“Kalau kita terlambat bertemu dengan jodoh, bukan berarti
kita harus menghambat orang lain untuk bertemu jodohnya”
Itu quote yang saya buat sendiri sekitaran akhir tahun lalu.
Quote yang tiba-tiba muncul di dalam kepala ketika adik saya bertunangan dengan
kekasihnya yang sudah dia pacari hampir 3 tahun lamanya. Pertunangan yang
dilakukan sebagai langkah awal untuk menuju perkawinan yang direncanakan
terjadi tahun ini. Tahun 2012.
Apakah saya sedih? Apakah saya kecewa? Apakah saya merasa
ditinggalkan? Apakah saya merasa Tuhan tidak berlaku adil terhadap saya?
Jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak ada sedikitpun saya merasa sedih, kecewa,
ditinggalkan apalagi merasa dizhalimi Tuhan. Boleh percaya atau tidak, tapi itu
sesungguhnya yang saya rasakan. Mungkin kebanyakan orang termasuk keluarga
dekat saya yang bukan keluarga inti tidak mempercayainya. Tapi saya tidak
peduli. Saya tidak hidup dalam opini mereka.
Kalaupun misalnya saya bersedih, kecewa kemudian merasa
ditinggalkan apa yang bisa orang-orang itu lakukan? Memberikan penghiburan?
Memberikan semangat? Saya tidak butuh semua itu karena sekali lagi saya
tegaskan kalau tidak ada perasaan-perasaan semacam itu ketika adik saya yang
memang terpaut umur 6 tahun akan melangkah ke gerbang perkawinan. Saya justru
ikut bahagia karena dia lebih cepat bertemu dengan jodohnya. Lebih cepat
menyempurnakan agamanya.
Rencana hanya tinggal rencana. Adik saya dan kekasihnya
karena satu dan lain hal harus mengubur keinginannnya. Selamanya. Mereka
membatalkan pertunangannya. Memberi akhiran pada jalinan kasih yang sudah
mereka bina selama tiga tahun untuk alasan yang tidak perlu saya tuliskan. Adik
saya bersedih, orang tua saya bersedih, sayapun ikut bersedih. Adik saya sedih
karena sebetulnya dia masih sangat mencintai kekasihnya. Orang tua saya sedih
karena melihat anak bungsunya bersedih. Saya bersedih karena saya juga kasihan
dengan adik saya. Dan kadar sedih sayapun bertambah ketika banyak orang di
luaran sana yang mengatakan bahwa putusnya hubungan mereka adalah karena doa
yang saya panjatkan.
Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran picik semacam itu.
Sebetulnya saya tidak lantas peduli. Saya menganggapnya angin lalu meskipun
ketika saya konfrontir mereka mengklarifikasinya sebagai sebuah candaan.
Candaan yang menurut saya sangat tidak lucu. Candaan dangkal yang tidak perlu
saya perpanjang. Tuhan yang paling tahu apa yang saya rasakan. Sampai berbuih
seperti apapun saya menjelaskan, kalau orang lain memilih tidak percaya maka
ujungnya hanya akan sebuh ketidakpercayaan. Karenanya saya mengembalikan kepada
Tuhan, Dzat yang tidak bisa disangkal.
Waktu terus bergerak. Adik saya disembuhkan. Adik saya kemudian
bertemu lagi dengan seseorang. Dan romansa kembali dituliskan. Adik saya
memiliki kemampuan untuk move on jauh lebih cepat dari pada saya yang
seringkali masih tertambat pada perasaan di belakang. Saya harus belajar banyak
dari adik saya. Bagaimana melenyapkan atau menyimpan masa lampau. Apakah
lagi-lagi saya merasa ditinggalkan? Tidak. Saya kenal siapa adik saya, tipe
orang yang tidak pernah bisa sendirian. Semakin cepat dia berpasangan, semakin
cepat bahagia akan dia jelang. Dan saya turut bahagia.
Tidak memiliki seseorang selama bertahun-tahun mengajarkan
saya untuk tidak pernah bergantung pada orang lain. Saya mampu datang ke
undangan pernikahan siapapun sendirian. Saya mampu berbelanja sendirian. Tidak
gentar untuk makan di restoran sendirian. Tidak peduli saat sekian banyak mata
mempertanyakan ketika saya datang ke bioskop sendirian. Tidak pernah ada masalah.
Saya hanya belajar untuk kuat walau tidak dipungkiri kadang saya iri. Sebatas
iri yang datang kadang-kadang tanpa diundang.
Sekarang bulan sudah Desember. Satu tahun silam adik saya
bertunangan meski kemudian digagalkan. Dan tahun ini rencana seperti dulu
kembali diperdengarkan. Adik saya berencana menikahi kekasih barunya tahun
depan. Tanpa pertunangan karena mungkin ada sedikit rasa trauma yang menggelayuti
selaksa perasaan. Dan saya tetap saya seperti satu tahun silam. Tidak sedih,
tidak kecewa atau merasa dizhalimi Tuhan. Mungkin sudah takdir kalau harus adik
saya yang terlebih dahulu menemukan tulang rusuknya yang hilang. Saya tidak
keberatan.
Katanya lahir, jodoh dan mati sudah diatur oleh Tuhan.
Kenapa sebagai hamba saya harus merasa sangsi? Saya yakin Tuhan sudah
mempersiapkan seseorang untuk melengkapi hidup saya. Kalau tidak sekarang,
mungkin nanti tahun-tahun ke depan. Doakan saja semoga stok sabar saya tidak
lantas berkurang.
2 komentar:
gimana pun juga keadaannya, lebih baik menjadi diri sendiri dan bahagia. daripada keliatannya sempurna tapi menjadi diri orang lain (berubah karena tuntutan/paksaan lingkungan).
You can't pleased the society. Entah mengapa topik itu yang menguasai pikiranku selama berminggu terakhir. Saya kagum dengan kesungguhan dan kekuatan hati yang bisa menerima semuanya dengan ikhlas. Toh tujuan paling nikmat dari hidup ketika kita sudah bisa berdamai dengan Tuhan dan diri sendiri.
Salam kenal :)
Posting Komentar