Ketika belum ada yang pasti, aku pernah berujar kalau aku
akan menerima yang pertama kali datang membawa kepastian. Mungkin semacam janji
yang diucapkan ditengah sebuah keputusasaan. Sudah lama mencari, menunggu dan
menjajal banyak kesempatan yang kesemuanya berbuah penolakan. Aku layaknya hidup
dan bertahan dari satu penolakan ke penolakan lainnya. Penolakan yang membuat
jiwa ini kuat sekaligus rapuh diujungnya. Dibayangi keputusasaan.
Putus asa tapi tidak menyerah. Itu yang aku lakukan. Dengan
sisa-sisa tenaga dan keyakinan yang masih menempel di badan aku terus mencoba
banyak peruntungan. Seperti melempar dadu ke arena perjudian. Seperti
memelihara sebuah kartu yang diyakini akan membawa pada gerbang kemenangan pada
sebuah judi taruhan. Aku terus mencoba, berusaha terus hidup dengan memelihara
bara yang lambat laun seperti hilang titik apinya meninggalkan arang. Aku
pernah berdoa agar datang angin yang bisa meniup bara yang mungkin masih
tersisa di sela-sela tumpukan arang sehingga tumbuh lagi api dari sebuah
keniscayaan.
Aku ingat awal tahun kemarin. Dengan lunglai kembali aku
menggadaikan kepercayaanku pada sebuah janji. Tidak berharap banyak karena aku
takut kecewa padahal kecewa sudah jadi makanan sehari-hari. Kecewa seolah sudah
menjadi bayangan yang mengikuti kemana penggelembung janji berarak ditiup
angin. Jadi pikirku kalau kecewa bertambah sekali lagi anggap saja hiburan.
Pengisi jambangan kekecewaan yang sudah sejak lama menjadi sebuah tempat
penyimpanan rahasia.
Penantian berbuah keputusan. Kali ini takdir sedang berpihak
padaku yang justru tidak berharap sesuatu yang lebih. Kabar gembira justru
hadir ketika aku berpasrah sepasrah-pasrahnya. Kabar yang memompa kepercayaan
diriku yang sempat kaku digigilkan banyak kegagalan. Waktu itu aku berpikir ini
jawaban atas doa yang selama ini dihembus ke udara. Pengejawantahan harap yang
pernah aku ucapkan di depan multazam. Tempat paling mulia di dunia untuk
berdoa.
Setidaknya aku merasa tenang dalam menentukan langkah ke
depan. Tidak lagi gamang karena aku sudah menemukan pegangan. Kontrak memang
belum dibubuhkan tanda tangan tapi secercah harapan sudah terbayang di ujung
pandangan. Hidup kembali di hela sambil menunggu waktu untuk merealisasi
jawaban atas semua doa yang pernah keluar dalam bentuk kata. Hidup kembali
bersemangat karena ada suntikan ketenangan yang berwujud sebuah kepastian.
Namun kemudian datang sebuah tawaran. Jawaban dari hal
serupa yang aku pertanyakan satu tahun silam. Lebih dulu digagas sebelum yang
yang belakangan menemukan jawaban duluan. Aku berproses, mengikuti tahapan demi
tahapan karena aku merasa yang sudah bertemu jawaban masih belum dibakukan
dalam sebuah perjanjian. Terdengar serakah seperti kebanyakan sifat manusia. Aku
berdalih hanya menjajal banyak kesempatan, siapa tahu Tuhan memang
mempersiapkan sesuatu yang mungkin lebih baik dari yang datang duluan. Atau ini
hanya sekedar cobaan? Fatamorgana yang muncul ketika perasaan dilanda kehausan
karena diganjar sekian banyak kekecewaan. Entahlah. Yang pasti aku masih
berjuang, setidaknya mencoba sampai batas akhir yang mampu aku berikan.
Lambat laun yang datang belakangan menampakan kepastian.
Belum seratus persen memang, karena masih ada beberapa tahapan yang harus
dilewatkan. Kans aku besar, hasil menghitung probabilitas dari berbagai aspek
keadaan. Dan aku gamang, sulit memutuskan yang mana yang akan menjauhkan dari
kemudaratan. Yang awal datang menggoda karena menjanjikan keadaan yang
mendekatkan dengan orang-orang tersayang. Yang datang belakangan menggoda untuk
dijajal karena menjanjikan aku untuk lebih berkembang. Bermetamorfosa dari
sebuah cita-cita menjadi kenyataan. Sebuah pelunasan terhadap janji pada diri
yang selalu digaung semenjak aku belum matang secara pemikiran.
Aku bingung Tuhan, terus terang. Tidak ingin salah mengambil
langkah yang justru akan mengaburkan sesuatu yang sebetulnya sudah bisa
digenggam. Aku bimbang, banyak pertimbangan yang justru membuat jalinan di
dalam kepala menjadi seperti bola kusut yang tidak bisa dirunut mana ujung dan
mana pangkal. Semua berlarian, menyajikan gambar yang saling bertindihan. Tidak
jelas. Semua berteriak, menimbulkan gaduh pada terowongan terowongan hampa
sehingga gema mengetuk-ngetuk dinding dalam kepala. Membuatnya seperti akan
pecah.
Apabila aku menghkianati keputusan yang pertama apakah
artinya aku mencederai janji yang pernah aku buat sendiri? Apakah ketika aku
melepaskan genggaman yang datang belakangan artinya aku akan terus berhutang
pada diri yang sudah diiming-imingi manisnya janji yang ternyata tidak
terealisasi? Entahlah Tuhan, aku sungguh bingung. Bisakah Engkau turut campur
memilihkan? Paling tidak menunjukan mana yang lebih baik tidak hanya untuk aku
tapi untuk banyak orang. Menyelusuplah ke dalam hatiku Tuhan, menjelmalah
menjadi sebuah keyakinan yang tidak bisa lagi tergoyahkan. Tolong aku.
Setelah beberapa tahun kebelakang aku berjuang mendapatkan
beasiswa untuk pendidikan doktorku dan seringkali gagal. Tahun ini aku
mendapatkannya. Dua tidak hanya satu. Yang pertama datang untuk di dalam
negeri, dan yang hadir belakangan untuk menjajal hidup di negeri orang. Yang
pertama datang sudah pasti tinggal membubuhkan tanda tangan di kertas
perjanjian, sementara yang muncul setelahnya membuatku masih menjejak sebelah
kaki. Tinggal selangkah lagi juga akan berbuah pasti. Aku benci memilih, tapi
sepertinya aku tidak punya pilihan untuk tidak memilih. Tolong aku didoakan
sehingga aku bisa memilih jalan yang benar dan tidak menyesatkan.
2 komentar:
All the best ya say! *hugs*
Have u decided ?
Posting Komentar