30. Saya pernah berharap bahwa pada angka itu saya akan mengalami titik balik. Titik dimana saya mengakhiri petualangan di dunia semu, menamatkan perjalanan saya pada titian warna kelabu. Ternyata saya masih sebegitu betahnya dalam kesemuan itu, masih sebegitu nyamannya diayun ambingkan belenggu kelabu. Sampai hari ini, angka itu lebih 1.
Saat ribuan detik bergerak menuju pergantian waktu. Saat ribuan panah terlontar tanpa sarana. Saya duduk dalam kesederhanaan. Menikmati kesenyapan malam untuk sekedar menapaki hening. Berusaha mentafakuri segala yang pernah menimpa selama bertahun-tahun kebelakang. Hari ini saya diberi kenikmatan lebih oleh Tuhan. Menjejak usia 31.
Saya tidak muda lagi, saya tahu. Saya sudah harus bersikap dewasa, dari beberapa tahun yang lalu seharusnya. Saya harus lebih memikirkan jalan kedepannya akan seperti apa. Kadang jalan sudah terbentang menantang, maka saya tahu yang saya harus lakukan hanyalah berusaha menjalaninya dengan baik. Tanpa pemberontakan yang justru akan membuat jalannya jadi bergelombang.
Malam tadi, tak lagi ada pesta. Tak ada lagi perayaan dengan menghentak lantai dansa. Tak ada lagi berhura-hura. Saya hanya duduk sendiri, menatap redup lilin yang saya letakan di atas kue tart yang lagi-lagi saya beli sendiri. Saya merenung tentang semuanya, saya berdoa akan banyak harap. Semuanya saya lakukan dalam perasaan indah. Penuh kepasrahan.
Saya Apis, hari ini melontarkan ribuan ucap syukur atas umur yang Tuhan telah beri. Menguntai ribuan doa demi keinginan yang ingin terkabulkan. Tak lupa dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada semua keluarga, teman, sahabat, kolega atas berbagai pengalaman, doa, kesenangan dan kesedihan yang telah diberikan selama ini. Saya sadar tanpa kalian semua, Apis tidak akan sekuat ini. Ijinkan saya lebur dalam syukur karena dianugerahi kalian semua. Sesuatu yang tidak akan saya sesali sampai mati.
Hari ini saat saya berada di titik 31. Saya hanya bisa berharap dapat mengalami transformasi lanjut menjadi sosok yang jauh lebih baik dari sekarang. Berubah menjadi seseorang yang hidup dalam kebenaran menurut Tuhan, bukan lagi kebenaran menurut saya.
Tuhan, saya hanya ingin bahagia. Kalaupun bahagia menurut saya sangat sulit untuk dikabulkan, maka ijinkan saya meminta diberi kebesaran hati untuk berdamai dengan jalan yang telah Engkau gariskan. Ijinkan saya meminta perasaan sederhana yang terus bertambah subur dalam memaknai takdir yang telah Engkau tuliskan. Biarkan saya terus belajar mengerti bahagia yang telah Engkau tentukan.
Kamis, 27 Desember 2012
Senin, 24 Desember 2012
Pada Satu Ketika
Seperti dua orang asing kami duduk bersisian di sebuah lobi
hotel yang lenggang. Hujan yang sedikit lebat sepertinya membuat penghuni hotel
enggan meninggalkan kenyamannya bergelung dengan selimut tebal di ranjangnya.
Seperti yang seharusnya aku lakukan. Seandainya. Ya seandainya aku tidak
bertemu dengannya sore tadi ketika lift terbuka dan mempertemukan kami dari 2
dimensi yang sepertinya berbeda. Dia hendak keluar dan aku beranjak masuk.
Jeda tercipta diantara kami berdua. Waktu seperti berhenti
berputar dan udara mendadak hampa. Tidak ada reaksi. Tidak ada senyuman atau
sekedar kata yang terumbar sembarangan. Kami hanya dibalut diam sampai kami
tersadar kalau kami menghalangi jalan. Masih dengan balutan sunyi kami saling
menghindar, terpisahkan oleh pintu yang otomatis tertutup. Rapat. Seperti hati
kami beberapa tahun ke belakang.
Malam itu kami berbaring saling memunggungi. Masing-masing
sibuk dengan jalan cerita yang direka di dalam kepala. Bisa jadi satu jalinan
cerita atau malah sama sekali berbeda. Tidak ada bebunyian yang memperiuh,
menjadikan adegan demi adegan yang ditayangkan seolah film bisu. Hanya aku dan
dia dalam sebuah scene yang berantakan. Tak jelas plotnya, tak jelas siapa yang
menjalankan peran antagonis atau sebaliknya.
Aku sudah bisa menerka kemana cerita akan bermuara. Sudah
sekian banyak jalinan cerita serupa aku rasa. Hati sudah bebal mungkin
meninggalkan jejak kapalan saking seringnya ditimpa kesakitan. Tidak pernah ada
penyesalan karena semuanya memberikan pembelajaran. Pembelajaran yang tetap
membuatku terperosok pada lubang yang sama berulang-ulang. Dan sepertinya aku
tidak lantas kapok, tidak berhenti mencoba melempar peruntungan karena siapa
tahu kali ini aku tidak mendapatkan ujung yang bergelung. Kusut.
Dan sepertinya aku benar. Di tengah jalan cerita yang
berjalan tanpa aturan, dia kemudian membalikan badan. Memelukku dari belakang.
Seketika aku berharap tidak pernah mengenal suara. Bermimpi kalau gendang
telinga dan cairan kokhlea bisa menyaring suara mana yang ingin aku dengar dan
mana yang ingin aku enyahkan. Seketika aku berharap tuli, mengambil langkah
tidak peduli. Tapi aku salah, kenyataan lagi-lagi dijejalkan paksa dalam
selaksa perasaan. Membuatku sesak. Limbung seperti orang linglung.
Bedanya kali ini tak ada air mata. Hulu kelenjarnya sudah
mengering diganjar kemarau tak berkesudahan. Kesakitan demi kesakitan yang dikecap
menebalkan jaringannya, menyisakan luka parut yang menghalangi jalannya
cucuran. Tidak pernah ada lagi tangisan, tidak peduli seberapa berat jalan
perpisahan yang harus ditelan. Tidak pernah ada lagi isakan, karena aku
menjelma kuat. Selalu siap dengan kemungkinan terburuk ketika memulai sebuah
hubungan. Hubungan yang seringkali justru tidak menemukan jalan untuk
mengantarkanku pulang.
Malam itu dia menggagas perpisahan. Katanya dia sekarang
sudah menemukan jalan yang benderang. Jalan yang dari awal tidak pernah dia
temukan dari hubungan kami yang hanya dibangun atas dasar kekeliruan. Hubungan
yang diretas hanya karena kebimbangan membawa hati berlari. Hubungan yang
kemudian dimaknai sebagai sebuah kesalahan dalam memahami jalan yang sudah
digariskan.
Dia bilang dia akan menikah. Meninggalkan jalanan becek yang
hanya membuat telapaknya kotor oleh lumpur. Menanggalkan semua yang pernah dia kecap
sebagai manis tipuan yang hanya membuatnya ketagihan. Dia tersadar, dengan aku dia
hanya memperoleh temaram. Hanya menempatkannya di pojokan tanpa sinar.
Karenanya dia beringsut pulang, menjajal jalanan yang katanya sudah terbentang.
Haluan yang bisa mengantarkannya pada kebahagian.
Aku turut senang sekaligus mendoakan. Tidak ada yang lebih
menyenangkan ketika bisa melihat orang yang disayang menemukan apa yang selama ini
dia harapkan. Aku sadar, dengan aku dia tidak akan mendapat apa-apa. Cukuplah
aku hanya menjadi sepenggal kenangan yang menyaksikan bagaimana dia tumbuh dan
beranjak dewasa hingga akhirnya berlari ketika dia kemudian menyadari. Tidak
perlu mempedulikan apa yang aku rasakan, karena rasa seperti itu sudah biasa
aku telan. Tidak lagi menyisakan kesakitan mendalam.
Lobi hotel itu semakin ramai. Sepertinya para penghuni mulai
bosan dengan petakan ruang yang sebetulnya dibuat nyaman. Mereka memilih untuk
sekedar mengopi di kedai yang terletak di dalam lobi sambil mengamati hujan
dari jendela-jendela besar di sekeliling ruangan. Aku mendapati ketidaknyamanan
di matanya. Dia yang semula lebih banyak diam kemudian mempertontonkan
kegelisahan. Menggoyang-goyangkan kakinya seperti anak kuliahan yang sedang
menunggu giliran sidang.
Aku hanya diam. Menunggu dia bergerak duluan. Bukan karena
aku seperti jual mahal tapi aku tidak ingin memperpanjang perkara yang
sebetulnya sudah selesai di belakang. Tidak ada yang perlu lagi dipersoalkan,
tidak ada rincian utang yang harus dipertanggungjawabkan. Semua sudah lunas
ketika dia beranjak pergi membawa perpisahan. Tidak ada lagi yang perlu dibayar.
Tidak ada lagi yang harus diselesaikan.
Setengah berbisik dia berkata sesuatu. “Ikut ke kamarku yu!
Aku rindu”
Solo, 13 Desember 2012
Sabtu, 22 Desember 2012
Rahasia
Tidak akan pernah mudah hidup dengan menenteng rahasia.
Apalagi rahasia yang sebetulnya adalah sebuah jalan Tuhan yang tidak bisa
dintentang. Rahasia yang akhirnya menjadi semacam pemakluman diri sendiri atas
apa yang sudah digariskan. Rahasia yang dimaknai sebagai takdir yang tidak bisa
dihindari.
Hidup dengan rahasia seringkali menyulitkan. Membuat semua
jalinan yang harusnya mudah dilalui menjadi diperumit karena seribu satu alasan.
Proses sembunyi dan pencitraan menjadi hal yang harus biasa dijalani. Berkedok
orang lain demi menyimpan rahasia yang masih belum bisa dibongkar sembarangan.
Belenggu normatif membuat rahasia yang sudah sekian lama disimpan tetap berada
di tempatnya yang aman.
Aku hidup dalam rahasia itu. Bertumbuh dari satu
persembunyian ke persembunyian lainnya. Tidak pernah bosan menjadi sosok yang
kadang tidak jelas aku kenal. Aku hanya meminjam raganya demi sebuah rahasia
yang masih tersimpan rapi di kotaknya.
Aku hidup dalam rahasia itu. Sekuat tenaga menyimpan dalam
kubangan agar tidak mudah terbongkar. Alasan klise tidak ingin menyakiti
perasaan orang-orang tersayang menjadi hal yang selalu aku gadang. Biarkan aku
yang menanggung sendirian, tidak peduli kalau yang justru aku terima hanya sekian
banyak kesakitan. Aku mampu. Aku bisa. Bertahan dari deraan agar orang-orang
yang aku sayang terselamatkan. Lagipula ini jalan Tuhan, biarkan saja aku dan
Dia yang mengetahuinya dalam diam.
Aku hidup dengan sebuah rahasia yang sesekali terinderai.
Mungkin tidak sengaja terkuak atau justru malah terbaca secara gampang. Tidak
selalu mudah untuk terus bersembunyi. Terkadang sulit untuk terus berlindung di
balik sosok asing yang justru malah menyulitkan jalan. Ketika hal ini kejadian
aku hanya bisa berdamai. Bernegosiasi agar rahasia yang sudah terinderai tidak
menjadi suatu daftar acuan untuk menghakimi. Aku masih aku yang sama. Hanya
saja hidup dengan menenteng sebuah rahasia.
Seorang perempuan tampaknya diam-diam bisa membaui.
Mengetahui rahasia yang aku simpan sedemikian lama tanpa perlu bantuan
perkataan. Dia tahu, tapi seperti halnya aku dia kemudian memilih hidup dalam
penyangkalan. Memilih memberikan selimut hangat untuk aku tetap bertahan.
Memilih mengesampingkan semua perkiraan dengan tetap mencurahkan perlindungan
tanpa takut ancaman yang akan mengintai. Perempuan itu menjelma perisai,
benteng kokoh yang melindungi aku dan rahasiaku. Perempuan itu aku panggil Ibu.
Ibu, aku tahu engkau mengetahui apa-apa yang tidak pernah
aku jelaskan. Aku tahu sebetulnya engkau bisa membaca dan meraba apa yang tidak
aku perinci dengan teliti. Dan aku tahu engkau tidak pernah peduli dengan semua
itu karena engkau hanya ingin tetap menjadi ibuku. Ibu yang berjiwa ksatria
yang tidak pernah rela anaknya terpanggang di dalam bara. Lewat kasihmu ibu aku
belajar banyak hal, tidak peduli kalau rahasia yang aku tenteng semakin berat
dari hari ke hari.
Lewatmu aku belajar berjuang. Melaluimu aku belajar proses
mengesampingkan. Mendahulukan kebahagiaan orang di atas kepentingan diri
sendiri yang sebetulnya juga tidak pernah gampang. Terima kasih untuk
senantiasa selalu berada di sampingku ibu. Menjadi Ibu, teman, sahabat dan
partner bertengkar yang mengasyikan. Terima kasih juga untuk mau terus hidup
dengan rahasia yang aku simpan tanpa ada gugatan. Aku tahu kalau ibu juga pasti
tahu.
Selamat hari Ibu, Ibu. Aku mencintaimu.
Senin, 17 Desember 2012
Aku Harus Membunuhnya
Matanya berkilat ketika aku mengembalikan dia pada posisi
semula. Ada kemarahan yang menggebu-gebu di matanya, ada ketidaksudian yang
berkobar bahkan ketika dia tidak meronta seperti beberapa menit sebelumnya
ketika aku yang sudah kesekian kali mengembalikannya pada posisi semula.
Mendudukannya di kursi kayu reyot tak jauh dari tempat aku berdiri.
Sudah tidak ada rontaan. Tidak ada lagi cacian dan serapah
yang begitu lancar keluar dari bibirnya yang kecil. Kata-kata kotor yang tidak
diperkenankan. Kata-kata berbau sampah yang aku sendiri tidak habis pikir dari
mana dia menemukan dan mempelajarinya. Kali ini dia hanya diam. Tenang. Tidak
melawan. Tapi matanya seakan mau menerkam, menelanjangi aku yang sudah
kelelahan.
Aku juga diam. Badanku kuyup oleh keringat. Perlahan aku
mengatur irama nafasku yang sempat tersenggal-senggal seperti habis ikut lari
halang rintang. Letih baru terasa justru ketika aku sudah diam, padahal tadi
dengan kekuatan entah dari mana aku seperti melayani permainannya. Berlari
mengejar. Menghindari tendangan. Menangkis pukulan. Mengelak dari jambakan. Dan
anehnya aku hanya selalu menghindar tanpa melawan. Mungkin karena aku sangat
menyayanginya, dan aku tahu kalau dia juga tidak pernah bermaksud ingin
menyakitiku. Dia hanya kadang tidak bisa mengontrol emosi.
Kami berkenalan sudah lama, ketika kami sama-sama masih
berumur belasan. Bersahabat tanpa banyak
syarat yang mengikat. Awalnya aku tidak pernah sadar kalau dia itu ada,
menganggapnya hanya sebuah ilusi yang konon memang bukan mimpi. Meski begitu
dia tidak pernah jera mengajakku bermain. Tidak kapok dengan banyak penolakan
yang aku pertontonkan. Dia tidak mengenal kata menyerah dan lama-lama aku yang justru
menyerah. Pasrah. Mengikuti semua permainan yang dia tawarkan. Turut serta
dalam berbagai rencana rahasia yang dia utarakan.
Awalnya menyenangkan. Bertahun-tahun aku merasa nyaman.
Seperti punya sahabat yang bisa dipercaya tanpa takut ditinggalkan atau
digunting dalam lipatan. Dia setia. Menemani tidak hanya dalam keadaan bahagia
tetapi seringkali justru ketika sedih menghampiri.
Lama-lama aku merasa bosan, apalagi ketika dia berpikir
kalau dia juga harus berteman dengan teman yang aku temukan kemudian. Padahal diantara
mereka tidak pernah ada kepentingan. Dia mengikutiku ke sekolah, ke tempat les
bahkan ke tempat pelarian ketika aku sebenarnya ingin sendirian. Dia seperti
hidup dalam ketakutan. Takut aku tinggalkan, takut aku buang ke jalanan ketika
aku merasa dia sudah tidak dibutuhkan.
Bersahabat dengannya ternyata menyulitkan. Membuatku kadang
tidak bisa merefleksikan siapa aku sebenarnya. Dia selalu ingin ditampilkan.
Dinomorsatukan. Muncul disaat-saat yang tidak tepat yang membuat aku kemudian
menjadi bahan cemoohan. Dia seperti sengaja melakukan itu semua, agar aku tidak
memiliki banyak kawan. Dia ingin aku merasa sendirian karena dia tahu ketika
itu kejadian maka aku akan kembali kepadanya. Bermain seperti anak kecil yang
tidak tahu jam. Berlarian tidak peduli bahaya di jalanan yang penuh kendaraan.
Dia manipulatif. Menciptakan banyak keadaan yang tidak bisa aku hindarkan.
Matanya masih berkilat dan aku masih berdiri kelelahan.
Tidak ada lagi rontaan ataupun kalimat-kalimat serapah yang bermunculan. Dia
menelanjangiku dengan tatapan yang artinya tidak bisa diejawantahkan. Penuh
amarah dia memandangiku yang nafasnya masih sedikit menderu. Sejenak dia
tersenyum. Senyum picik yang menandakan kalau dia merasa memenangkan
pertandingan. Senyum yang justru aku benci ketika aku merasa kalah.
Tapi itu dulu. Saat dimana aku sebetulnya mengalah karena
lelah. Saat dimana aku berlaku mengenakan logika dibandingkan nafsu. Kali ini
aku tidak boleh lagi kalah. Bosan rasanya menjadi marjinal di lingkungan yang
seharusnya aku memegang peranan. Kali ini aku tidak boleh lagi mengalah, karena
kesempatan yang banyak aku berikan justru menjadikannya tidak tahu aturan.
Banyak kelonggaran justru menjadikannya kurang ajar.
Dia tersenyum sekali lagi. Dan demi Tuhan aku membenci
caranya tersenyum. Matanya masih berkilat-kilat tapi kali ini bukan berisi
amarah melainkan olokan. Sepertinya dia masih ingin bermain, menguji
kesabaranku yang sudah setipis kelambu.
Mendadak dia bangkit sampai kursi kayu reyot yang
didudukinya terjengkang ke belakang. Dia berlari melintasi ruangan menuju ke
pintu yang sedikit terbuka. Sesaat dia membalikan badannya dan menjulurkan
lidahnya tanda ejekan. Aku tidak kaget karena aku sudah menyimpan awahan.
Ancang-ancang yang sudah dipersiapkan ketika dia tiba-tiba berulah seperti
barusan.
Dengan kekuatan penuh aku mengejarnya dan ketika dia sudah
ada dalam rengkuhan, aku cengkram bahunya. Dia terpelanting ke lantai,
membalikan badannya dan tersenyum dengan cara yang sungguh aku benci. Dia salah
kalau dia pikir aku akan mengangkat dan mendudukannya lagi di kursi. Tidak,
kali ini dia salah. Aku tidak ingin bermain lagi. Aku lelah. Kurekatkan
tanganku di lehernya dengan posisi kedua ibu jari ada di bagian depan. Aku
mengalirkan tenagaku kesana. Aku mencekiknya.
Aku harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak lama. Aku
harus membunuh dia. Mungkin seharusnya sejak dulu. Aku seharusnya membunuh dia,
anak kecil yang ikut tumbuh dalam tubuh dan pikiranku.
Senin, 10 Desember 2012
Harita
Nemu tulisan ini di komputer lama :
Eta surat ondangan masih keneh dicekelan ku sim kuring.
Kertasna geus lecek kusabab sering dibuka, diremes terus dibuka deui. Sigana
kuring geus ngalakukeun puluhan nepi ka ratusan kali eta lalampahan ti mimiti
eta ondangan nepi ka leungeun kuring .
“Kuring hayang anjeun datang. Kuring hayang anjeun nyakasian
eta poe sakral, poe dimana sabenerna kuring miceun hiji impian, salilana.
Impian anu can kungsi kuring perjuangkeun, can sempet oge kuring mimitian. Hanjakal,
kuring leuwih tiheula digeuingkeun ku kaayaan. Waktu ngageuingkeun paksa kuring
tina impian, maksa kuring ngaguar lampah dina lorong kanyataan” manehna ngomong
bari nyodorkeun ondangan nu warnana gandaria ka hareupeun kuring.
