Aku bergelung di pojokan kamar. Gigil menggoncangkan seluruh badanku. Bulir-bulir air mata terus keluar, tak bisa tertahankan lagi. Aku merasa kotor, kotor sekali. Berulang-ulang kugosok seluruh permukaan tubuhku, berharap bisa mengikis perasaan kotor yang tertinggal disana. Tapi perasaan itu tetap meraja, kotor.
Aku berlari ke arah kamar mandi, duduk bersimpuh di bawah shower yang kunyalakan dengan kekuatan penuh. Uap air seketika memenuhi ruangan sempit itu, kaca berembun meninggalkan jejak air yang berlarian dari atas ke bawah. Aku semakin menjadi menggosok tubuhku, kurasakan perih tertinggal di setiap bekas gosokannya. Semakin perih aku semakin puas, karena pikirku perih dapat mengelupaskan noda yang tertinggal. Tapi, semua sia-sia. Aku tetap merasa aku kotor.
AKU DIPERKOSA!!
Bagaimana detailnya, aku sedikit lupa. Aku kehilangan potongan-potongan kejadian rinci dari hal yang membuatku merasa kotor. Kalaupun tidak hilang, potongan-potongan itu terserak acak bak puzzle yang terlontar dari alasnya. Berantakan. Semampuku aku tetap mencoba menyusunnya, menguntai potongan demi potongan untuk sebuah gambaran utuh. Kejadian yang kuharap hanya mimpi.
Kecewa-marah-masuk club-minum-berkenalan-mabuk-lupa. Hanya itu yang aku ingat, selebihnya aku benar-benar lupa. Aku tersadar ketika dia sudah berada di atasku, menindih. Keringat meleleh dari hampir seluruh permukaan tubuhnya, membasahi tubuhku. Setengah sadar aku berusaha mengenali wajahnya, kemudian berusaha mengenyahkan tubuhnya dari tubuhku. Sulit. Semakin aku berontak, semakin dia beringas menekan-nekankan tubuhnya. Aku merasakan sakit di bagian bawah sana.
Aku terus berontak, aku terus meronta. Tapi bagai kesetanan dia tidak mengindahkan perlawananku. Dia makin beringas, dia memegangi kedua tanganku. Menekannya dengan teramat keras hingga pergelanganku terasa sakit. Aku memalingkan mukaku ketika dengan liar dia memainkan bibir dan lidahnya disana. Dia tidak menyerah, dia beralih pada leher dan dada. Aku tetap memberinya perlawanan, tapi hasilnya nihil. Tumpuan berat tubuhnya menghimpitku dengan sesak, menyulitkanku untuk bergerak. Sama sekali.
Waktu…bergeraklah bagai kuda pacu
Percepatlah iramamu demi sebuah garis finish
Aku rela kehilangan semua momen yang justru sebelumnya aku impikan
Aku ingin tuntas meski waktu belum purna
Bersamaan dengan lenguhan panjang, dia menekan lebih keras. Cengkraman yang sedari tadi membelenggu, seketika mengendur. Dia labuh dalam tubuhku yang rapuh. Nafasnya masih menderu, detak jantungnya masih amat jelas berdentum di atas dadaku yang sesak. Aku menangis, mengutuki kejadian tadi. Dia seakan tidak peduli, dia bangkit dan berpakaian. Pergi. Meninggalkanku yang masih nyeri. Bukan lagi nyeri di bagian bawah sana, tapi nyeri di bagian hati. Remuk.
Tuhan, inikah jawaban atas gugatanku selama ini? Gugatan atas perasaan yang Engkau ciptakan dalam hatiku. Perasaan yang tidak bisa aku eliminir. Perasaan yang selalu membawaku ke posisi mempertanyakan. Tuhan, beginikah cara-Mu menunjukkan bahwa perasaan itu salah? Beginikah cara-Mu memberiku efek jera. Haruskah Engkau tunjukan dengan cara seekstrim ini? Haruskan Engkau mengirimkan iblis untuk menjawab rasa penasaranku. Aku hanya ingin tahu kenapa Engkau memberiku perasaan menyukai sesama laki-laki?
