Allah semuanya sudah tercapai, kok masih belum berani melompat, masih melangkah terbata-bata seperti bayi baru belajar jalan. Berjalan hati-hati menyusuri pematang kehidupan gue sendiri tanpa mampu mengambil resiko untuk jatuh dan terpuruk atau berlari, melompat dan bahagia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar