Gelap. Hanya hitam yang kemudian kudapati sesaat setelah
sensasi kilatan cahaya menyelinap menghampiri mata. Aku terpelating, badanku
tidak siap menerima gerakan yang tiba-tiba sehingga badanku mencium lantai
sepenuhnya.
Kurasakan panas yang menjalar di seputaran mata, merambat
perlahan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kesakitan. Dalam kondisi masih
gelap dan badan yang juga masih luruh di atas lantai, aku mencoba meraba-raba.
Mencari sedikit cahaya yang bisa menuntunku berdiri. Tapi sebelum cahaya itu
kutemui, rasa panas di seputaran mata itu semakin menjadi, membakar retina
sampai keluar air mata.
Dengan kekuatan yang sedikit tersiksa, aku mencoba berdiri
dengan menopangkan tangan di sudut meja. Sedikit demi sedikit kesadaran aku
pulih meskipun rasa sakit yang mendera kepala berubah menjadi pening yang
berputar-putar tidak karuan. Aku tak abaikan, aku terus mencoba berdiri,
mengumpulan keberanian untuk melihat dalam keremangan yang mengelabui jarak pandang.
Kucoba mengingat, mengurai rentetan peristiwa yang hanya
terjadi dalam hitungan 10 jari. Panas masih menjalar di mata sebelah kananku
sementara air mata terus mengalir seperti berusaha meredam panas yang tercipta
dan mencegahnya gosong hingga menjadi bara. Rentetan peristiwa itu justru baur
ketika aku mecoba menguntainya menjadi sebuah jalan cerita yang utuh. Seperti
ada bagian-bagian yang hilang berserakan entah ke arah mana. Aku masih terus
mencoba berdiri sementara dadaku penuh, memburu, tersumbat emosi.
Lambat laun aku bisa menginderai sesuatu. Seseorang yang aku
kenal benar sedang duduk gemetar juga di atas lantai. Mukanya pucat seperti
habis melihat hantu, tangan kirinya menutupi tangan kanannya yang bergetar
hebat. Aku masih menangis, efek dari rasa panas dan pusing yang masih berdiam
di dalam kepala. Sementara dia hanya diam. Tidak berusaha menolong tidak juga
berusaha menghindar. Kami saling berpandangan.
Tiba-tiba aku berteriak di awal kesadaranku yang mulai
pulih. Aku menemukan kewarasanku tentang semua peristiwa yang tadi sempat
hilang melompat-lompat dalam impuls syaraf seumpama gerak brown. Acak. Tidak karuan.
Aku berteriak seperti orang kerasukan. Tubuh bergocang karena emosi yang
meledak tiba-tiba seperti granat nanas yang dilemparkan ke medan peperangan.
Aku meronta di tengah ketidakbedayaan. Aku terus berontak di tengah panas dan
sakit yang mendera bagian kepala secara bersamaan.
Sementara dia masih gemetar. Wajahnya sepucat mayat. Tidak
ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Tidak ada usaha untuk menghindar
ketika aku mendekatinya dan mengangkat kerah baju di lehernya. Entah dengan kekuatan
yang datangnya dari mana, aku memaksanya berdiri dan menyeretnya ke pintu
apartemen yang terkunci. Dengan nafas yang masih saja menderu, aku membuka
pintu dan mendorongnya ke arah gang kemudian menutup pintu dan menguncinya
seperti tadi.
Aku bersandar di balik pintu, memelorotkan tubuh sampai
duduk terkulai di atas lantai. Tidak aku pedulikan suara ketukan dan rengekan
permintaan maaf dari balik pintu. Aku hanya diam seperti ditotok seumpama
patung. Sadar tetapi tidak punya sedikitpun kekuatan untuk sekedar menggerakan
badan. Perlahan aku menangis, pelan sampai kemudian terisak tanpa suara. Aku
hilang faham, aku mutlak kehilangan akal atas apa yang barusan dia lakukan.
Bagaimana cinta membuatnya menjadi sedemikian brutal.
Bagaimana mungkin takut kehilangan bisa membuatnya beringas dan bertindak tak
memakai aturan. Banyak pertanyaan berseliweran di ranah pemikiran, sampai
akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan bahwa meninggalkannya merupakan
keputusan yang tidak perlu ditinjau ulang. Berpisah adalah langkah paling tepat
untuk digagas bahkan sebelum peristiwa barusan kejadian.
