Ada banyak pertimbangan ketika menentukan mana yang harus
disimpan dan mana yang harus dibuang. Ada berbagai macam ketakutan yang siap
membayang ketika ‘terpaksa’ harus membuang sesuatu yang seharusnya disimpan,
atau justru malah ‘terpaksa’ menyimpan sesuatu yang seharusnya dibuang dari
awal.
Berkemas untuk saya bukan sekedar memilah. Berkemas untuk
saya adalah sebuah proses yang mungkin panjang sebelum akhirnya saya tiba pada
sebuah titik tujuan. Sebuah keputusan. Proses yang biasanya dibanduli rasa gamang
berkepanjangan padahal untuk sebagian besar orang hal itu semudah membalikan
telapak tangan.
Ketika ritul berkemas sudah akan dimulai, maka saya akan
mengumpulkan semua perabotan dalam satu tumpukan di pekarangan. Satu per satu
kemudian saya telaah mengenai asal muasal bagaimana dia datang, sampai
pertanyaan apa untung dan ruginya ketika mereka saya simpan atau saya buang.
Lama. Mungkin sebagain orang akan kesal melihat apa yang saya lakukan, terutama
sahabat-sahabat yang sedari awal meneriaki saya ketika justru saya menyimpan
sesuatu yang seharusnya saya buang.
Kadang saya tidak peduli. Seringkali perasaan saya mati.
Saya tidak lagi dengan waras dapat membedakan mana yang perlu dibingkai dan
mana yang perlu ditanam dalam. Saya percaya dengan apa yang saya yakini
meskipun hal tersebut seringkali salah dan menyulitkan saya kemudian. Saya
tidak pernah jera, padahal sudah banyak air mata yang tertumpah sia-sia hanya
karena saya salah mengemasi tumpukan barang-barang yang bertaburan di
pekarangan.
Mendadak saya tidak bisa berfikir panjang ketika saya
dihadapkan pada sebuah pilihan ketika berkemas. Otak saya memboikot tidak mau
berfungsi sebagaimana mestinya, dia mangkir dari tugasnya mendampingi hati.
Karenanya hati bekerja sendiri, dan sudah bisa ditebak ketika hati bekerja
tanpa diproteksi nalar maka dia cenderung untuk bergerak tidak sesuai porsi.
Hati berontak ketika ‘dipaksa’ mengenyahkan barang yang penuh dengan bilur
kenangan yang selayaknya dibuang.
Hati pasang badan. Siap menanggung apapun yang mungkin nanti
akan kejadian. Dia seolah sok pintar dan berlagak penuh pengalaman. Sayang hati
yang saya punya, yang saya kerangkeng dalam rongga dada dan selapis diafragma,
tidak pernah mau belajar. Dia egois tanpa saya bisa berbuat lebih. Dia berujar
kalau dia kuat menahan semua siksaan dan akan memikulnya sendirian. Tentu saja
dia berbohong, karena ketika dia mendapat ganjaran dari kesalahannya mengemasi
kenangan maka saya ikut ketiban sial. Ikut merasakan kesakitan.
Buat saya berkemas adalah suatu proses panjang. Pergulatan hati
dan nalar yang sering kali menolak untuk bekerja berbarengan. Mungkin otak saya
sudah bosan, makanya dia bungkam dan menyuruh hati yang bergerak sendirian. Memilah
dan memilih kenangan mana yang ingin disimpan, membuatnya bingung sehingga
seringkali dia salah jalan. Keliru mengambil keputusan.
Atau jangan-jangan hati dan nalar saya sebetulnya
berkomplot. Bekerja sama memberi saya pelajaran bahwa kesakitan yang terus
disimpan akan membuat keropos perasaan berkepanjangan. Jangan-jangan mereka
bersekongkol, membuat saya salah mengemasi kenangan agar saya belajar. Dan
bagai anak bodoh yang tidak bisa menurunkan sebuah rumus aljabar,
berulang-ulang saya dibuat tidak naik kelas karena saya tertambat di belakang.
Di masa lalu yang kenangannya seharusnya dibuang atau dijadikan cerminan untuk
berjalan lebih lapang.
Untuk saya berkemas itu adalah, entahlah...
2 komentar:
iyaaa.. bener banget... emang sering gak rela membuang sesuatu barang gak berguna tapi punya banyak kenangan...
that's why rumahku udah keliatan penuh... padahal banyak yg gak terpakai yg cuma disimpan di lemari... :)
@andro_danish : Ya seandainya "barang-barang" yang seharusnya saya buang itu bisa ditampung di dalam lemari dan bukannya di dalam jambangan kesedihan #mendadakcurhat #menjeritdalamhati :))
Posting Komentar