Aku benci berkemas.
Aktivitas yang di ujung lorongnya akan mempertemukanku dengan sebuah
perpisahan. Dan tidak ada perpisahan yang tidak menyakitkan, walaupun
perpisahan itu digagas untuk sesuatu yang lebih baik lagi. Katanya. Opsi yang seandainya bisa dilongkapi,
dihindari dengan cara berlari melalui jalan memutar meskipun penuh belukar.
Dihindari dengan berusaha menipu diri kalau semuanya akan baik-baik saja.
Entahlah.
Aku tidak pandai
mengucapkan selamat tinggal. Lidah biasanya seperti disimpul mati. Kelu. Bahkan
ketika suara belum keluar sama sekali. Aku tidak mahir menata kata ketika
lambaian tangan adalah sebuah penutup dari serangkaian perjumpaan. Rasanya
seperti tercekik. Sesak tanpa bisa berbuat apa-apa kecuali air mata yang
mengambang. Air mata yang justru ditahan agar tidak mengalir deras seperti
aliran sungai di puncak musim penghujan.
Dari sekian banyak
perpisahan yang pernah menghadang, aku tidak lantas menjadi pandai. Dari sebegitu
banyak aktivitas berkemas yang telah dilakukan, aku tetap saja bermuara pada
kubangan yang serupa. Dari pengalaman berkali-kali dipaksa melambaikan tangan
padahal telinga menangkap suara hati yang sobek, aku tetap saja tidak berubah
bebal atau bahkan kapalan. Semua terus menerus berulang tanpa aku bisa
menemukan jalan keluar sebagai bentuk pengalihan. Semua berdengung seperti
sekelompok lebah yang terbang rendah mendekati gendang pendengaran. Menganggu.
Aku menyebutnya rumah
pendewasaan. Rumah yang sekarang aku tinggali. Rumah yang banyak menyimpan
cerita tentang menjadi dewasa. Rumah yang di dindingnya tertulis
pelajaran-pelajaran tentang memaklumi, tentang berusaha mengerti. Rumah yang
membuatku tahu bahwa tinggal dengan orang yang sifatnya sungguh bertolak
belakang itu sangat menguras emosi. Seperti menaiki jet coaster. Harus siap
kapan saja menghadapi jalanan yang tiba-tiba membolakbalikan perasaan. Harus
sedia memasang kuda-kuda karena aku tidak pernah tahu kapan jalan akan
mengantarkan aku pada terjal jurang yang terpaksa harus dilewati. Tidak ada
lagi pilihan.
Aku menyebutnya rumah
kami. Rumah yang diisi tidak hanya satu hati, tapi dua. Rumah yang semula ramai
kemudian senyap karena salah satu hati memutuskan untuk beranjak pergi mengejar
angan. Rumah yang ikut menjadi saksi bawa hubungan berbonus jarak tidak pernah
mudah dijalani. Bisa dilihat di salah satu bagian dinding kamar mandi banyak
coretan-coretan serupa pagar hasil menghitung rindu. Rindu yang sering kali
tidak bisa ditahan sampai membuat kepala seperti dibebani bola api raksasa. Berat
sekaligus menyiksa.
Rumah yang aku tinggali
memang sunyi. Asosial. Tapi disanalah aku belajar menjadi pasangan yang tidak
egois. Pasangan yang tidak menghalangi pasangannya untuk bergerak maju memintal
impiannya. Kebahagiaan harus diperjuangkan, tetapi ketika dalam pelaksanaannya
aku tidak bisa ikut serta maka hal yang bisa dilakukan adalah mendukungnya.
Membiarkannya pergi meraih impian karena jarak sebetulnya bisa dikalahkan.
Secara teori. Kenyataannya aku kadang tidak sekuat itu. Bersimpuh aku meratapi
rindu yang tidak bisa dientaskan lewat perjumpaan yang bisa digagas kapan saja.
Rumah ini saksinya. Bagaimana aku berjuang menjadi tidak egois. Belajar
mengatur strategi agar kerinduan tidak memberangus semuanya.
Dan kali ini aku harus
mengucapkan selamat tinggal. Bukan pada sebelah jiwaku, tapi pada rumah ini.
Rumah yang sudah dua tahun menemaniku menjalani hari. Rumah yang semula ramai
dan kini sunyi. Rumah yang menjadi saksi banyak pertengkaran ketika dua
pemikiran tidak menemukan jalan untuk dipersatukan. Rumah tempat aku, dia, kami,
bertransformasi dari sifat ingin menang sendiri menjadi saling memahami dan
mengalah bahkan ketika tidak diminta. Rumah seribu cerita. Rumah tempat kami
pulang ketika lelah mengganduli langkah. Rumah tempat kami bercinta tidak hanya
fisik tapi juga pemikiran. Rumah tempat pentas banyak drama.
Dan kali ini aku dipaksa
pergi dari rumah oleh keadaan. Lagi-lagi dengan alasan untuk masa depan yang
lebih cemerlang. Aku mulai berkemas dan menyusun rangkaian kata untuk
mengucapkan selamat jalan. Tidak pernah gampang karena rumah ini terlalu banyak
menyimpan cerita. Tidak akan mudah karena sudah banyak kejadian yang tertoreh
di semua kisi-kisi jendelnya. Tapi semua harus dijalani. Dilewati. Dan semoga
saja akan kembali menjadi sebuah pembelajaran yang mendewasakan. Mudah-mudahan.
Selamat tinggal hunian
nyaman tempat aku bersarang menyulam beludru. Selamat tinggal rumah banyak
kejadian. Kita akan bertemu lagi 4 tahun dari sekarang.
2 komentar:
See you soon!
Ahhh youve got that phd scholarship?? Im happy for you...
Posting Komentar