
Di kantor, di kamar, di toilet, dimanapun selalu senyum-senyum sendiri. Lagi kerja di laboratorium, lagi meeting, bahkan lagi seminarpun saya sering sekali tersenyum karena reaksi-reaksi mereka. Kerjaan yang lagi numpuk dan padet banget ternyata tidak bisa menyita pikiran saya untuk sedikitpun teralihkan dari sana. Ketika nyetir saya seringnya jadi salah belok atau diklaksonin orang dari belakang.
Semua gara-gara postingan saya yang terakhir.
Di postingan yang terakhir saya menulis mengenai mendokumentasikan waktu. Bagaimana saya mendokumentasikan sebuah kenangan dalam rekam imaji. Mem-file-kan lembar demi lembar kejadian masa lalu yang pernah membuat saya bahagia. Saat menulis itu, saya memang sedang duduk membuka lagi folder yang berisi semuanya. Mencoba mereka ulang alur yang pernah saya pijak bersama seseorang.
Hei kamu…iya kamu.
Kamu yang ambigu. Bermakna tidak hanya dua, tapi bisa banyak. Di tulisan itu saya memang tidak menuliskan secara spesifik untuk siapa saya tujukan tulisannya. Pokoknya buat kamu…iya kamu. Seseorang yang pernah hadir, mengisi kemudian pergi. Karena tidak spesifik itulah ternyata menimbulkan opini yang membuat saya tidak berhenti tersenyum sendiri.
Entah itu melalui media sms, email, chat, telpon langsung bahkan BBM hampir semua orang yang pernah dekat saya kemudian berekasi. Entah becandaan atau sungguhan, saya tidak tahu. Yang pasti mereka kebanyakan mempertanyakan. Bertanya kepada siapa saya mendedikasikan tulisan saya itu. Saya bungkam, konsisten dengan apa yang saya tulis. Pokoknya kamu…iya kamu!!! Siapapun itu, biar hanya saya dan Tuhan yang tahu.
Mereka boleh bertanya, mereka boleh menyimpulkan. Tapi itu saya, seseorang yang pernah hadir mengisi jambangan hati mereka kala itu. Kalaupun sekarang saya seperti merasa berhutang kepada mereka layaknya yang saya tuliskan di mendokumentasikan waktu, karena saya merasa bahwa mereka telah bertransformasi menjadi teman bahkan sahabat. Dan seorang teman atau sahabat memiliki kewajiban untuk selalu memompakan semangat, mengawasi dan mengingatkan. Jangan lagi menoleh kebelakang walau perpisahan yang terjadi seringkali didasarkan pengkhianatan atau berpijak pada sakit dan air mata. Hidup tidak surut ke belakang.
Hei kamu…iya kamu. Siapapun kamu, aku tetap menyayangimu seperti dulu meskipun dengan perspektif yang tidak lagi sama.