Ya seharusnya. Karena sudah dari dulu kamu tidak pernah
tertarik dengan aku. Kamu hanya menganggap aku sebagai seorang sahabat, tidak
lebih. Sahabat yang kemudian lambat laun pernah menyemai cinta yang datangnya
tiba-tiba. Cinta yang datang begitu saja. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh
pergi.
Awalnya aku mengira itu hanya sementara. Buah dari kedekatan
yang intens. Reaksi dari pertemuan dan percakapan yang terlalu sering. Kemudian
aku merasa nyaman. Merasa menemukan pelabuhan untuk sekedar menambatkan hati.
Menguntai serakan kelopak rasa yang datang tiba-tiba. Tanpa permisi, tanpa bisa
disuruh pergi.
Dan aku salah. Rasa itu tidak lantas mau pergi bahkan ketika
waktu sudah banyak berlalu. Rasa itu mengendap, tidak mudah dienyahkan bahkan
ketika sudah banyak hati lain yang datang bergantian. Rasa itu seperti tidak
mau mati, minta dituntaskan padahal sudah tidak ada jalan.
Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Membelanjakan perasaan
yang ujungnya hanya berupa jalan tak bertuan. Harusnya aku hanya menjadi
pendengar setia ketika kamu dengan antusias menceritakan seseorang yang
sekarang sedang dekat bersamamu. Seseorang yang katanya membuatmu utuh karena
mengisi banyak kekosongan di hatimu. Seseorang yang mampu memberimu semangat
ketika banyak halangan yang harus disingkarkan. Seperti aku terhadapmu. Dulu.
Coba kamu dengar lebih seksama. Kalaupun aku lebih banyak
diam dan mendengarkan ketika pagi itu kita duduk berisisian, hati aku gaduh.
Ramai oleh banyak sekali keberatan yang terlontar tanpa perkataan. Aku lebih
banyak diam seolah menyimak dengan benar tentang dia yang kamu bangga-banggakan,
seolah aku antusias dengan apa yang kini kamu rasakan. Padahal semua itu adalah
caraku meredam gaduh. Mengalihkan ramai yang hati tengah rasakan.
Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Bahkan ketika nama
laki-laki itu muncul di layar telponmu, atau ketika kamu berbicara sambil
setengah berbisik kepadanya. Seharusnya aku tidak perlu cemburu pagi itu. Tapi
aku mendadak berharap tuli, tidak ingin mendengar apa yang kalian
perbincangkan. Berharap kalau suara tidak bisa merambat melalui udara dan hanya
sebuah momentum yang hanya menghubungkan mulutmu dengan telinganya dan
sebaliknya. Aku tidak perlu terlibat.
Entah bagaimana caranya membunuh cinta. Atau setidaknya rasa
yang mengendap kalau itu tidak lagi layak dikatagorikan cinta. Aku bosan
diganduli perasaan yang masih terus saja mengganggu padahal aku tahu ujung
jalannya serupa buntu. Tidak akan pernah ada jalan keluar, karena selayaknya
aku, kamu juga bertahan. Bertahan untuk tidak lantas peduli. Bertahan untuk
menganggap apa yang pernah aku lakukan dan utarakan hanyalah setangkup masa
lalu.
Memang akhirnya selalu aku yang bersalah. Tidak perlu diberi
tahu karena aku sadar benar kalau apa yang aku jalankan adalah sebuah langkah
yang keliru. Memupuk perasaan yang seharusnya sudah dienyahkan ketika malam
itu, di kostmu kamu berkata bahwa diantara kita tidak mungkin ada apa-apa. Ada
yang harus lebih dihormati selain cinta yang tumbuh tanpa permisi, persahabatan
itu sendiri.
Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Yang perlu aku lakukan
hanyalah membunuh rasa yang sudah sekian lama mengendap. Entah dengan cara apa.
3 komentar:
aih dalem banget ini......
tunjukan dong,,,, jangan sampe perasaan itu membusuk termakan waktu
Lelah menebak-nebak ini yang mana Lago hihihi...
@riza: apanya nih yang mesti ditunjukan? bukan hanya membusuk, perasaan itu sudah lapuk meski belum sepenuhnya bisa dihilangkan. Apasih :))
@anonim: hey maneh, gw nggak selaku itu kaleee. Masih orang yang sama kok. Pertanyaannya, yang manaaa? tebak aja sendiri...
Posting Komentar