Aku mencintainya, dulu. Dia mencintaiku, katanya. Mungkin
dengan porsi yang berlainan. Aku mencintainya dengan cukup sementara dia
mencintaiku berlebihan. Dan mungkin karena aku tidak bisa menampungnya secara
keseluruhan makanya dia membaginya dengan orang. Menyelingkuhiku di belakang.
Dan aku tidak pernah punya ampun untuk sebuah perselingkuhan meskipun dia
bersumpah telah memutuskan si selingkuhan dan meminta aku untuk balikan.
Tidak. Tidak akan pernah aku merubah pendirian untuk sebuah
ketidaksetiaan. Bentuk memaafkan kesalahan yang paling tepat untuk sebuah
perselingkuhan adalah dengan
meninggalkan dan tidak ingin diajak memulainya lagi dari awal. Kesempatan sudah
disia-siakan maka tidak perlu lagi ada pembelaan atas dasar kekhilafan. Sekali
terjadi tidak mustahil kalau hal tersebut akan berulang di depan. Dan aku tidak
ingin jatuh kasihan dengan memberinya satu lagi kesempatan. Usai berarti akhir.
Selesai adalah titik.
Malam itu, ketika udara di luar begitu mengigilkan dia
datang lagi. Mengagas usulan untuk berdamai dan mengulang apa yang pernah hati
bicarakan. Sayang aku sudah bebal, tidak mempan oleh berbagai rayuan ataupun
maaf yang dimintakan. Aku memaafkan tapi tidak ada alasan untuk memulainya lagi
seolah perselingkuhan adalah hal yang bisa mudah terlupakan. Aku bertahan
dengan pendirian ingin sendirian. Aku berdiri pada titik menutup kesempatan
pada permintaan yang dia ingin aku kabulkan.
Dan dia kalap. Tidak terima dengan sikap bertahan yang aku
pertontonkan. Kami beradu argumen. Saling berteriak hingga suaranya menggema di
lorong-lorong apartemen yang kosong. Tidak ada yang melerai, tidak ada satupun
yang meredakan. Kami sama-sama bertahan pada keinginan yang justru berlainan. Dan
ketika aku terpancing untuk terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk tepat di
bagian matanya yang hanya berupa garis lurus, dia bereaksi keras. Dengan
kekuatan penuh dia mendaratkan tinjunya tepat di mataku sebelah kanan. Dua
kali. Setelah itu gelap.
Aku masih bersendar di balik pintu yang tidak lagi
mengeluarkan suara hasil ketukan. Masih menangis karena menyesali kemalangan
sekaligus mensyukuri berkah atas apa yang baru saja Tuhan tunjukan. Orang yang
selama ini aku sayang, yang perilakunya lembut dan tidak pernah mengumbar
kekerasan tiba-tiba menunjukan tabiat aslinya. Dia melepas topeng yang selama
ini dikenakannya, berubah wujud menjadi seseorang yang sama sekali tidak aku
kenal.
Di luar hujan masih turun tidak berkesudahan. Hawa dingin
menyelusup dengan leluasa lewat kisi-kisi jendela yang terbuka. Sakit di bagian
kepala sekarang sudah menjalar ke bagian dada. Tepat di hati dia beranak pinak
menjadi bilur-bilur yang mengeluarkan darah. Untung otak masih bisa diajak
menganalisis langkah yang harus diambil sesudahnya, melaporkannya pada pihak
yang berwenang atas dasar penganiayaan atau melupakannya dan membiarkannya
hidup dalam sepenggal penyesalan.
Dan aku memilih bungkam. Tidak perlu memperpanjang persoalan
karena akhirnya hanya malu yang akan terhidang. Biarkan saja waktu berjalan
karena beberapa bulan ke depan aku akan pulang dan meninggalkannya sendirian.
Beberapa bulan ke depan tidak ada lagi aku dan dia yang sekarang sudah
dibandrol sebagai kenangan muram.
Tokyo, 19 November 2003
Ditulis ulang dari draft yang ditemukan terbujur di folder
masa lalu.
2 komentar:
wew.. jd teringat... ketika tonjokannya mendarat di pipi kanan-kiri.. 4x tonjokan.. kuping berasa pengang.. kacamata jatuh.. akhirnya seminggu gak bisa maksimal buka mulut...
bodohnya aku terlalu sulit meninggalkan lelaki itu, satu2nya pacar yg kasar ke aku..
@andro: apa mbaaaak? 4 kali dan mbak masih gak bisa meninggalkan lelaki itu? oh come on, you must be kidding me!!
Tapi kadang ya, cinta itu suka menelantarkan logika.
*masih speechless
Posting Komentar