Saya sedih. Otak kanak-kanak saya belum bisa menganalisis
lebih, waktu itu saya hanya tidak ingin kehilangannya begitu cepat. Saya masih
membutuhkannya, saya masih ingin bergantung kepadanya. Saya berdoa sesering
saya menghela nafas, saya melafadzkan hampir semua ayat yang saya bisa. Saya
terlalu menyayanginya.
Tuhan mendengar doa saya, doa kami semua. Waktu
menyembuhkan. Lambat laun dia kembali pulih, perlahan dia kembali disibukan
dengan banyak kegiatan dan anehnya dia tetap saja menyukai bersepeda seakan
tidak pernah ada trauma. Tapi saya yakin setelah kejadian itu dia menjadi lebih
berhati-hati apalagi dia tahu kalau banyak yang menyayanginya, terutama saya.
Tahun terus bergerak dan saya pikir kejadian itu serta
trauma yang ditimbulkannya akan berhenti sampai titik dulu. Ternyata saya
salah, kami semua salah. Kejadian itu menimbulkan titik yang terus membesar,
seperti sel kanker yang terus berproliferasi hingga membentuk benjolan yang
bisa teraba. Kami tidak ada yang bisa memperediksi, bahkan dulu mesin MRI pun
gagal mendeteksi. Mau tidak mau sekarang kami menuai hasil dari kejadian waktu
itu.
Dia, yang kegiatannya super padat luar biasa harus menyerah
setelah beragam pengobatan modern maupun alternatif tidak menimbulkan dampak
apa-apa. Dari beberapa tahun belakangan lengannya sedikit demi sedikit
mengalami atropi, mengecil dengan pasti. Ada urat syaraf yang entah dimana
terjepit oleh bagian entah apa yang menyebabkan suplai oksigen ke bagain lengan
terhambat. Itu efek dari jatuh saat tabrakan jaman dulu.
Bisa dibayangkan bagaimana frustasinya dia. Seseorang yang
sedari dulu tidak bisa diam dan selalu aktif di berbagai kegiatan sekarang ‘terganggu’
karena lengannya yang seperti tidak bertenaga. Memang masih bisa berfungsi tapi
mudah sekali lelah dan gemetar, bahkan untuk menyetirpun sekarang dia tidak
lagi bisa dan mengandalkan jasa sopir pribadi. Untungnya dia kuat, atau mungkin
tabah karena tidak pernah sekalipun saya melihat dia meratapi atau putus asa
dengan penyakit yang dia alami. Dia masih bersemangat seperti dulu.
Saya yang justru selalu merasa kalah karena seringkali
keadaan itu membuat saya bersedih. Menangis diam-diam ketika mengamati dia
kesulitan untuk sekedar berpakaian atau menjingjing barang bawaan. Saya
seringkali membantunya tapi saya tidak bisa selalu berada di dekatnya ketika
dia membutuhkan sedikit pertolongan. Saya merasa sangat berhutang banyak karena
justru ketika dia membutuhkan bantuan saya tidak bisa diandalkan, tidak seperti
dia yang sedari dulu bisa saya andalkan kapan saja.
Dia Papih saya. Seseorang yang telah sangat berjasa membuat
saya menjadi seperti sekarang. Seseorang yang sudah membuat hidup saya serba
kecukupan. Pahlawan yang selalu berjuang demi kebahagiaan saya dengan mengabulkan
apa yang saya inginkan sebisanya. Pahlawan yang di mata saya tetap terlihat
gagah meskipun kedua lengannya kehilangan fungsi seperti sedia kala. Lengan
yang sebetulnya fungsinya telah purna.
Hari ini Papih saya berulang tahun yang ke-56. Dan saya
ingin bilang kalau saya sangat menyayanginya dan selalu bangga menjadi anaknya.
Tidak peduli pada lengannya yang sudah tidak berdaya, tidak peduli pada atropi
yang menggerogoti pertumbuhan jaringan di belikatnya, saya tetap mencintainya
dan mengaguminya. Dia akan tetap menjadi pahlawan saya selamanya.
Beberapa minggu lalu ada perkataannya yang membuat hati saya
menciut. Mencelos seperti sisa bara api unggun yang bertemu embun pagi. Papih
bilang kalau dia minta maaf karena nanti ketika saya punya anak suatu hari maka
anak saya tidak akan bisa dia gendong, padahal dia sangat ingin bisa
menggendong cucunya seperti layaknya kakek pada umumnya. Dan saya menangis.
Saya merasa terlambat memberinya kebahagiaan ketika dulu lengannya masih
normal. Saya terlambat memberinya kebanggaan menjadi seorang kakek yang pasti
akan dikagumi cucunya.
Di hari ulang tahun Papih yang sekarang, ijinkan saya untuk
meminta maaf atas semua keterlambatan yang sudah saya lakukan. Saya juga terus
berdoa untuk kesembuhan Papih, karena saya yakin selalu ada keajaiban ketika
kita mempercayainya seperti yang sering Papih ajarkan. Doakan saya juga Pih,
agar saya bisa menebus semua keterlambatan dengan cara saya sendiri.
I Love You, Papih!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar