Kamis, 30 Oktober 2008
Elegi Gerimis
Hari ini gerimis datang lagi. Rinainya menyapa jutaan kuncup bunga, mencumbunya kemudian jatuh ke tanah, menghapus jejak yang tersisa. Aku benci gerimis meski orang bilang gerimis itu romantis. Aku benci gerimis, karena gerimis mengingatkanku padamu. Gerimis hanya mengungkit cerita lama, cerita getir, cerita penuh air mata. Cerita antara aku dan kamu.
Aku benci gerimis karena biasanya gerimis hanya datang sesaat. Aku benci gerimis karena kesesaatannya itu tetap menghasilkan jejak. Jejak air mata. Aku kadang berharap yang muncul hujan besar bahkan badai dan bukannya gerimis. Aku lebih memilih terporakporandakan badai daripada terkoyak gerimis. Gerimis itu getir. Gerimis itu darah. Gerimis itu luka. Aku benci gerimis, karena gerimis hanya menyingkap tirai masa lalu. Masa dimana ada aku dan kamu. Sayang gerimis hanya sesaat, hanya mampu mengoyak. Tidak memporakporandakan.
Ingatkah kamu saat kau memintaku untuk tidak membencimu? Saat itu gerimis. Rinai itu jadi saksi. Katamu aku boleh melupakanmu, tapi jangan membencimu. Katamu benci hanya akan menutup pintu maafku padamu. Saat itu gerimis, dan gerimis tak datang sekali. Bagaimana aku bisa melupakanmu kalau tiap gerimis datang yang terbayang hanya kamu. Aku benci gerimis, karena gerimis membuatku selalu ingat kamu. Mengingatmu berarti menyobek hatiku. Aku benci mengingatmu.
Di depanku jalan tak hanya lurus, tapi ada juga ke kiri dan ke kanan. Aku tinggal memilih mau kemana . Tapi kenapa ketika gerimis datang, aku memilih berjalan ke belakang, bukannya lurus ke depan atau belok ke kiri dan ke kanan. Berjalan ke belakang, mengingatmu yang telah menyakiti hatiku. Aku benci gerimis, karena gerimis membuatku tak punya pilihan. Aku mengutuki langit yang menurunkan gerimis. Mengutukimu yang datang menunggang gerimis.
Masih perlukah sebuah kata maaf terucap? Masih perlukah pintu maaf terbuka? Kamu bilang jangan membencimu, karena benci menutup pintu maafku. Aku benci pernah mencintaimu, karena mencintaimu membuatku rela menjadi yang kedua, menjadi selingkuhan dan menjadi yang marginal. Aku tidak bisa memilikimu sepenuhnya, tidak seperti bumi yang berhak atas langit. Mencintaimu membutakan aku, seperti matahari yang dibutakan malam.
Saat gerimis kamu memutuskan untuk memilihnya, berlari ke arahnya kemudian memeluknya. Kamu meninggalkanku yang mengigil di tengah gerimis. Meninggalkanku dengan harapan agar aku tidak membencimu, karena kamu masih mengharapkan sepenggal maaf. Kalaupun aku memaafkanmu, aku akan tetap membencimu karena gerimis. Gerimis membuatku teringat padamu, dan aku benci itu. Aku benci gerimis.
Gerimis……. Aku sudah lelah. Jangan kau siksa aku dengan rintikmu. Aku lelah terpenjara dalam asa. Aku lelah mengingatnya karenamu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar