
Saya memang cengeng. Cenderung sensitif dan mudah menangis. Untuk hal-hal yang sebetulnya tidak perlu saja saya bisa mengeluarkan air mata. Dulu waktu kecil saya pernah menangis karena melihat ibu-ibu tua penjual kue cincin yang ikut berteduh ketika hujan di depan rumah. Si ibu sambil duduk menyenandungkan tembang sunda yang menyayat hati seperti sedang dilanda kesedihan yang teramat dalam. Saya yang mengintip dari balik jendela rumah tiba-tiba ikut menangis karena ikut merasakan kepedihan yang ibu itu rasakan.
Ya, panggil saja saya berlebihan. Tapi itu memang kenyataan.
Saya rutin menelepon Papi, sekedar menanyakan kabar beliau atau hanya bercerita mengenai aktivitas saya sehari-hari. Maklum sebagai anak yang tidak lagi tinggal di rumah, saya tidak bisa bertemu dengan beliau setiap hari. Jadi komunikasi melalui telepon kadang menjadi obat ketika saya merindukannya. Tadi pagi setelah bangun tidur saya langsung menelepon Papi, alasannya karena saya bermimpi tentang beliau tadi malam. Dalam mimpi saya, beliau meninggal dunia.
Saya menangis bukan karena mimpinya, tapi lebih karena respon yang Papi saya tunjukan ketika saya bercerita perihal mimpi saya tadi malam. Memang, menurut primbon tua yang sebetulnya tidak saya percaya, memimpikan seseorang meninggal dunia artinya bahwa orang tersebut akan panjang umur. Saya mengaminkan arti mimpi yang ini. Saya ingin Papi saya panjang umur. Tapi tetap saya menghubungi beliau untuk bercerita mengenai hal tersebut.
Awalnya saya menanyakan kesehatannya, kemudian saya baru bercerita tentang mimpi kalau beliau meninggal dunia. Beliau menanggapinya dengan tertawa, dan seperti sudah diduga beliau akan mengartikannya sebagai isyarat kalau beliau akan panjang umur. Lagi-lagi saya mengamininya.
Beliau kemudian berkata “Doakan saja supaya Papi panjang umur! Papi masih ingin bisa menghadiri pernikahan kamu dan adik kamu” Pernyataan yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Pernyataan yang membuat saya seperti tercekat di tenggorokan. Pengap. Kemudian saya berdiam. Lama. Setelah saya bisa menguasai keadaan, saya pamit kepada beliau karena saya harus siap-siap untuk berangkat kerja. Teleponpun saya tutup.
Saya tiba-tiba menangis. Sedih. Rasanya mendengar orang yang kita sayang mengucapkan keinginannya yang sampai sekarang belum bisa saya penuhi itu seperti merobek hati kita sendiri. Sakit.
Papi saya jarang menanyakan mengenai perihal kapan saya akan menikah. Bukan tidak pernah, tapi beliau seperti tidak memaksakan. Beliau mengerti dan tahu benar siapa saya, apa yang saya inginkan terlebih dahulu dalam hidup ini. Karenanya beliau tidak seperti kebanyakan orang-orang di luar lingkungan inti yang selalu mempertanyakan perihal pernikahan yang membuat saya seperti teriritasi. Memang lama-lama saya sudah kebal dengan pertanyaan tersebut, tapi tetap saja saya kesal kalau ada orang mempertanyakan lagi dan lagi mengenai hal tersebut.
Bukan saya tidak ingin menikah. Tentu saja saya ingin, dan bukan untuk alasan utama menyenangkan orang tua. Buat saya menikah itu hal yang prinsipil, yang harus saya lakukan dengan orang yang saya sudah yakin benar kalau dia memang dikirimkan Tuhan untuk saya. Untuk menemani dan berkolaborasi dengan saya yang seringkali complicated. Mungkin sekarang Tuhan belum percaya untuk mengirimkan jodoh bagi saya, tapi saya juga tidak berhenti berikhtiar. Pasti ada suara-suara sumbang setelah saya mengungkapkan hal ini, dan saya tidak peduli. Saya hidup demi kebahagiaan saya sendiri dan orang tua saya, bukan untuk kebahagiaan orang-orang di luar sana yang justru tidak mengerti maunya saya.
Tapi tetap saja saya sedih mendengar keinginan Papi yang ingin panjang umur agar dapat menghadiri pernikahan saya. Keinginan yang sederhana tapi sulit saya kabulkan dalam waktu dekat ini. Tapi siapa tahu Tuhan kemudian berbaik hati untuk membalikkan hati saya dan mempertemukan saya dengan jodoh yang sudah dipersiapkan oleh-Nya. Dan dengan begitu saya bisa membahagiakan Papi. Amin.