Dia hadir bukan dari hasil saya membongkar file-file usang
yang berdebu dari dalam gudang seperti halnya saya menemukan teman lama yang
sempat hilang. Dia ada bukan karena saya mengundangnya untuk hadir dalam
kehidupan saya yang menurut banyak orang membosankan. Dia hadir untuk saya,
menjadi penjaga di setiap lini. Tanpa meminta bayaran. Tanpa pamrih.
Apa yang harus saya keluhkan kalau Dia bisa memberi saya
semuanya, termasuk rasa aman. Apa yang harus saya takutkan kalau Dia bisa saja
berdiri di garis paling depan ketika saya dirundung kesedihan. Memeluk dan
memberikan rasa nyaman yang tidak ada tandingan. Harusnya saya merasa beruntung
dan bukannya berlari tapa tujuan hanya karena takut merasa dikekang. Harusnya
saya merasa diberkahi dan bukannya menghindar dengan bersembunyi membawa
gamang.
Pasti saya tidak tahu diri. Bagaimana mungkin seringkali
saya justru mengendap-ngendap mengambil jalan sunyi hanya untuk mengenyahkan
sepi. Saya yakin Dia tahu, tapi dia tidak melerai atau melarang. Dia hanya akan
membiarkan saya mengambil jalanan apapun yang saya mau, berdiri seperti
biasanya dengan raut yang juga sama karena ada keyakinan pada dirinya kalau
saya akan kembali ketika saya menemui jalan buntu atau jalan yang terlalu
berliku. Dan memang selalu seperti itu.
Dia bisa marah. Dan kalau saya melakukan kesalahan maka Dia akan menghukum saya dengan caranya. Hukuman yang
tidak lantas mengaburkan rasa cinta yang Dia punya buat saya. Saya menyukai
caranya, dan mungkin karena cara yang diambilnya itu yang membuat saya sering
melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Dimarahi tetapi tetap merasa
dicintai. Diberi hukuman tapi kemudian diberi sebentuk hadiah belakangan.
Kami sering bertengkar, tapi saya sebetulnya yang lebih
sering mencari gara-gara. Menuntut banyak hal dan mendikte bagaimana seharusnya
Dia mencintai saya. Saya ingin Dia belajar mencintai saya seperti apa yang saya
mau, bukan dengan apa yang Dia mau. Saya ingin Dia menghadiahi saya dengan
kado-kado berpita yang saya inginkan, bukan dengan kado sederhana yang
dimasukannya ke dalam kantong plastik hitam seperti hasil belanjaan pasar
padahal isinya sama. Hal-hal semacam itu yang kadang memicu pertengkaran.
Untungnya konfrontasi diantara kami tidak pernah berkepanjangan karena meskipun
Dia lebih banyak memilih diam, saya akhirnya menyadari kalau saya yang tidak
tahu diri.
Kenapa saya harus merasa sendirian kalau Dia bisa saya ajak
bicara kapan saja. Kenapa saya harus merasa ditinggalkan kalau sebetulnya Dia
selalu ada dan dekat dalam rengkuhan. Kenapa saya selalu merasa tidak cukup
padahal menurut Dia saya sudah sangat berlebihan. Bergelimangan kenikmatan yang
mungkin tidak bisa semua orang dapatkan. Yang paling parah kenapa terkadang
saya merasa Dia tidak sayang padahal setiap saya meminta Dia sering kali
mengabulkan.
Sudah lama saya tidak berbincang dengannya tengah malam
seperti saat-saat dulu. Rasanya saya harus mulai lagi menyambanginya, bukan
hanya untuk membalas rasa cinta yang sudah dia berikan tapi sebagai bentuk
penghambaan seorang umat yang sering ingkar terhadap Tuhannya.
Kalau saya ditanya apakah selama ini saya kesepian,
jawabannya tentu saja tidak. Saya memiliki Tuhan, dan itu lebih dari cukup.
1 komentar:
nice posting, gan,,,
Posting Komentar