Kaayaan rumah makan beurang eta rame pisan, tapi hate kuring
sepi. Cipanon rasana parebut menta dikaluarkeun, tapi sakuat tanaga kuring
nahan. Rasana geus cukup kuring ceurik balilihan, kusabab ceurik henteu nganteurkeun
kuring ka dimensi anu dipikaharep. Kuring tetep jadi kuring, jelema anu dipaksa
ngadange hatena soek. Sorangan. Kuring narima eta ondangan dina parasaan hampa,
satengah eungap.
“Jang naon kuring datang? Kapentingana naon kuring kudu
ngahadiran eta acara? Teu bisa kitu anjeun ngaraba hate kuring sakeudeung,
mikirkeun parasaan kuring. Geuslah, kuring geus berusaha ikhlas ngaleupas
anjeun. Entong ngabebani deui kuring!” Satengah ngagorowok kuring ngucapkeun
eta kalimat, untung kuring masih sadar mun eta kajadian lumangsung di tempat
umum. Kuring cengkat terus indit ti hareupeunana.
“Tulunglah....demi kuring!” Masih keneh jelas kuring
ngadenge manehna ngucapkeun eta permohonan.
Poe eta datang oge, poe kawinan manehna. Kawinan lalaki anu
pernah jadi lalaki kuring. Jelema anu ngenalkeun getar asmara kuring anu
mungggaran ka dunia abu-abu. Jelema nu datang sabagai jawaban tina kagelisahan
kuring nu beda tinu lian. Bareng manehna kuring ngecap bahagia, bareng manehna
kuring nyobaan nu kubatur disebut nista.
Kuring memang datang poe eta, tapi kuring teu kaluar tina
mobil. Kuring ukur muka kaca jandela, nempokeun ti jauh. Manehna, lalaki nu
pernah kuring puja, lancar tur wibawa ngucapkeun ijab kabul, ngawinan awewe nu
geus dipilihkeun kolotna. Manehna, lalaki nu pernah nyieun gambar hate dina
dada kuring pinuh, gumujeung pas ratusan tamu ondangan mere ucapan salamet tur
untaian doa. Kuring ninggali manehna bahagia, kuring bisa ngarasakeunana.
Duh anjeun panganten lalaki, kuring datang ka kawinan anjeun.
Minuhan jangji jeung namatkeun kabahagiaan kuring. Anjeun meureun teu sadar mun
kuring datang, kuring memang teu niat ngadatangan anjeun sacara langsung.
Kuring ngan ngilu ngadoakeun sangkan anjeun hirup bahagia salalawasna jeung
awewe eta. Istri anjeun anu sah. Kuring harep anjeun teu ninggali deui ka
tukang, tamatkeun bae jalinan kisah anjeun jeung kuring anu sarua lalaki nepi
ka dieu.
Kuring nutup kaca jandela, terus lalaunan nutup panto hate
sabari cirambai.
Tulisan ini d buat sebagai tugas pada acara Pasanggiri Mojang Jajaka Jawa Barat 2003. Lewat tulisan ini juga si penulis terpilih sebagai Jajaka Calakan Jawa Barat 2003.
Senin, 03 Desember 2012
I'm What I'm
“Kalau kita terlambat bertemu dengan jodoh, bukan berarti
kita harus menghambat orang lain untuk bertemu jodohnya”
Itu quote yang saya buat sendiri sekitaran akhir tahun lalu.
Quote yang tiba-tiba muncul di dalam kepala ketika adik saya bertunangan dengan
kekasihnya yang sudah dia pacari hampir 3 tahun lamanya. Pertunangan yang
dilakukan sebagai langkah awal untuk menuju perkawinan yang direncanakan
terjadi tahun ini. Tahun 2012.
Apakah saya sedih? Apakah saya kecewa? Apakah saya merasa
ditinggalkan? Apakah saya merasa Tuhan tidak berlaku adil terhadap saya?
Jawabannya hanya satu. Tidak. Tidak ada sedikitpun saya merasa sedih, kecewa,
ditinggalkan apalagi merasa dizhalimi Tuhan. Boleh percaya atau tidak, tapi itu
sesungguhnya yang saya rasakan. Mungkin kebanyakan orang termasuk keluarga
dekat saya yang bukan keluarga inti tidak mempercayainya. Tapi saya tidak
peduli. Saya tidak hidup dalam opini mereka.
Kalaupun misalnya saya bersedih, kecewa kemudian merasa
ditinggalkan apa yang bisa orang-orang itu lakukan? Memberikan penghiburan?
Memberikan semangat? Saya tidak butuh semua itu karena sekali lagi saya
tegaskan kalau tidak ada perasaan-perasaan semacam itu ketika adik saya yang
memang terpaut umur 6 tahun akan melangkah ke gerbang perkawinan. Saya justru
ikut bahagia karena dia lebih cepat bertemu dengan jodohnya. Lebih cepat
menyempurnakan agamanya.
Rencana hanya tinggal rencana. Adik saya dan kekasihnya
karena satu dan lain hal harus mengubur keinginannnya. Selamanya. Mereka
membatalkan pertunangannya. Memberi akhiran pada jalinan kasih yang sudah
mereka bina selama tiga tahun untuk alasan yang tidak perlu saya tuliskan. Adik
saya bersedih, orang tua saya bersedih, sayapun ikut bersedih. Adik saya sedih
karena sebetulnya dia masih sangat mencintai kekasihnya. Orang tua saya sedih
karena melihat anak bungsunya bersedih. Saya bersedih karena saya juga kasihan
dengan adik saya. Dan kadar sedih sayapun bertambah ketika banyak orang di
luaran sana yang mengatakan bahwa putusnya hubungan mereka adalah karena doa
yang saya panjatkan.
Bagaimana mungkin mereka memiliki pikiran picik semacam itu.
Sebetulnya saya tidak lantas peduli. Saya menganggapnya angin lalu meskipun
ketika saya konfrontir mereka mengklarifikasinya sebagai sebuah candaan.
Candaan yang menurut saya sangat tidak lucu. Candaan dangkal yang tidak perlu
saya perpanjang. Tuhan yang paling tahu apa yang saya rasakan. Sampai berbuih
seperti apapun saya menjelaskan, kalau orang lain memilih tidak percaya maka
ujungnya hanya akan sebuh ketidakpercayaan. Karenanya saya mengembalikan kepada
Tuhan, Dzat yang tidak bisa disangkal.
Waktu terus bergerak. Adik saya disembuhkan. Adik saya kemudian
bertemu lagi dengan seseorang. Dan romansa kembali dituliskan. Adik saya
memiliki kemampuan untuk move on jauh lebih cepat dari pada saya yang
seringkali masih tertambat pada perasaan di belakang. Saya harus belajar banyak
dari adik saya. Bagaimana melenyapkan atau menyimpan masa lampau. Apakah
lagi-lagi saya merasa ditinggalkan? Tidak. Saya kenal siapa adik saya, tipe
orang yang tidak pernah bisa sendirian. Semakin cepat dia berpasangan, semakin
cepat bahagia akan dia jelang. Dan saya turut bahagia.
Tidak memiliki seseorang selama bertahun-tahun mengajarkan
saya untuk tidak pernah bergantung pada orang lain. Saya mampu datang ke
undangan pernikahan siapapun sendirian. Saya mampu berbelanja sendirian. Tidak
gentar untuk makan di restoran sendirian. Tidak peduli saat sekian banyak mata
mempertanyakan ketika saya datang ke bioskop sendirian. Tidak pernah ada masalah.
Saya hanya belajar untuk kuat walau tidak dipungkiri kadang saya iri. Sebatas
iri yang datang kadang-kadang tanpa diundang.
Sekarang bulan sudah Desember. Satu tahun silam adik saya
bertunangan meski kemudian digagalkan. Dan tahun ini rencana seperti dulu
kembali diperdengarkan. Adik saya berencana menikahi kekasih barunya tahun
depan. Tanpa pertunangan karena mungkin ada sedikit rasa trauma yang menggelayuti
selaksa perasaan. Dan saya tetap saya seperti satu tahun silam. Tidak sedih,
tidak kecewa atau merasa dizhalimi Tuhan. Mungkin sudah takdir kalau harus adik
saya yang terlebih dahulu menemukan tulang rusuknya yang hilang. Saya tidak
keberatan.
Katanya lahir, jodoh dan mati sudah diatur oleh Tuhan.
Kenapa sebagai hamba saya harus merasa sangsi? Saya yakin Tuhan sudah
mempersiapkan seseorang untuk melengkapi hidup saya. Kalau tidak sekarang,
mungkin nanti tahun-tahun ke depan. Doakan saja semoga stok sabar saya tidak
lantas berkurang.
Langganan:
Postingan (Atom)