Seperti dua orang asing kami duduk bersisian di sebuah lobi
hotel yang lenggang. Hujan yang sedikit lebat sepertinya membuat penghuni hotel
enggan meninggalkan kenyamannya bergelung dengan selimut tebal di ranjangnya.
Seperti yang seharusnya aku lakukan. Seandainya. Ya seandainya aku tidak
bertemu dengannya sore tadi ketika lift terbuka dan mempertemukan kami dari 2
dimensi yang sepertinya berbeda. Dia hendak keluar dan aku beranjak masuk.
Jeda tercipta diantara kami berdua. Waktu seperti berhenti
berputar dan udara mendadak hampa. Tidak ada reaksi. Tidak ada senyuman atau
sekedar kata yang terumbar sembarangan. Kami hanya dibalut diam sampai kami
tersadar kalau kami menghalangi jalan. Masih dengan balutan sunyi kami saling
menghindar, terpisahkan oleh pintu yang otomatis tertutup. Rapat. Seperti hati
kami beberapa tahun ke belakang.
Malam itu kami berbaring saling memunggungi. Masing-masing
sibuk dengan jalan cerita yang direka di dalam kepala. Bisa jadi satu jalinan
cerita atau malah sama sekali berbeda. Tidak ada bebunyian yang memperiuh,
menjadikan adegan demi adegan yang ditayangkan seolah film bisu. Hanya aku dan
dia dalam sebuah scene yang berantakan. Tak jelas plotnya, tak jelas siapa yang
menjalankan peran antagonis atau sebaliknya.
Aku sudah bisa menerka kemana cerita akan bermuara. Sudah
sekian banyak jalinan cerita serupa aku rasa. Hati sudah bebal mungkin
meninggalkan jejak kapalan saking seringnya ditimpa kesakitan. Tidak pernah ada
penyesalan karena semuanya memberikan pembelajaran. Pembelajaran yang tetap
membuatku terperosok pada lubang yang sama berulang-ulang. Dan sepertinya aku
tidak lantas kapok, tidak berhenti mencoba melempar peruntungan karena siapa
tahu kali ini aku tidak mendapatkan ujung yang bergelung. Kusut.
Dan sepertinya aku benar. Di tengah jalan cerita yang
berjalan tanpa aturan, dia kemudian membalikan badan. Memelukku dari belakang.
Seketika aku berharap tidak pernah mengenal suara. Bermimpi kalau gendang
telinga dan cairan kokhlea bisa menyaring suara mana yang ingin aku dengar dan
mana yang ingin aku enyahkan. Seketika aku berharap tuli, mengambil langkah
tidak peduli. Tapi aku salah, kenyataan lagi-lagi dijejalkan paksa dalam
selaksa perasaan. Membuatku sesak. Limbung seperti orang linglung.
Bedanya kali ini tak ada air mata. Hulu kelenjarnya sudah
mengering diganjar kemarau tak berkesudahan. Kesakitan demi kesakitan yang dikecap
menebalkan jaringannya, menyisakan luka parut yang menghalangi jalannya
cucuran. Tidak pernah ada lagi tangisan, tidak peduli seberapa berat jalan
perpisahan yang harus ditelan. Tidak pernah ada lagi isakan, karena aku
menjelma kuat. Selalu siap dengan kemungkinan terburuk ketika memulai sebuah
hubungan. Hubungan yang seringkali justru tidak menemukan jalan untuk
mengantarkanku pulang.
Malam itu dia menggagas perpisahan. Katanya dia sekarang
sudah menemukan jalan yang benderang. Jalan yang dari awal tidak pernah dia
temukan dari hubungan kami yang hanya dibangun atas dasar kekeliruan. Hubungan
yang diretas hanya karena kebimbangan membawa hati berlari. Hubungan yang
kemudian dimaknai sebagai sebuah kesalahan dalam memahami jalan yang sudah
digariskan.
Dia bilang dia akan menikah. Meninggalkan jalanan becek yang
hanya membuat telapaknya kotor oleh lumpur. Menanggalkan semua yang pernah dia kecap
sebagai manis tipuan yang hanya membuatnya ketagihan. Dia tersadar, dengan aku dia
hanya memperoleh temaram. Hanya menempatkannya di pojokan tanpa sinar.
Karenanya dia beringsut pulang, menjajal jalanan yang katanya sudah terbentang.
Haluan yang bisa mengantarkannya pada kebahagian.
Aku turut senang sekaligus mendoakan. Tidak ada yang lebih
menyenangkan ketika bisa melihat orang yang disayang menemukan apa yang selama ini
dia harapkan. Aku sadar, dengan aku dia tidak akan mendapat apa-apa. Cukuplah
aku hanya menjadi sepenggal kenangan yang menyaksikan bagaimana dia tumbuh dan
beranjak dewasa hingga akhirnya berlari ketika dia kemudian menyadari. Tidak
perlu mempedulikan apa yang aku rasakan, karena rasa seperti itu sudah biasa
aku telan. Tidak lagi menyisakan kesakitan mendalam.
Lobi hotel itu semakin ramai. Sepertinya para penghuni mulai
bosan dengan petakan ruang yang sebetulnya dibuat nyaman. Mereka memilih untuk
sekedar mengopi di kedai yang terletak di dalam lobi sambil mengamati hujan
dari jendela-jendela besar di sekeliling ruangan. Aku mendapati ketidaknyamanan
di matanya. Dia yang semula lebih banyak diam kemudian mempertontonkan
kegelisahan. Menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kuliahan yang sedang
menunggu giliran sidang.
Aku hanya diam. Menunggu dia bergerak duluan. Bukan karena
aku seperti jual mahal tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara yang
sebetulnya sudah selesai di belakang. Tidak ada yang perlu lagi dipersoalkan,
tidak ada rincian utang yang harus dipertanggungjawabkan. Semua sudah lunas
ketika dia beranjak pergi membawa perpisahan. Tidak ada lagi yang perlu dibayar.
Tidak ada lagi yang harus diselesaikan.
Setengah berbisik dia berkata sesuatu. “Ikut ke kamarku yu!
Aku rindu”
Solo, 13 Desember 2012
1 komentar:
mas apis.... saya asli solo dan tinggal di solo ... saya suka sekali tulisan anda.... saya merasa spt yg mas apis rasakan... boleh saya minta pin mas apis?
329D6C71
jo
Posting Komentar