Aku menangis di hadapannya. Dengan berurai air mata aku menceritakan kejadian semalam kepadanya, sahabat baruku. Seorang gadis yang aku kenal di sebuah LSM HIV AIDS. Entah kenapa sejak awal bertemu, aku langsung jujur padanya. Membuat pengakuan siapa aku sebenarnya, apa yang berkecamuk di dalam kepalaku. Kepadanya, aku bercerita mengenai awal ketertarikanku pada sesama jenis. Kepadanya aku sering mengeluh, mempertanyakan kenapa Tuhan memberiku perasaan seperti ini. Hari ini, dia menjadi orang pertama yang mengetahui kejadian semalam atas tubuhku. Hari ini, dia membantuku menguntai ingatan tentang kejadian yng membuatku merasa kotor. Di rumahnya.
Suara mobil yang masuk pekarangan rumahnya membuatku sedikit panik. Aku tidak ingin orang lain melihatku menangis dan kemudian banyak bertanya. Berlembar-lembar tisu kuambil dan kulapkan di kedua mataku. Aku ingin mengenyahkan air mata itu untuk sementara. Aku ingin bertopeng dalam ketegaran. Mengganti perih dengan senyum di hadapan orang lain. Dia bilang itu ayahnya yang baru pulang kerja.
Ayahnya masuk dan memberi salam. Aku menoleh untuk menjawab salamnya. Tapi tiba-tiba aku merasa langit runtuh menimpa kepalaku, pengap. Semuanya gelap, karena aku serasa dijatuhkan dari langit tanpa tali pengaman. Aku ingat dia, aku ingat. Dia, laki-laki yang sudah menyetubuhiku dengan paksa semalam. Dia laki-laki yang menorehkan pengalaman pertamaku yang harusnya penuh madu. Dia pemerkosa itu, laki-laki yang mungkin dikirim Tuhan untuk menjawab segala kepenasaranku.
Note: ini hanya cerpen, rekaan imaji gila kala hujan turun menyapa malam panjang tak berkesudahan. Sekali lagi, ini hanya CERPEN! :)
10 komentar:
Ya ampun, judulnya provokatif. Pertama kali langsung membayangkan kalau Apis bener-bener diperkosa. Untunglah cuma fiksi.....
wah... kirain beneran..
canggih.... keren abis.....
iyaa...
percaya...
ehm....
ayahnya ganteng ya Pis..?
Pengalaman pertama penuh madu? ... whokay.
@zhou yu: aku diperkosa?? yang ada juga aku yang memperkosa. hihihi. Emang bisa??? :)
@ali:nggak lah, cuma piktip!
@ninneta: canggih? kayak pesawat ulang aling donk. Hehehe. makasih yah mbak!
@alil: ganteng gak yah? nanti deh aku terusin di cerpen berikutnya (kalo ada!!!)
@ginko: bukannya yang pertama itu harus bermadu yah? tau deh!!!
Tersentak gw baca judulnya...
kirain hehe
Jawaban apa yang diperolehnya?
BTW, bahasanya.... beromansa... ahaay ^^
@bilik: hahaha, kenapa sih semua orang berharap gw diperkosa. :)
"jawaban apa yang diperolehnya?" maksudnya apa yah?
kalau soal bahasa beromansa, kan dari dulu teh? hehehe
hehehe.. mantabh bro piksinya..
seperti biasa, endingnya bikin gimana gitu.. hihihi..
dah lama nggak menikmati cerpennya apis neh.. :)
@pohon: hahahaha, makasih!!!
iya neh, sering stuck ide. jadi sering membiarkan cerpen yang baru diinisiasi terbengkalai begitu saja. halah....
Posting Komentar