Nggak ada di dunia ini yang ngertiin gue sehebat nyokap gue. Mungkin setiap ibu memang seperti itu, mengerti anaknya. Yang membuat gue salut dan makin sayang sama nyokap gue adalah ditengah kesibukannya yang super padat, dia masih menyempatkan diri ngobrol sama gue. Meski cuman sebentar karena harus berebut dengan jadwal operasi, jadwal curettage, jaga klinik, pasien partus, mimpin rapat anu lah, ini lah. Untung dari kecil gue sudah terbiasa dengan semua itu jadi nggak merasa kehilangan juga. Kualitas pertemuan sama nyokap yang penting, bukan kuantitas.
Kaya kemaren waktu gue ngadu-ngadu soal kerjaan baru gue yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran gue, nyokap gue menanggapinya belum maksimal karena lagi-lagi gue harus berbagi dengan pasien-pasien yang berdatangan. Kadang gue mengkel, sebel, karena gue merasa bukan jadi prioritas. Tapi dengan pikiran dewasa, gue menyadari bahwa itu adalah konsekuensi gue jadi anaknya nyokap gue. Mau gimana lagi.
Gue tahu tiap pulang larut dari kerjaanya nyokap gue pasti letih banget, so gue nggak berniat malam itu buat menambah keruwetannya, keletihannya dengan keluhan gue. Gue pikir tadi siang dia udah tahu masalah gue, and its enough. Tapi malem itu pulang dia dari bertugas, dia masuk kamar gue, duduk di ranjang gue dan bilang : “A, mungkin kerjaan barunya harus dijalani dulu, mungkin kedepannya bakalan berubah, bakal sesuai dengan keinginan kita semua. Mengetahui kamu nggak bahagia kaya gini kan mamah jadi sedih”
Gue merasa ditampar berulang-ulang. Gue merasa menjadi anak yang durhaka untuk kesekian kalinya, selalu membuat nyokap gue sedih. Selalu membebaninya dengan masalah, padahal gue tahu banget masalah dan kerjaannya juga nggak pernah sedikit. Sedih tiba-tiba menyelinap di hati gue, rasanya ingin meminta maaf yang amat sangat karena membuatnya sedih. Gue nggak bisa ngomong apa-apa kecuali meluk nyokap gue dan bilang kalau semuanya akan baik-baik saja. Bilang kalau gue akan berjuang untuk merubah keadaan, setidaknya mencitai apa yang ada sekarang.
Masalah tentang nyokap ini juga bikin gue inget sama salah satu temen gue. Dokter, lagi ambil spesialis. Dia curhat sama gue, katanya dia lagi merasa limbung karena dengan umurnya yang sekarang, kerjaanya yang sekarang, dia masih merasa membebani kedua orang tuanya soal financial. Dia merasa bahwa dengan gelar dan pekerjannya yang sekarang, dia seharusnya bisa membiayai kuliahnya sendiri dan bukan masih membebani orang tuanya.
Curhatannya juga bikin gue merasa ditampar. Nah gue? Kuliah sudah selesai sampai tahapan jauh, kerjaan sudah ada, tapi kok sampai sekarang masih aja membebani orang tua gue dengan masalah financial. Gue memang nggak pernah minta bantuan atau tambahan financial sama mereka, gue merasa harus cukup dengan apa yang gue dapet meskipun untuk kerjaan yang sekarang dapetnya pas-pasan. Tapi dasarnya orang tua, mereka tahu yang gue dapet nggak seberapa meski gue udah meyakinkan mereka bahwa itu cukup, mereka tetap memberikan gue bantuan itu. Harusnya gue malu, sampai kapan mau seperti ini? Mereka bilang, mereka kerja banting tulang dari pagi kadang sampai pagi lagi buat siapa, selain buat gue sama adik gue. Gue tahu, tapi tetep aja gue malu.
Di akhir curhat gue sama temen gue yang dokter itu akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan, kalau memang rezeki yang datang dari Allah itu jalannya harus dari kedua orang tua kita ya mau apalagi. Allah tidak buta, Allah memberi kita rezeki tidak pernah tertukar, semua ada porsinya. Dan kalau memang rezeki kita dari Allah mengalirnya via kedua orang tua kita, yang patut kita lakukan hanya bersyukur. Dan jangan lupa berbakti pada kedua orang tua kita.
Masalahnya, kadang gue merasa tidak begitu berbakti sama keduanya. Selalu membangkan, selalu ingin menang sendiri. Lebih parahnya, gue menyakiti mereka tanpa sepengetahuan mereka dengan cara gue sendiri. Dengan jalan yang sudah gue ambil dan jalanin selama ini. Terus gimana???
Kaya kemaren waktu gue ngadu-ngadu soal kerjaan baru gue yang ternyata tidak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran gue, nyokap gue menanggapinya belum maksimal karena lagi-lagi gue harus berbagi dengan pasien-pasien yang berdatangan. Kadang gue mengkel, sebel, karena gue merasa bukan jadi prioritas. Tapi dengan pikiran dewasa, gue menyadari bahwa itu adalah konsekuensi gue jadi anaknya nyokap gue. Mau gimana lagi.
Gue tahu tiap pulang larut dari kerjaanya nyokap gue pasti letih banget, so gue nggak berniat malam itu buat menambah keruwetannya, keletihannya dengan keluhan gue. Gue pikir tadi siang dia udah tahu masalah gue, and its enough. Tapi malem itu pulang dia dari bertugas, dia masuk kamar gue, duduk di ranjang gue dan bilang : “A, mungkin kerjaan barunya harus dijalani dulu, mungkin kedepannya bakalan berubah, bakal sesuai dengan keinginan kita semua. Mengetahui kamu nggak bahagia kaya gini kan mamah jadi sedih”
Gue merasa ditampar berulang-ulang. Gue merasa menjadi anak yang durhaka untuk kesekian kalinya, selalu membuat nyokap gue sedih. Selalu membebaninya dengan masalah, padahal gue tahu banget masalah dan kerjaannya juga nggak pernah sedikit. Sedih tiba-tiba menyelinap di hati gue, rasanya ingin meminta maaf yang amat sangat karena membuatnya sedih. Gue nggak bisa ngomong apa-apa kecuali meluk nyokap gue dan bilang kalau semuanya akan baik-baik saja. Bilang kalau gue akan berjuang untuk merubah keadaan, setidaknya mencitai apa yang ada sekarang.
Masalah tentang nyokap ini juga bikin gue inget sama salah satu temen gue. Dokter, lagi ambil spesialis. Dia curhat sama gue, katanya dia lagi merasa limbung karena dengan umurnya yang sekarang, kerjaanya yang sekarang, dia masih merasa membebani kedua orang tuanya soal financial. Dia merasa bahwa dengan gelar dan pekerjannya yang sekarang, dia seharusnya bisa membiayai kuliahnya sendiri dan bukan masih membebani orang tuanya.
Curhatannya juga bikin gue merasa ditampar. Nah gue? Kuliah sudah selesai sampai tahapan jauh, kerjaan sudah ada, tapi kok sampai sekarang masih aja membebani orang tua gue dengan masalah financial. Gue memang nggak pernah minta bantuan atau tambahan financial sama mereka, gue merasa harus cukup dengan apa yang gue dapet meskipun untuk kerjaan yang sekarang dapetnya pas-pasan. Tapi dasarnya orang tua, mereka tahu yang gue dapet nggak seberapa meski gue udah meyakinkan mereka bahwa itu cukup, mereka tetap memberikan gue bantuan itu. Harusnya gue malu, sampai kapan mau seperti ini? Mereka bilang, mereka kerja banting tulang dari pagi kadang sampai pagi lagi buat siapa, selain buat gue sama adik gue. Gue tahu, tapi tetep aja gue malu.
Di akhir curhat gue sama temen gue yang dokter itu akhirnya kita sampai pada satu kesimpulan, kalau memang rezeki yang datang dari Allah itu jalannya harus dari kedua orang tua kita ya mau apalagi. Allah tidak buta, Allah memberi kita rezeki tidak pernah tertukar, semua ada porsinya. Dan kalau memang rezeki kita dari Allah mengalirnya via kedua orang tua kita, yang patut kita lakukan hanya bersyukur. Dan jangan lupa berbakti pada kedua orang tua kita.
Masalahnya, kadang gue merasa tidak begitu berbakti sama keduanya. Selalu membangkan, selalu ingin menang sendiri. Lebih parahnya, gue menyakiti mereka tanpa sepengetahuan mereka dengan cara gue sendiri. Dengan jalan yang sudah gue ambil dan jalanin selama ini. Terus gimana???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar