Saya belajar menulikan telinga, tapi bukan berarti saya tuli
sungguhan. Saya bisa mendengar apa yang ingin saya dengar, saya masih bisa ikut
bergumam dengan irama yang mengalir melalui partikel udara yang menjalar dan
mendengungkan gendang telinga. Kadang bila bunyinya teramat jelas saya sampai
bisa menuliskannya dalam bentuk partitur dan mengulangnya beberapa kali sampai
saya hapal benar apa pesan yang ingin disampaikan.
Selain menulikan telinga, saya juga belajar membutakan mata.
Memberi barier pada bayangan hasil pantulan cahaya yang akan tercetak sempurna
di dalam retina. Meski begitu, tidak berarti saya berubah menjadi tidak peduli
dengan apa yang seharusnya saya lihat. Saya hanya belajar memilah mana yang
harus saya lihat dan mana yang harus saya abaikan. Tapi mungkin banyak
pertanyaan bagaimana hal itu saya lakukan padahal saya sudah membutakan mata.
Jawabannya sederhana, saya belajar meraba.
Memang dengan meraba, saya tidak lantas bisa menggambarkan
ulang secara detail apa yang biasanya dipotret mata. Dengan meraba saya hanya
bisa menilai tekstur dan bentuk ruang secara kasar. Tapi jangan khawatirkan itu
karena dengan meraba saya justru belajar memilih mana yang boleh saya rekam
dalam memori jangka panjang dan mana yang harus saya tinggalkan di pekarangan
tanpa membawanya masuk ke dalam ingatan.
Saya belajar membutakan mata. Bersahabat dengan pekat dan
menaruh kepercayaan lebih pada insting sehingga saya tidak terantuk pada
halangan-halangan yang pastinya menghadang pada saat saya berjalan. Saya
membelanjakan lebih banyak kepercayaan daripada nafsu yang seringkali membuat
saya mengambil arah yang menyesatkan. Saya menginvestasikan banyak kepercayaan
ketimbang emosi yang biasanya menggiring saya pada perasaan bersalah berkepanjangan.
Saya hanya percaya dan mengamini hati.
Saya belajar menulikan telinga dan membutakan mata. Tapi
sekali lagi saya bilang, bukan berarti saya berubah menjadi pribadi yang bebal
dan tidak kenal belas kasihan. Saya justru belajar melembutkan perasaan yang
selama ini seakan kerontang dihajar kemarau tak berkesudahan. Saya ingin lebih
banyak mendengar dan melihat dengan hati tanpa bumbu emosi. Hati yang melunak
karena dianugerahi hujan setelah dibuat tandus bertahun tahun oleh saya
sendiri. Hati yang saya ingin bawa berlari tanpa kekeliruan seperti yang selalu
terjadi.
Kalau telinga bisa tuli sehingga tidak lagi bisa menginderai
bunyi, atau mata yang bisa buta sehingga hitam menghanguskan retina maka saya
berdoa semoga hati saya tidak lantas tuli ataupun buta. Semoga saja hati saya
yang sudah sekeras batu bisa melunak perlahan seiring kesadaran yang datang
sedikit terlambat. Tidak hanya soal cinta ataupun perasaan, tapi tentang segala
hal yang harus saya jalani di hari hari ke depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar