Aku senang memandangi wajahnya saat dia sedang terlelap.
Rasanya damai. Seperti malam itu di
ruang preparasi laboratorium mikrobiologi di kampusku, kampus kami. Dia tidur
seperti bayi, tidak terganggu oleh aktivitasku yang hilir mudik mengerjakan
penelitian tugas akhir jaman kuliah sarjana dulu.
Awalnya dia tidak mau menemaniku, katanya tidak ada kerjaan
menunggui orang yang sedang menghitung jumlah bakteri per dua jam hanya untuk
melihat kurva pertumbuhannya. Melihat kapan bakteri-bakteri itu mulai tumbuh
pesat, lalu tumbuh stagnan kemudian mengalami fase kematian. Otak tekniknya
menganggap pekerjaanku hanya buang-buang waktu. Sesuatu yang tidak perlu dikaji
secara teliti.
Hal-hal seperti itu biasanya menjadi sumber pertengkaran.
Sampai aku bosan melayani dan dia bosan mempertanyakan. Kami hanya melakukan
kewajiban ‘menemani’ seperti apa yang dilakukan pasangan lain. Menguatkan
secara emosi meski kadang tidak bisa membantu secara fisik. Seperti beberapa
hari sebelum malam itu, aku merajuk untuk ditemani menginap di lab. Dan dia
menolak layaknya biasa. Bagi dia kalau bisa berkata tidak untuk apa mempermudah
keadaan dengan mengatakan iya. Aku sudah hapal benar tabiatnya. Sialan.
Aku tetap bertahan. Keukeuh minta ditemani dengan alasan
tidak ada partner lain yang mengerjakan hal serupa. Biasanya aku memang tandem
dengan teman-teman lain yang tema penelitiannya relatif serupa. Sayang, hari
itu tidak ada yang merencanakan melakukan pekerjaan yang sama sehingga aku
harus mengerjakannya sendirian. Tidak masalah sebetulnya, karena meskipun
tandem kami akan bekerja sendiri-sendiri, hanya saja merasa tertemani.
Rumor mengenai keangkeran kampus kami, termasuk “si gaun
merah” penghuni selasar di lantai 4 lab mikrobiologi yang menyebabkan aku tidak
pernah berani bekerja sendirian malam hari. Apalagi harus menginap. Karenanya
aku mengajak dia, yang berstatus sebagai kekasihku untuk menemani. Tidak peduli
kalau nanti dia hanya tidur di kasur lipat yang sengaja aku bawa dari rumah,
setidaknya aku tidak merasa sendiri. Ada dia, meskipun dukungan terbesar yang
bisa dilakukannya hanyalah terlelap dengan nyenyak.
Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap.
Rasanya damai. Seperti malam itu ketika aku di sela-sela waktu jeda duduk
memeluk lutut di sebelahnya. Tanpa banyak suara aku hanya mengamati. Menelisik
hampir setiap bagian tubuhnya yang malam itu lagi-lagi dibalut jaket himpunan
kebanggaannya. Jaket himpunan yang sering berbau tidak enak saking jarangnya
bertemu air dan sabun. Jaket himpunan yang pernah aku ambil diam-diam dari
kosannya untuk kemudian aku laundry di binatu dekat kampus.
Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap.
Rasanya damai. Dan sepertinya aku kecanduan. Terpuaskan hanya dengan memandangi
wajahnya ketika dia sedang terlelap. Menyihirku agar tidak kesal dengan
kebiasaannya yang bisa tidur di mana saja dan kapan saja. Tidak peduli saat itu
kami sedang berdiskusi, atau sedang duduk saling bersisian sambil menonton DVD
secara marathon di kosannya yang berantakan. Kalaupun aku mengutarakan
kekesalanku, maka dengan cekatan dia akan mengucapkan kalimat andalannya “Kalau
dekat kamu itu rasanya nyaman. Membuatku aman” Gombal.
Kebiasaanku memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap
harus dihentikan saat kami berdua mencapai titik akhir sebuah tujuan.
Kelulusan. Meskipun aku dan dia berbeda angkatan, tapi kami lulus berbarengan.
Dia terlambat dengan alasan bahwa lulus kuliah di jurusan teknik tidak semudah lulus
dari jurusanku yang hanya dengan menghitung jumlah bakteri bisa naik ke podium
dan dinyatakan berhasil menyabet sebuah gelar.
Setelah lulus, dia harus pulang ke kampungnya. Mungkin lebih
tepat ingin pulang karena jiwa aktivisnya membuat dia ingin membangun kampung
halamannya. Aku tidak memaksa dia untuk tetap tinggal. Percuma. Dia tipikal
orang dengan sifat kalau memiliki keinginan maka harus dilaksanakan atau
setidaknya diperjuangkan, dan aku sebetulnya bangga. Sayangnya kami tidak
percaya dengan LDR, Long Distance Relationship yang sering kami pelesetkan
menjadi Lots of Drama Relationship. Kami
harus mengambil satu keputusan. Perpisahan.
Terakhir aku bertemu dengannya di bandara ketika aku
mengantarnya. Setelah itu tidak pernah ada kabar berita. Masing-masing dari
kami saling menjaga hati untuk tidak saling menyakiti. Saling berkirim kabar
hanya akan membuat luka yang menganga menjadi semakin menganga. Menyulitkan
hati untuk kembali membuka diri.
Waktu menyembuhkan. Putaran hari membuat perasaan
termanipulasi. Seolah-olah kenangan itu terbenam dalam padahal sebetulnya
terkubur dangkal. Membuat perasaan hati seolah mati padahal dia hanya mati
suri. Mudah sekali dibangunkan oleh sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu berkesan.
Perasaan itu pernah terbangun ketika aku memperoleh kabar dari seorang rekan
kalau dia sekarang bermukim di jakarta. Di kota yang sama dengan tempat aku
tinggal. Meski begitu kami tidak pernah saling mencari. Kami merasa apa yang
sudah terjadi di belakang memang harus di simpan di belakang.
Sampai kemarin. Senin, 24 September 2012. Aku bertemu lagi
dengan dia untuk pertama kalinya sejak perpisahan di bandara 9 tahun silam. Aku
bertemu lagi dengannya di bandara yang sama. Dan entah konspirasi macam apa
yang telah diatur dunia sehingga aku harus sepesawat dengannya dan duduk
sejajar hanya dipisahkan oleh sepetak gang. Aku bertindak wajar seperti halnya
dia. Tidak banyak perbincangan karena baik aku atau dia masih dikejutkan oleh
kebetulan yang rasanya menyesakkan. Kami hanya dibalut diam.
Kebiasaanya ternyata tidak banyak berubah. Layaknya dulu,
sore itu dia memakai jaket company tempat dia bekerja. Tidak lama setelah pesawat
lepas landas dia kemudian asyik terlelap dilambung impian. Aku diuntungkan.
Memiliki kesempatan untuk mentamasyakan hati untuk bernostalgia dengan apa yang
dulu sering aku lakukan. Mengamati wajahnya yang damai ketika dia sedang tidur
terlelap.
Puluhan kenangan berlarian minta ditayangkan.Seringnya baur
terkadang jelas seperti baru saja kejadian. Tapi tidak banyak yang bisa
dilakukan. Apalagi kemudian aku melihat sebuah cincin yang melingkar di salah
satu jari manisnya.
Balikpapan, 25 September 2012.