Aku hidup dalam dunia yang temaram. Dunia tempat aku berkontemplasi mengenai takdir dan jalan hidup yang harus aku realisasi.
Temaram bukan berarti tanpa penerangan. Cahaya dapat dengan mudah disalurkan, hanya saja aku yang memilih temaram. Tanpa alasan. Aku hanya merasa bahwa dalam suasana minim penerangan, aku lebih bisa dengan mudah memilih ini dan itu. Mencocokan gambar dengan ruang, menarik garis horizontal atau garis acak semau hati dengan pertimbangan sebuah konsekuensi.
Aku tidak asal memutuskan, meskipun sebetulnya setelah sekian jarak jalan dititi aku juga belum pasti memantapkan hati. Gamang masih dalam genggaman, pertimbangan banyak hal menjadi penghalang untuk merangkak ke arah terang atau beringsut ke pojokan yang jauh lebih kelam. Aku seperti betah dilimbung keadaan, diam di tengah diombang-ambing harapan dan kenyataan.
Perempuan itu datang dari dunia yang tidak berlainan dengan apa yang aku jalankan. Dia memilih diselubungi awan padahal hari sedang cerah di luaran. Entah untuk alasan yang sama atau dia punya alasan khusus yang belum sempat aku tanyakan. Tapi dia nyaman dalam keadaan dibutakan perasaan yang tidak berpihak pada apa yang disebut keinginan. Karena itu dia tetap memilih diselubungi awan.
Pasti perempuan itu juga tidak sembarangan memutuskan. Memilih berjalan pada setapak yang tidak banyak dilalui orang tentu menimbulkan banyak prasangka dan pertanyaan yang sulit untuk dijelaskan. Perempuan itu bertahan selayaknya aku yang juga bertahan. Membutakan perasaan, menumpulkan kenyataan, dan menjalani banyak kekeliruan yang sesungguhnya disadari dengan benar.
Aku dan perempuan itu bertemu di sebuah titik waktu. Titik yang kami pikir akan menjadi tempat pemberhentian dimana kami berdua bisa menyemai terang. Keluar dari ketemaraman ruang dan terbebas dari selubung awan. Titik waktu yang akan menjadi awalan untuk kami bergulir keluar dari sebuah terowongan panjang yang nyaman. Lorong yang selama ini membuat kami berdua betah terninabobokan keadaan. Jalanan panjang tempat mimpi digubah sejak awal mengenal dan menjalankan keambiguan.
Aku dan perempuan itu bersepakat untuk saling berpegangan tangan. Saling menguatkan karena kami yakin setelah ini peran tidak lantas mudah untuk dijalankan. Banyak godaan masa lalu yang senantiasa bisa menarik bagai turbulen tanpa kami bisa melawan. Terlalu panjang jalanan lengang yang telah kami berdua jalani, sehingga pasti tidak mudah untuk menginisiasi hati apalagi mengibarkan mimpi.
Waktu berjalan cepat, bahkan tak terkejar dengan berlari sekalipun. Entah siapa yang memutar duluan, tapi kenyataan membuat kami harus terpisahkan di perempatan. Limbung keadaan membuat kami memilih jalan yang berlainan, perempuan itu berbelok ke kanan semantara aku berjalan ke belakang. Harusnya aku lebih pintar memanfaatkan keadaan. Ketika ada persimpangan aku bisa memilih terus berjalan ke depan atau berbelok ke kiri dan kanan, bukannya beringsut ke belakang dan tetap temaram.
Alasan yang perempuan itu gugatkan tidak masuk dalam nalar pemikiran. Kedewasaan yang aku gadang tidak tercermin dalam cara aku berpakaian. Entah benar atau justru perempuan itu mencari-cari alasan, yang pasti kami saling melepaskan tanpa harus lagi peduli arah yang akan ditempuh belakangan. Tidak ada dendam karena tidak ada kesakitan. Tidak ada penyesalan karena ini lakon hidup yang harus dijadikan pembelajaran.
Perempuan itu menghilang. Mungkin kembali menjadi berselubung awan atau justru berpayungkan gemintang, aku tidak tahu. Yang pasti saat ini aku masih saja temaram. Entah sampai kapan, Tuhan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar