Lokasi : Bandara Internasional Sultan Hasanuddin Makasar
Waktu : Senin, 28 November 2011
Kejadian: sesuatu yang membuat saya seperti ABG. Senyum-senyum sendiri setelah pertemuan singkat yang hambar dan diakhiri dengan saling bertukar nomer telpon dan pin BBM
Efek: Sepanjang perjalanan Makasar – Sidrap – Toraja, wajah dia menari-nari di ingatan saya.
Efek lanjutan : Perang batin antara menghubunginya duluan atau menunggu signal kalau dia benar-benar tertarik. Tapi yang pasti saya sering mengecek display picture BBM-nya sambil senyum-senyum tidak jelas.
Efek lebih lanjut : Saya jadi bodoh!
Analisis : Ya, saya murahan. Dengan gampang saya memberikan nomer-nomer pribadi saya kepada orang asing hanya karena pujian yang membuat saya melambung. Pujian tidak penting sebetulnya, hanya saja berefek seperti gendam yang membuat saya hilang akal sesaat.
Analisis lanjutan : Mungkin saya terlalu putus asa dalam mencari cinta sehingga saya menangkap semua peluang yang mungkin sebetulnya tidak bisa dilanjutkan.
Analisis lebih lanjut : Saya menyedihkan.
Tapi setidaknya saya tahu kalau saya belum mati rasa. Saya masih bisa merasakan euphoria kesenangan yang ditimbulkan oleh sesuatu yang tidak penting sekalipun. Dan saya menikmati sensasinya. Seperti dulu, saat saya untuk pertama kalinya berusaha mengenali apa itu cinta.
Note : Tidak ada cerita tambahan, jadi saya tidak menerima BBM, email, DM, “kepo” atau apapun yang ingin penjelasan mengenai narasi di atas. Cukup saya, dia dan Tuhan yang tahu.
Note Lanjutan: Iya, saya sok penting banget!!
Selasa, 29 November 2011
Rabu, 23 November 2011
Aku Membunuhnya
Darah. Aku melihat darah dimana-mana. Bau amis dan warna merah menyumbat semua lubang panca inderaku, membuatnya kelu dan bisu. Sesaat aku limbung tak bisa mencerna rentetan kejadian yang membuat darah itu berceceran di lantai kamarku. Mataku perih, bukan ingin menangis, tapi aroma darah itu seperti membakar korneaku. Membutakan, merebut cahaya yang harusnya tampak dan menggantikannya dengan warna merah dan hitam. Bergantian.
Pisau itu masih kugenggam. Gemetar. Tetesan darah segar menetes dari ujungnya kemudian merayap di dinding buram kamarku yang temaram. Sekali lagi aku limbung hampir hilang kesadaran, hanya warna merah dah hitam yang bergantian menghantam penglihatan.
Kuhempas pisau itu dari genggaman. Suara berdentang yang dihasilkan besi dan lantai menjalar melalui udara pengap yang memberangus keberanianku yang mulanya tersulut tertantang. Gemetar masih aku rasakan di setiap bagian tubuhku, menggigilkan dan membuatku beringsut ke pojokan sambil memeluk lutut hingga mencium dada. Masih kulihat darah dengan jelas tersimbah di lantai keramik putih sehingga warnanya semakin jelas tergambar. Dalam kubangan darahnya sendiri dia terlentang tak lagi bernyawa.
Aku membunuhnya. Melalui tanganku dia menemui ajalnya, menyapa kematian yang mungkin belum mau dia temui. Perantaraan keberanian dan ketakutan yang teraduk sempurna dalam rongga otakku, dia aku tikam menggunakan pisau berkarat yang sudah lama aku persiapkan. Butuh waktu lama hingga akhirnya hari itu tiba. Butuh banyak konflik batin sampai akhirnya aku benar-benar berani melenyapkannya dengan tanganku sendiri.
Malam tadi aku membunuhnya. Menguras habis darah yang mengalir dalam urat-urat nadinya hingga terburai membasahi hampir seluruh bagian lantai kamarku. Disana dia berkubang tanpa nyawa, dalam genangan darahnya sendiri.
Ada sedikit perasaan lega di tengah ketakutan yang menghadang. Tapi ada juga perasaan seperti seorang penjahat yang tertangkap basah dan siap dihakimi oleh masa. Keduanya menghasilkan sensasi gemetar yang maha dahsyat karena di ujung langkah aku takut menyapa sebentuk penyesalan. Perang batin lagi-lagi berkecamuk mempertanyakan apakah tepat bagiku mengakhiri hidupnya dengan cara yang sedemikian keji. Apakah keberanianku menghujam pisau berkarat tepat ke ulu hatinya sebetulnya hanya reaksi sesaat akibat kesakitan yang sudah sering dia beri. Aku dihantam banyak pertanyaan yang membuatku semakin mengkeret di pojokan.
Dia sudah sepantasnya mati. Bahkan harusnya dari dulu aku memiliki keberanian untuk membunuhnya atau paling tidak memasukan bubuk arsenik kedalam minumannya yang selalu dia minta di setiap kunjungan. Dia layak mati karena keberadaannya hanya mempersulitku yang ingin terbang dengan bantuan sayap rapuh kepercayaan yang tak kasat mata. Begitu kalimat-kalimat pembenaran berdengung dalam rumah siput di dalam telingaku. Memekakkan karena kalimat-kalimat itu seperti berpesta pora di sana, menarikan tarian kemenangan.
Dia pantas mati. Dan orang yang paling tepat membunuhnya adalah aku sendiri. Lewat aku dia harus membaui ajalnya. Perantaraan tanganku dia harus melepas nafasnya satu per satu. Tidak boleh ada penyesalan, karena semua sudah dilakukan. Tidak boleh ada penyesalan, karena semua ini demi kebaikan. Lebih lama dia hidup, maka akan lebih banyak kesakitan yang akan dia hidangkan dalam altar pemujaan. Karenanya aku lega dan tidak menyesal.
Malam tadi, dengan pisau berkarat yang sudah aku persiapkan lama, aku membunuh dia. Mengirimnya pada alam kematiam yang katanya abadi sehingga kuharap tidak ada lagi reinkarnasi yang akan membuat dia kembali. Malam tadi, aku membunuhnya. Masa lalu tentang kamu. Selamanya.
Pisau itu masih kugenggam. Gemetar. Tetesan darah segar menetes dari ujungnya kemudian merayap di dinding buram kamarku yang temaram. Sekali lagi aku limbung hampir hilang kesadaran, hanya warna merah dah hitam yang bergantian menghantam penglihatan.
Kuhempas pisau itu dari genggaman. Suara berdentang yang dihasilkan besi dan lantai menjalar melalui udara pengap yang memberangus keberanianku yang mulanya tersulut tertantang. Gemetar masih aku rasakan di setiap bagian tubuhku, menggigilkan dan membuatku beringsut ke pojokan sambil memeluk lutut hingga mencium dada. Masih kulihat darah dengan jelas tersimbah di lantai keramik putih sehingga warnanya semakin jelas tergambar. Dalam kubangan darahnya sendiri dia terlentang tak lagi bernyawa.
Aku membunuhnya. Melalui tanganku dia menemui ajalnya, menyapa kematian yang mungkin belum mau dia temui. Perantaraan keberanian dan ketakutan yang teraduk sempurna dalam rongga otakku, dia aku tikam menggunakan pisau berkarat yang sudah lama aku persiapkan. Butuh waktu lama hingga akhirnya hari itu tiba. Butuh banyak konflik batin sampai akhirnya aku benar-benar berani melenyapkannya dengan tanganku sendiri.
Malam tadi aku membunuhnya. Menguras habis darah yang mengalir dalam urat-urat nadinya hingga terburai membasahi hampir seluruh bagian lantai kamarku. Disana dia berkubang tanpa nyawa, dalam genangan darahnya sendiri.
Ada sedikit perasaan lega di tengah ketakutan yang menghadang. Tapi ada juga perasaan seperti seorang penjahat yang tertangkap basah dan siap dihakimi oleh masa. Keduanya menghasilkan sensasi gemetar yang maha dahsyat karena di ujung langkah aku takut menyapa sebentuk penyesalan. Perang batin lagi-lagi berkecamuk mempertanyakan apakah tepat bagiku mengakhiri hidupnya dengan cara yang sedemikian keji. Apakah keberanianku menghujam pisau berkarat tepat ke ulu hatinya sebetulnya hanya reaksi sesaat akibat kesakitan yang sudah sering dia beri. Aku dihantam banyak pertanyaan yang membuatku semakin mengkeret di pojokan.
Dia sudah sepantasnya mati. Bahkan harusnya dari dulu aku memiliki keberanian untuk membunuhnya atau paling tidak memasukan bubuk arsenik kedalam minumannya yang selalu dia minta di setiap kunjungan. Dia layak mati karena keberadaannya hanya mempersulitku yang ingin terbang dengan bantuan sayap rapuh kepercayaan yang tak kasat mata. Begitu kalimat-kalimat pembenaran berdengung dalam rumah siput di dalam telingaku. Memekakkan karena kalimat-kalimat itu seperti berpesta pora di sana, menarikan tarian kemenangan.
Dia pantas mati. Dan orang yang paling tepat membunuhnya adalah aku sendiri. Lewat aku dia harus membaui ajalnya. Perantaraan tanganku dia harus melepas nafasnya satu per satu. Tidak boleh ada penyesalan, karena semua sudah dilakukan. Tidak boleh ada penyesalan, karena semua ini demi kebaikan. Lebih lama dia hidup, maka akan lebih banyak kesakitan yang akan dia hidangkan dalam altar pemujaan. Karenanya aku lega dan tidak menyesal.
Malam tadi, dengan pisau berkarat yang sudah aku persiapkan lama, aku membunuh dia. Mengirimnya pada alam kematiam yang katanya abadi sehingga kuharap tidak ada lagi reinkarnasi yang akan membuat dia kembali. Malam tadi, aku membunuhnya. Masa lalu tentang kamu. Selamanya.
Rabu, 16 November 2011
No, Thank You
Buat saya cobaan terbesar dalam menjalin suatu hubungan itu adalah mencintai kekasih orang. Tidak dapat dieliminir memang, tapi saya pasti punya sejumput pilihan untuk kemudian berlari menghindar. Sulit, terus terang, apalagi ketika kenyataan tersebut baru diketahui belakangan saat saya sudah terlanjur banyak membelanjakan perasaan atas nama sebuah pengharapan.
Jangan tanyakan pengalaman saya mengenai mencintai kekasih orang. Berulang-ulang saya dilimbung perasaan yang ternyata itu-itu saja. Mabuk oleh candu yang sebetulnya bisa saya buang dari awal. Tapi sepertinya pada beberapa keadaan saya memilih buta untuk berjalan di lorong yang sebetulnya terang. Saya memilih mengerat urat nadi saya sendiri secara perlahan sehingga menimbulkan sensasi sedih berkepanjangan.
Rasa pedih tersebut mau tidak mau harus saya telan tanpa berhak mempertanyakan. Saya terlanjur menyepakati perjanjian dengan kesakitan yang efeknya sudah saya kenal benar. Tapi tetap saya memilih untuk buta, memilih membebalkan rasa karena mungkin saya pikir saya akan kuat bertahan. Tidak lagi peduli pada luka yang akan menganga lebar di akhir batas sebuah kesabaran. Acuh pada air mata yang pastinya siap ditumpahkan saat saya menyerah di akhir langkah.
Bodoh. Tentu saja saya tahu kalau itu tindakan bodoh. Memilih sesuatu yang saya tahu salah dengan alasan yang seringnya tidak logis adalah tindakan bodoh yang tidak dapat dibenarkan. Dan saya selalu bertahan dalam kebodohan itu, tanpa takut pada ganjaran yang akan saya pampang. Saya bertahan dalam kubangan yang awalnya saya pikir akan membahagiakan karena saya anggap saya bisa berteman dengan konsekuensi dari menggenggam tangan kekasih orang.
Tapi itu dulu. Sekarang saya kapok berjalan pada acuan yang keliru. Mencintai kekasih orang hanya akan membuat hati saya semakin kerontang. Bukan hanya karena diganjar kemarau tak berkesudahan, tapi juga karena perasaan kerdil yang pasti ditimbulkan. Saya lebih baik sendirian ketimbang memunguti remah-remah sisa di pekarangan orang seperti pencuri yang takut ketahuan. Saya memilih tidak membelanjakan perasaan daripada saya harus membayar banyak kerugian yang tidak setimpal.
Kekasih orang tetaplah kekasih orang. Seperti apapun saya memagarinya agar tidak sering meloncat ke tanah tempatnya berasal, saya tidak akan mampu membuatnya terus diam. Dia akan kembali pulang untuk meretas mimpi yang telah lahir duluan. Bersama saya mimpi lahir belakangan, dan dengan cara apapun tidak akan pernah bisa menang. Tidak peduli kalau menurut dia mimpi yang dia semai duluan ternyata sekarang sudah tidak membuatnya nyaman.
Saya sekarang hanya lebih berpikir realistis. Kalaupun dia berjanji akan menterminasi mimpi yang lahir duluan untuk menjajaki mimpi yang lahir belakangan, jangan harap saya akan bersedia dibegitukan. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada saya-saya lain setelah saya yang sekarang. Saya akan ditinggalkan oleh mimpi barunya yang mungkin tidak bisa saya kembangkan. Dan saya percaya bahwa karma akan kejadian.
Sepertinya saat ini Tuhan sedang mengajak saya bercanda, karena lagi-lagi dia kirim seseorang dengan judul kekasih orang. Tapi jangan khawatir, saya akan mengencangkan tutupan pintu hati sambil berujar, “tidak, terima kasih”.
Jangan tanyakan pengalaman saya mengenai mencintai kekasih orang. Berulang-ulang saya dilimbung perasaan yang ternyata itu-itu saja. Mabuk oleh candu yang sebetulnya bisa saya buang dari awal. Tapi sepertinya pada beberapa keadaan saya memilih buta untuk berjalan di lorong yang sebetulnya terang. Saya memilih mengerat urat nadi saya sendiri secara perlahan sehingga menimbulkan sensasi sedih berkepanjangan.
Rasa pedih tersebut mau tidak mau harus saya telan tanpa berhak mempertanyakan. Saya terlanjur menyepakati perjanjian dengan kesakitan yang efeknya sudah saya kenal benar. Tapi tetap saya memilih untuk buta, memilih membebalkan rasa karena mungkin saya pikir saya akan kuat bertahan. Tidak lagi peduli pada luka yang akan menganga lebar di akhir batas sebuah kesabaran. Acuh pada air mata yang pastinya siap ditumpahkan saat saya menyerah di akhir langkah.
Bodoh. Tentu saja saya tahu kalau itu tindakan bodoh. Memilih sesuatu yang saya tahu salah dengan alasan yang seringnya tidak logis adalah tindakan bodoh yang tidak dapat dibenarkan. Dan saya selalu bertahan dalam kebodohan itu, tanpa takut pada ganjaran yang akan saya pampang. Saya bertahan dalam kubangan yang awalnya saya pikir akan membahagiakan karena saya anggap saya bisa berteman dengan konsekuensi dari menggenggam tangan kekasih orang.
Tapi itu dulu. Sekarang saya kapok berjalan pada acuan yang keliru. Mencintai kekasih orang hanya akan membuat hati saya semakin kerontang. Bukan hanya karena diganjar kemarau tak berkesudahan, tapi juga karena perasaan kerdil yang pasti ditimbulkan. Saya lebih baik sendirian ketimbang memunguti remah-remah sisa di pekarangan orang seperti pencuri yang takut ketahuan. Saya memilih tidak membelanjakan perasaan daripada saya harus membayar banyak kerugian yang tidak setimpal.
Kekasih orang tetaplah kekasih orang. Seperti apapun saya memagarinya agar tidak sering meloncat ke tanah tempatnya berasal, saya tidak akan mampu membuatnya terus diam. Dia akan kembali pulang untuk meretas mimpi yang telah lahir duluan. Bersama saya mimpi lahir belakangan, dan dengan cara apapun tidak akan pernah bisa menang. Tidak peduli kalau menurut dia mimpi yang dia semai duluan ternyata sekarang sudah tidak membuatnya nyaman.
Saya sekarang hanya lebih berpikir realistis. Kalaupun dia berjanji akan menterminasi mimpi yang lahir duluan untuk menjajaki mimpi yang lahir belakangan, jangan harap saya akan bersedia dibegitukan. Karena tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada saya-saya lain setelah saya yang sekarang. Saya akan ditinggalkan oleh mimpi barunya yang mungkin tidak bisa saya kembangkan. Dan saya percaya bahwa karma akan kejadian.
Sepertinya saat ini Tuhan sedang mengajak saya bercanda, karena lagi-lagi dia kirim seseorang dengan judul kekasih orang. Tapi jangan khawatir, saya akan mengencangkan tutupan pintu hati sambil berujar, “tidak, terima kasih”.
Senin, 14 November 2011
Sahabat Kala Galau
Saya berkenalan dengannya ketika saya menginjak dewasa. Kedua orang tua saya yang menginisiasi perjumpaan pertama kami, dan semenjak saat itu saya seperti ketagihan. Mengunjunginya di hampir setiap akhir pekan.
Seperti ibu peri, dia mengerti saya. Kepadanya seringkali saya membawa gundah gulana atau keluh kesah. Memang dia tidak bisa menghilangkannya, tapi ketika saya berada di dekatnya saya seperti lupa. Dia menyihir saya sehingga saya melayani permainannya, bahkan saya tidak mempedulikan peluh yang bercucuran di tubuh saya.
Saya merasa bahagia. Menemukan jalan pelarian dari setiap masalah yang waktu itu saya punya. Umur yang belum terlalu matang membuat saya kadang tidak bisa memutuskan dan menyelesaikan. Karenanya saya selalu kembali kepadanya berulang-ulang.
Anehnya saya tidak pernah bosan. Bahkan ketika saya tersadar kalau sebetulnya dia tidak pernah memiliki solusi dari semua pertanyaan yang saya bawa lari. Dia hanya berperan sebagai tempat pengalihan dari segala bingung, bimbang dan galau sehingga sebetulnya setelah saya mengakhiri waktu kunjungan, saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya tidak sepenuhnya terbebaskan.
Saya hanya bahagia setiap menjelang waktu pertemuan, penuh persiapan saya berdandan. Deg-degan seperti mau bertemu dengan selingkuhan, gemetar seperti menunggu pengumuman kelulusan. Saya menikmati momen-momen tersebut sambil saya beranjak dewasa, belajar bahwa dia memang tidak pernah punya jawaban dari semua apa yang saya takutkan. Dia hanya sebuah bentuk pengalihan yang sempurna.
Memang sekarang saya masih menyambanginya terkadang, tidak sesering dulu karena saya merasa sudah bisa menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang menghadang. Kalaupun saya mengunjunginya, itu hanya sekedar untuk mewisatakan hati, menikmati masa-masa dulu ketika saya masih tergila-gila kepadanya. Sudah banyak yang berubah, dan sayapun tidak lagi merasakan apa yang dulu saya pernah rasakan. Saya tidak merasa lagi adrenalin saya terpompa kencang ketika saya bercengkrama dengannya.
Saya tidak menyesali apa yang terjadi sekarang ketika saya sudah merasa tidak lagi memiliki ikatan batin sekuat dulu dengannya. Rasa yang dulu pernah terpupuk subur lambat laun meluntur dihajar pergerakan usia. Saya juga tidak menyesali kalau saya pernah dibuat gila olehnya. Itu hanya sebagian kecil dari perjalanan hidup yang kemudian mengantarkan saya menjadi saya yang seperti sekarang. Dari dia saya pernah belajar bagaimana menyelesaikan bimbang, bagaimana mengatasi gamang.
Saya tidak bisa berjanji kalau saya akan berhenti menemuinya ketika saya merasa rindu. Terlalu banyak hal yang dia sudah pernah torehkan sehingga saya seperti tidak bisa lepas dari jeratan buaiannya. Berada di dekatnya saya tidak mengharapkan mendapatkan sesuatu, karena dari awal saya sudah yakin kalau dia hanya bakal menjadi sahabat saya yang pendiam. Yang tidak akan banyak berkelakar ketika saya dirundung kesedihan.
Dan saya yakin dia akan tetap demikian, setidaknya buat saya. Tidak peduli ketika semakin banyak orang yang juga berlari ke arahnya ketika butuh hiburan atau sekedar membuang galau. Dia akan setia kepada saya, hadir ketika saya butuh teman untuk berbincang dalam ramai. Dia akan tetap begitu selamanya, siap saya hentak kapanpun saya mau. Dia akan tetap menjadi sebuah lantai dansa yang saya puja.
Seperti ibu peri, dia mengerti saya. Kepadanya seringkali saya membawa gundah gulana atau keluh kesah. Memang dia tidak bisa menghilangkannya, tapi ketika saya berada di dekatnya saya seperti lupa. Dia menyihir saya sehingga saya melayani permainannya, bahkan saya tidak mempedulikan peluh yang bercucuran di tubuh saya.
Saya merasa bahagia. Menemukan jalan pelarian dari setiap masalah yang waktu itu saya punya. Umur yang belum terlalu matang membuat saya kadang tidak bisa memutuskan dan menyelesaikan. Karenanya saya selalu kembali kepadanya berulang-ulang.
Anehnya saya tidak pernah bosan. Bahkan ketika saya tersadar kalau sebetulnya dia tidak pernah memiliki solusi dari semua pertanyaan yang saya bawa lari. Dia hanya berperan sebagai tempat pengalihan dari segala bingung, bimbang dan galau sehingga sebetulnya setelah saya mengakhiri waktu kunjungan, saya tidak mendapatkan apa-apa. Saya tidak sepenuhnya terbebaskan.
Saya hanya bahagia setiap menjelang waktu pertemuan, penuh persiapan saya berdandan. Deg-degan seperti mau bertemu dengan selingkuhan, gemetar seperti menunggu pengumuman kelulusan. Saya menikmati momen-momen tersebut sambil saya beranjak dewasa, belajar bahwa dia memang tidak pernah punya jawaban dari semua apa yang saya takutkan. Dia hanya sebuah bentuk pengalihan yang sempurna.
Memang sekarang saya masih menyambanginya terkadang, tidak sesering dulu karena saya merasa sudah bisa menemukan jalan keluar dari setiap masalah yang menghadang. Kalaupun saya mengunjunginya, itu hanya sekedar untuk mewisatakan hati, menikmati masa-masa dulu ketika saya masih tergila-gila kepadanya. Sudah banyak yang berubah, dan sayapun tidak lagi merasakan apa yang dulu saya pernah rasakan. Saya tidak merasa lagi adrenalin saya terpompa kencang ketika saya bercengkrama dengannya.
Saya tidak menyesali apa yang terjadi sekarang ketika saya sudah merasa tidak lagi memiliki ikatan batin sekuat dulu dengannya. Rasa yang dulu pernah terpupuk subur lambat laun meluntur dihajar pergerakan usia. Saya juga tidak menyesali kalau saya pernah dibuat gila olehnya. Itu hanya sebagian kecil dari perjalanan hidup yang kemudian mengantarkan saya menjadi saya yang seperti sekarang. Dari dia saya pernah belajar bagaimana menyelesaikan bimbang, bagaimana mengatasi gamang.
Saya tidak bisa berjanji kalau saya akan berhenti menemuinya ketika saya merasa rindu. Terlalu banyak hal yang dia sudah pernah torehkan sehingga saya seperti tidak bisa lepas dari jeratan buaiannya. Berada di dekatnya saya tidak mengharapkan mendapatkan sesuatu, karena dari awal saya sudah yakin kalau dia hanya bakal menjadi sahabat saya yang pendiam. Yang tidak akan banyak berkelakar ketika saya dirundung kesedihan.
Dan saya yakin dia akan tetap demikian, setidaknya buat saya. Tidak peduli ketika semakin banyak orang yang juga berlari ke arahnya ketika butuh hiburan atau sekedar membuang galau. Dia akan setia kepada saya, hadir ketika saya butuh teman untuk berbincang dalam ramai. Dia akan tetap begitu selamanya, siap saya hentak kapanpun saya mau. Dia akan tetap menjadi sebuah lantai dansa yang saya puja.
Jumat, 11 November 2011
11-11-11
Coba tengok almanakmu hari ini! Bukankah sekarang itu tanggal yang cantik? 11-11-11. Tanggal yang diributkan banyak orang bahkan dari setahun silam. Katanya triple 11 itu bisa jadi sebuah angka keberuntungan, tanggal yang bakal mudah dikenang apabila sebuah momen diabadikan dalam bingkai ketiga angka tersebut.
Tak tertarikkah kamu untuk berlaku seperti kebanyakan orang? Membuat tanggal yang seharusnya biasa saja menjadi sesuatu yang patut dikenang dalam ranah perayaan. Memang sebetulnya tanggal tersebut adalah tanggal yang biasa, seperti tanggalan pada umumnya. Tanggalan ketika kita berdua sibuk dengan aktivitas yang beraneka ragam sampai kadang kita lupa hari apa sekarang.
Sekali lagi aku bertanya, tak tertarikkah kamu untuk berlaku seperti orang kebanyakan? Membuat 11-11-11 menjadi sebuah titik awal yang akan kita kenang pada tahun-tahun mendatang. 3 angka yang pastinya akan kita lewatkan seperti orang asing yang tidak pernah saling mengenal, berjibaku dengan urusan masing-masing tanpa memikirkan bahwa seharusnya sekarang kita sudah menjadi pasangan. Kita hanya lupa bahwa dulu sekali kita pernah bersua dan berjanji untuk bertemu suatu hari nanti.
Mungkin setting 11-11-11 bukan waktu yang tepat untuk kita memenuhi janji yang sudah kita tandatangani. Pasti belum waktunya karena sampai detik ini aku masih belum bisa membaui tanda-tanda kalau kita akan bersama seterusnya. Pasti ada tanggalan lain yang bisa jadi lebih unik untuk kita saling melunasi janji yang pernah terucap. Pasti ada angka-angka lain yang dianggap ajaib yang akan menjadi prasasti dari kita saling berikrar sehidup semati.
Tapi tidak pernahkah kamu disana membayangkan kalau mungkin seharusnya tanggal ini kita menikah? Berdiri di pelaminan menyalami ratusan atau ribuan tamu undangan. Atau kita membayangkan sesuatu yang spektakuler semisal kalau pada tanggal ini kita akan mendapatkan banyak ucapan suka cita dari kerabat dan handai taulan atas kelahiran anak kita yang pertama. Banyak seharusnya-seharusnya yang belum kita realisasikan dalam koridor nyata seperti yang sudah kita sepakati.
Aku seperti halnya kamu tidak lantas khawatir dengan apa yang sekarang berlaku. Pasti ada keyakinan di hati kita masing-masing kalau semua ini hanya masalah waktu. Tanggalan tidak akan menjadi persoalan, angka-angka menawan tidak akan menjadi sebuah beban. Perjanjian dulu sudah kadung pernah diucapkan, kita hanya lupa bagaimana caranya merealisasikan karena terlalu sibuk mencari jalan yang ujungnya akan saling bertautan. Mempertemukan.
Tidak ada istilah terlambat untuk melunasi janji. Hari ini masih menyisakan sekian jam perjalanan. Kalaupun kamu tidak ingin ketinggalan seperti orang kebanyakan dan menjadikan 11-11-11 lebih istimewa dalam frame kenangan, mari kita berjumpa dan melunasi semua janji-janji yang pernah tertulis dalam lembar-lembar buram daun lontar. Kutunggu kamu di pinggir jalan yang sudah kita hapal.
Kalau kamu masih terlampau sibuk, jangan takut aku akan berpaling. Membelanjakan hari demi hari kedepan dalam penantian tidak akan membuatku lantas bosan karena seperti yang sudah aku janjikan, aku akan tetap bertahan sampai kita akhirnya dipertemukan. Kita hanya masih terbuai untuk mengurai jalanan kusut yang terpampang. Kamu hanya perlu yakin seperti halnya aku bahwa di salah satu jalan yang sebetulnya kita sudah kenal, kita akan berpapasan.
Kalau tidak di tanggalan 11-11-11 bagaimana seandainya kita gagas ulang pertemuan kita di tanggalan 1-2-12 tahun mendatang. Aku menunggu jawaban.
Tak tertarikkah kamu untuk berlaku seperti kebanyakan orang? Membuat tanggal yang seharusnya biasa saja menjadi sesuatu yang patut dikenang dalam ranah perayaan. Memang sebetulnya tanggal tersebut adalah tanggal yang biasa, seperti tanggalan pada umumnya. Tanggalan ketika kita berdua sibuk dengan aktivitas yang beraneka ragam sampai kadang kita lupa hari apa sekarang.
Sekali lagi aku bertanya, tak tertarikkah kamu untuk berlaku seperti orang kebanyakan? Membuat 11-11-11 menjadi sebuah titik awal yang akan kita kenang pada tahun-tahun mendatang. 3 angka yang pastinya akan kita lewatkan seperti orang asing yang tidak pernah saling mengenal, berjibaku dengan urusan masing-masing tanpa memikirkan bahwa seharusnya sekarang kita sudah menjadi pasangan. Kita hanya lupa bahwa dulu sekali kita pernah bersua dan berjanji untuk bertemu suatu hari nanti.
Mungkin setting 11-11-11 bukan waktu yang tepat untuk kita memenuhi janji yang sudah kita tandatangani. Pasti belum waktunya karena sampai detik ini aku masih belum bisa membaui tanda-tanda kalau kita akan bersama seterusnya. Pasti ada tanggalan lain yang bisa jadi lebih unik untuk kita saling melunasi janji yang pernah terucap. Pasti ada angka-angka lain yang dianggap ajaib yang akan menjadi prasasti dari kita saling berikrar sehidup semati.
Tapi tidak pernahkah kamu disana membayangkan kalau mungkin seharusnya tanggal ini kita menikah? Berdiri di pelaminan menyalami ratusan atau ribuan tamu undangan. Atau kita membayangkan sesuatu yang spektakuler semisal kalau pada tanggal ini kita akan mendapatkan banyak ucapan suka cita dari kerabat dan handai taulan atas kelahiran anak kita yang pertama. Banyak seharusnya-seharusnya yang belum kita realisasikan dalam koridor nyata seperti yang sudah kita sepakati.
Aku seperti halnya kamu tidak lantas khawatir dengan apa yang sekarang berlaku. Pasti ada keyakinan di hati kita masing-masing kalau semua ini hanya masalah waktu. Tanggalan tidak akan menjadi persoalan, angka-angka menawan tidak akan menjadi sebuah beban. Perjanjian dulu sudah kadung pernah diucapkan, kita hanya lupa bagaimana caranya merealisasikan karena terlalu sibuk mencari jalan yang ujungnya akan saling bertautan. Mempertemukan.
Tidak ada istilah terlambat untuk melunasi janji. Hari ini masih menyisakan sekian jam perjalanan. Kalaupun kamu tidak ingin ketinggalan seperti orang kebanyakan dan menjadikan 11-11-11 lebih istimewa dalam frame kenangan, mari kita berjumpa dan melunasi semua janji-janji yang pernah tertulis dalam lembar-lembar buram daun lontar. Kutunggu kamu di pinggir jalan yang sudah kita hapal.
Kalau kamu masih terlampau sibuk, jangan takut aku akan berpaling. Membelanjakan hari demi hari kedepan dalam penantian tidak akan membuatku lantas bosan karena seperti yang sudah aku janjikan, aku akan tetap bertahan sampai kita akhirnya dipertemukan. Kita hanya masih terbuai untuk mengurai jalanan kusut yang terpampang. Kamu hanya perlu yakin seperti halnya aku bahwa di salah satu jalan yang sebetulnya kita sudah kenal, kita akan berpapasan.
Kalau tidak di tanggalan 11-11-11 bagaimana seandainya kita gagas ulang pertemuan kita di tanggalan 1-2-12 tahun mendatang. Aku menunggu jawaban.
Rabu, 09 November 2011
AKUPUN SAMA
Akupun sama, tidak memiliki alasan kenapa harus menunda-nunda. Bahkan waktu seperti sudah tidak bersahabat memburu minta dihentikan untuk kemudian kembali diputar. Nanti, ketika aku sudah menemukan pegangan yang tidak lagi membuatku gamang merapal langkah di jalanan. Tapi sekarang waktu masih saja memburu, membuatku lelah dan terengah-engah.
Tentu saja akan aku hadiahkan sebuah kebahagiaan. Sesuatu yang sudah aku persiapkan ketika aku mulai tersadar beberapa tahun silam. Sayang, bentuk kebahagiaan itu belum juga menemukan ruang untuk kemudian ditampilkan. Semua masih semu, masih berselimutkan seludang kelabu yang sulit disibak bahkan oleh seperangkat doa.
Akupun sama, tidak lepas merapal doa sambil menengadahkan tangan ke udara. Seringkali merasa sia-sia dan tidak berguna, tapi untungnya aku masih diberi sehelai rasa percaya. Sehelai yang beranak pinak menjadi tameng kokoh yang aku rasa melindungiku dari segala mara bahaya. Atau setidaknya dari salah langkah yang seringkali aku coba.
Aku mungkin bukan orang baik, tapi sekuat tenaga aku berusaha untuk melakukan yang terbaik. Mungkin aku masih saja bingung dilimbung persimpangan yang menghadang, tapi aku berusaha untuk lepas dari segala cengkraman yang sudah sekian lama meninabobokan.Keluar dari nyaman sarang yang membuatku lupa akan dosa. Aku berusaha walaupun seringkali aku justru balik lagi pada titik yang serupa.
Tidak tahu kenapa godaan itu seperti sukar untuk dienyahkan, terus membuntutiku yang sebetulnya ingin berubah. Sudah cukup berbagai pengalaman aku gambar dalam dinding perasaan, sudah banyak sari yang aku ambil sebagai bentuk sebuah pembelajaran. Tapi seperti tidak pernah cukup, godaan itu datang dan datang lagi menggoyahkan kaki yang sudah lelah berlari. Membuatku akhirnya menyerah dan kembali berdarah.
Aku tidak sekuat apa yang aku bayangkan. Kerap kali aku berusaha keluar tapi malah terperosok semakin dalam. Aku mencoba menghindar, tapi selalu saja aku diketemukan. Dipaksa mereguk manis dosa yang dihadirkan sosok yang diam-diam aku puja. Mereka datang tanpa diundang, mereka bertandang tanpa tahu aturan. Tanpa mengindahkan tanda mereka menerobos masuk membelaiku kembali dengan rasa yang sebetulnya aku ingin lupa.
Akupun sama, ingin segera keluar sebagai juara. Tidak peduli ketika harus kugadaikan nyawa sebagai tanda bukti untukku melupakan masa lalu. Hitam sudah tertoreh tebal, tapi jangan khawatir, lewat doa akan aku beli sebuah pengampunan untuk menghapusnya perlahan. Noda sudah tercetak, tapi jangan khawatir karena lagi-lagi lewat doa aku akan mengiba sebuah bentuk pemaafan. Tidak ada yang mustahil untuk dikerjakan bukan?
Permudahlah jalanku. Begini saja, bagaimana kalau nanti malam kita bertemu dalam mimpi. Nilai aku sepuasnya, setelah itu kamu boleh pergi. Tidak kembali. Berpikir ulang setelah pergi untuk kemudian kembali. Atau tidak pergi sama sekali sehingga tidak perlu kembali. Kamu yang menentukan.
Tentu saja akan aku hadiahkan sebuah kebahagiaan. Sesuatu yang sudah aku persiapkan ketika aku mulai tersadar beberapa tahun silam. Sayang, bentuk kebahagiaan itu belum juga menemukan ruang untuk kemudian ditampilkan. Semua masih semu, masih berselimutkan seludang kelabu yang sulit disibak bahkan oleh seperangkat doa.
Akupun sama, tidak lepas merapal doa sambil menengadahkan tangan ke udara. Seringkali merasa sia-sia dan tidak berguna, tapi untungnya aku masih diberi sehelai rasa percaya. Sehelai yang beranak pinak menjadi tameng kokoh yang aku rasa melindungiku dari segala mara bahaya. Atau setidaknya dari salah langkah yang seringkali aku coba.
Aku mungkin bukan orang baik, tapi sekuat tenaga aku berusaha untuk melakukan yang terbaik. Mungkin aku masih saja bingung dilimbung persimpangan yang menghadang, tapi aku berusaha untuk lepas dari segala cengkraman yang sudah sekian lama meninabobokan.Keluar dari nyaman sarang yang membuatku lupa akan dosa. Aku berusaha walaupun seringkali aku justru balik lagi pada titik yang serupa.
Tidak tahu kenapa godaan itu seperti sukar untuk dienyahkan, terus membuntutiku yang sebetulnya ingin berubah. Sudah cukup berbagai pengalaman aku gambar dalam dinding perasaan, sudah banyak sari yang aku ambil sebagai bentuk sebuah pembelajaran. Tapi seperti tidak pernah cukup, godaan itu datang dan datang lagi menggoyahkan kaki yang sudah lelah berlari. Membuatku akhirnya menyerah dan kembali berdarah.
Aku tidak sekuat apa yang aku bayangkan. Kerap kali aku berusaha keluar tapi malah terperosok semakin dalam. Aku mencoba menghindar, tapi selalu saja aku diketemukan. Dipaksa mereguk manis dosa yang dihadirkan sosok yang diam-diam aku puja. Mereka datang tanpa diundang, mereka bertandang tanpa tahu aturan. Tanpa mengindahkan tanda mereka menerobos masuk membelaiku kembali dengan rasa yang sebetulnya aku ingin lupa.
Akupun sama, ingin segera keluar sebagai juara. Tidak peduli ketika harus kugadaikan nyawa sebagai tanda bukti untukku melupakan masa lalu. Hitam sudah tertoreh tebal, tapi jangan khawatir, lewat doa akan aku beli sebuah pengampunan untuk menghapusnya perlahan. Noda sudah tercetak, tapi jangan khawatir karena lagi-lagi lewat doa aku akan mengiba sebuah bentuk pemaafan. Tidak ada yang mustahil untuk dikerjakan bukan?
Permudahlah jalanku. Begini saja, bagaimana kalau nanti malam kita bertemu dalam mimpi. Nilai aku sepuasnya, setelah itu kamu boleh pergi. Tidak kembali. Berpikir ulang setelah pergi untuk kemudian kembali. Atau tidak pergi sama sekali sehingga tidak perlu kembali. Kamu yang menentukan.
Senin, 07 November 2011
Drama di Kepala
Aku menjadikan kepalaku sebagai panggung tempat pementasan drama. Puluhan cerita siap dipentaskan ketika aku menekan tombol on di sebelah tulang mata. Tanpa perlu aba-aba, babak demi babak akan runut dimainkan sesuai dengan skenario yang aku gubah sendirian. Kadang penuh persiapan tapi seringkali spontan ketika aku sedang butuh tontonan.
Memang pementasan drama di kepalaku cenderung asosial. Tidak ada penonton yang bertepuk tangan di akhir pertunjukan, atau mengeluarkan sumpah serapah karena sudah membayar sejumlah uang dan tontonannya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Bahkan tidak ada penonton yang tertidur pulas di bangku keras karena keburu bosan sebelum cerita sampai pada klimaksnya. Pementasan drama di kepalaku sepi pengunjung, tapi tidak pernah berhenti berlangsung.
Aku tidak peduli dengan rating karena sebetulnya drama yang aku cuplik bukan untuk konsumsi publik. Aku tidak peduli dengan tidak adanya komersial yang katanya akan meningkatkan nilai jual. Aku hanya ingin panggung yang memang sudah ada tidak miskin cerita, aku ingin mereka tetap gempita meskipun kenyataannya banyak yang kontra. Aku hanya ingin pemeran-pemeran tanpa casting yang sudah aku reka menemukan nyawanya dalam alur sebuah laga.
Terkadang aku membuka sedikit sekat agar pementasan drama yang tengah diputar di kepala menemukan udara. Membuatnya sedikit lega karena terlepas dari pengap yang mendera. Lewat jendela imaji paparan demi paparan aku unggah penuh makna. Bukan untuk mengumbar ataupun membanggakan atas apa yang sedang dirasakan, aku hanya ingin sosok-sosok yang kerap aku pelihara dalam bandrol drama mengenal dunia. Aku ingin mereka lantas bercerita bahwa mereka sebetulnya ada.
Tidak terlalu berlebihan rasanya ketika mereka aku hadirkan layaknya nyata. Menunggang aksara mereka membungkuk memperkenalkan perannya dalam sebuah jalan cerita. Menitis dalam kata mereka memainkan skenario yang digubah penuh prahara. Tapi jangan kasihani mereka, karena mereka hanya bersandiwara. Jangan kasihani aku karena aku hanya seorang penggubah cerita, seorang penggila drama dalam pentas tanpa suara di kepala.
Lewat jendela imaji aku berbagi. Menyapa serakan ribu maya yang berkunjung merapal kidung. Bagai cermin di pinggiran trotoar aku berdiam, menyediakan awahan bagi pejalan kaki yang sekedar ingin merefleksi. Berdiri sebentar kemudian meraba hati, berharap setelah itu sebuah senyum terulas di wajah sang pejalan kaki. Meski tipis tapi aku tahu kalau dia merasa tidak pernah hidup sendiri. Ada orang sepertinya yang memainkan peran yang sama dalam drama yang pentas di kepala. Bedanya hanya karena dia itu nyata.
Aku penggila drama, karenanya aku gagas banyak pertunjukan di dalam kepala. Meski tanpa riuh deru penonton yang gemuruh, pertunjukan tetap harus dijalankan. Mengikuti jadwal kesepakatan antara pihak-pihak yang tidak kelihatan.
Aku penggila drama, dan kalaupun aku umbar ceritanya melalui aksara, aku hanya ingin membersihkan panggung dari debu yang menggunung. Agar ketika sudah sedikit bersih, aku bisa menciptakan lagi babak baru yang kusenandungkan dalam nyanyian. Sendirian.
Memang pementasan drama di kepalaku cenderung asosial. Tidak ada penonton yang bertepuk tangan di akhir pertunjukan, atau mengeluarkan sumpah serapah karena sudah membayar sejumlah uang dan tontonannya tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan. Bahkan tidak ada penonton yang tertidur pulas di bangku keras karena keburu bosan sebelum cerita sampai pada klimaksnya. Pementasan drama di kepalaku sepi pengunjung, tapi tidak pernah berhenti berlangsung.
Aku tidak peduli dengan rating karena sebetulnya drama yang aku cuplik bukan untuk konsumsi publik. Aku tidak peduli dengan tidak adanya komersial yang katanya akan meningkatkan nilai jual. Aku hanya ingin panggung yang memang sudah ada tidak miskin cerita, aku ingin mereka tetap gempita meskipun kenyataannya banyak yang kontra. Aku hanya ingin pemeran-pemeran tanpa casting yang sudah aku reka menemukan nyawanya dalam alur sebuah laga.
Terkadang aku membuka sedikit sekat agar pementasan drama yang tengah diputar di kepala menemukan udara. Membuatnya sedikit lega karena terlepas dari pengap yang mendera. Lewat jendela imaji paparan demi paparan aku unggah penuh makna. Bukan untuk mengumbar ataupun membanggakan atas apa yang sedang dirasakan, aku hanya ingin sosok-sosok yang kerap aku pelihara dalam bandrol drama mengenal dunia. Aku ingin mereka lantas bercerita bahwa mereka sebetulnya ada.
Tidak terlalu berlebihan rasanya ketika mereka aku hadirkan layaknya nyata. Menunggang aksara mereka membungkuk memperkenalkan perannya dalam sebuah jalan cerita. Menitis dalam kata mereka memainkan skenario yang digubah penuh prahara. Tapi jangan kasihani mereka, karena mereka hanya bersandiwara. Jangan kasihani aku karena aku hanya seorang penggubah cerita, seorang penggila drama dalam pentas tanpa suara di kepala.
Lewat jendela imaji aku berbagi. Menyapa serakan ribu maya yang berkunjung merapal kidung. Bagai cermin di pinggiran trotoar aku berdiam, menyediakan awahan bagi pejalan kaki yang sekedar ingin merefleksi. Berdiri sebentar kemudian meraba hati, berharap setelah itu sebuah senyum terulas di wajah sang pejalan kaki. Meski tipis tapi aku tahu kalau dia merasa tidak pernah hidup sendiri. Ada orang sepertinya yang memainkan peran yang sama dalam drama yang pentas di kepala. Bedanya hanya karena dia itu nyata.
Aku penggila drama, karenanya aku gagas banyak pertunjukan di dalam kepala. Meski tanpa riuh deru penonton yang gemuruh, pertunjukan tetap harus dijalankan. Mengikuti jadwal kesepakatan antara pihak-pihak yang tidak kelihatan.
Aku penggila drama, dan kalaupun aku umbar ceritanya melalui aksara, aku hanya ingin membersihkan panggung dari debu yang menggunung. Agar ketika sudah sedikit bersih, aku bisa menciptakan lagi babak baru yang kusenandungkan dalam nyanyian. Sendirian.
Jumat, 04 November 2011
Bersemi (Kembali)
Hilang kata. Semua menguap ke udara ketika sosok itu berdiri tersenyum di hadapanku kemarin senja. Tanpa kabar dia tiba-tiba bertandang, membuat limbung seketika. Mengoyak semua tatanan yang tersusun rapi di dalam kepala, membuatnya bergerak acak berlarian tanpa pola. Kebanyakan berebut minta disembunyikan, tapi ada beberapa bagian yang justru menantang ingin ditampilkan.
Sekian tahun tidak ada yang berubah. Hanya gurat kedewasaan yang semakin banyak dipertontonkan wajahmu yang tetap rupawan. Senyummu masih sama, senyum yang pernah membuatku seperti hilir mudik diantarkan ke nirwana. Senyum yang senantiasa mengembang mengiringi bergulirnya hari. Senyum yang pernah padam seperti api terguyur hujan ketika selepas ashar kita bersitegang dan memutuskan tidak lagi berpegangan.
Jangan bertanya apakah saat itu aku merasa kehilangan, atau apakah aku tidak menyesal. Berminggu-minggu aku sakaw mencandu kehampaan sampai akhirnya bebal. Berhari-hari aku selayaknya setan yang bergerak melayang. Tidak aku rasakan kaki yang menapak menopang massa seakan teori relativitas Einstein bekerja tanpa kerangka. Aku kehilangan meskipun sebetulnya sakit yang tengah dia hidangkan.
Bukankah seharusnya ada segumpal maaf yang menggelembung di ujung ketersiksaan? Bukankah seharusnya aku bisa memilih buta dan berdamai dengan apa yang sudah dia lakukan? Sayang aku tidak bisa memilih opsi itu, aku lebih memilih membuka mata tentang kenyataan bahwa dia sudah membagi apa yang seharusnya tidak dia bagikan. Aku lebih memilih melepaskan karena mungkin itu bisa membuat dia lebih bahagia. Aku belajar tidak egois.
Tapi lihat, setelah sekian tahun aku belajar melupakan, sekarang dia datang lagi. Menimbulkan turbulensi yang masih tetap memporakporandakan. Membuatku menaiki mesin waktu ke masa lampau untuk merinci apa yang tidak bisa hilang dari pekarangan kenangan. Dia begitu indah, karenanya dia dan aroma memorinya aku bingkai dalam pigura tanpa kaca. Menyisakan secuil kemungkinan untuk aku rogoh dan aku hadirkan ketika aku ingin bertamasya. Berjalan di pematang yang sering aku dan dia lewati dalam bayangan.
Ratusan pertanyaan berawalan ingatkah bermunculan perantaraan tatapannya yang melumat diriku hingga lekat. Tidak banyak suara yang menggetarkan udara, tidak banyak pertanda yang harus diterjemahkan rasa. Aku dan dia hanya duduk dalam hening dengan jalan pikiran yang saling bertumbukan, mencipta momentum-momentum jawaban dari semua pertanyaan yang keluar bergantian. Merapal semua kemungkinan.
Aku tidak bisa menjanjikan taman untuk saling bercengkrama seperti dulu. Dia juga tidak menjanjikan untuk menyemai ratusan benih bunga beraneka warna sebagai hiasan. Masa lalu telah mengajarkan aku dan dia bahwa terlalu berharap hanya akan menimbulkan kesakitan berkepanjangan. Terlalu dalam menggali perasaan hanya akan menjadikan semuanya sebagai jeratan yang siap menghadang.
Untuk saat ini aku dan dia hanya memulainya dengan rasa percaya. Mengobati luka yang masih menganga, entah untuk berapa lama.
Sekian tahun tidak ada yang berubah. Hanya gurat kedewasaan yang semakin banyak dipertontonkan wajahmu yang tetap rupawan. Senyummu masih sama, senyum yang pernah membuatku seperti hilir mudik diantarkan ke nirwana. Senyum yang senantiasa mengembang mengiringi bergulirnya hari. Senyum yang pernah padam seperti api terguyur hujan ketika selepas ashar kita bersitegang dan memutuskan tidak lagi berpegangan.
Jangan bertanya apakah saat itu aku merasa kehilangan, atau apakah aku tidak menyesal. Berminggu-minggu aku sakaw mencandu kehampaan sampai akhirnya bebal. Berhari-hari aku selayaknya setan yang bergerak melayang. Tidak aku rasakan kaki yang menapak menopang massa seakan teori relativitas Einstein bekerja tanpa kerangka. Aku kehilangan meskipun sebetulnya sakit yang tengah dia hidangkan.
Bukankah seharusnya ada segumpal maaf yang menggelembung di ujung ketersiksaan? Bukankah seharusnya aku bisa memilih buta dan berdamai dengan apa yang sudah dia lakukan? Sayang aku tidak bisa memilih opsi itu, aku lebih memilih membuka mata tentang kenyataan bahwa dia sudah membagi apa yang seharusnya tidak dia bagikan. Aku lebih memilih melepaskan karena mungkin itu bisa membuat dia lebih bahagia. Aku belajar tidak egois.
Tapi lihat, setelah sekian tahun aku belajar melupakan, sekarang dia datang lagi. Menimbulkan turbulensi yang masih tetap memporakporandakan. Membuatku menaiki mesin waktu ke masa lampau untuk merinci apa yang tidak bisa hilang dari pekarangan kenangan. Dia begitu indah, karenanya dia dan aroma memorinya aku bingkai dalam pigura tanpa kaca. Menyisakan secuil kemungkinan untuk aku rogoh dan aku hadirkan ketika aku ingin bertamasya. Berjalan di pematang yang sering aku dan dia lewati dalam bayangan.
Ratusan pertanyaan berawalan ingatkah bermunculan perantaraan tatapannya yang melumat diriku hingga lekat. Tidak banyak suara yang menggetarkan udara, tidak banyak pertanda yang harus diterjemahkan rasa. Aku dan dia hanya duduk dalam hening dengan jalan pikiran yang saling bertumbukan, mencipta momentum-momentum jawaban dari semua pertanyaan yang keluar bergantian. Merapal semua kemungkinan.
Aku tidak bisa menjanjikan taman untuk saling bercengkrama seperti dulu. Dia juga tidak menjanjikan untuk menyemai ratusan benih bunga beraneka warna sebagai hiasan. Masa lalu telah mengajarkan aku dan dia bahwa terlalu berharap hanya akan menimbulkan kesakitan berkepanjangan. Terlalu dalam menggali perasaan hanya akan menjadikan semuanya sebagai jeratan yang siap menghadang.
Untuk saat ini aku dan dia hanya memulainya dengan rasa percaya. Mengobati luka yang masih menganga, entah untuk berapa lama.
Rabu, 02 November 2011
Aksaraku Mati
Aksaraku mati
Semalam dia meregang nyawa di jalanan
Menyisakan cerita yang menggenang belum usai
Aksaraku mati
Tercerabut dari media tumbuhnya yang menawan
Membawa kelukaan yang tidak bisa dijelaskan
Berdarah kemudian melepas nafas satu satu
Dia datang telanjang
Membelai harapan dengan raut muka yang menantang
Kurapal dengan tangan yang sepenuhnya gemetar
Memberinya pakaian agar sesuai dengan tema dan ruang
Semenjak itu kucandu dia sampai Tuhan cemburu
Dia datang
Menemani aku yang tengah kesepian
Menarikan sebuah penghiburan dalam temaram
Aksaraku mati
Setelah beberapa kali sekarat dan akhirnya kehabisan nafas
Dia menyerah pada awal sebuah alenia
Aksaraku mati
Membusuk khusuk dalam liang tak bertuan
Aksaraku mati
Meninggalkan sebuah prosa tanpa akhiran
Meninggalkan duka di ujung sebuah pengharapan
Aksaraku mati
Dan aku yakin pasti akan hidup lagi
Nanti
Semalam dia meregang nyawa di jalanan
Menyisakan cerita yang menggenang belum usai
Aksaraku mati
Tercerabut dari media tumbuhnya yang menawan
Membawa kelukaan yang tidak bisa dijelaskan
Berdarah kemudian melepas nafas satu satu
Dia datang telanjang
Membelai harapan dengan raut muka yang menantang
Kurapal dengan tangan yang sepenuhnya gemetar
Memberinya pakaian agar sesuai dengan tema dan ruang
Semenjak itu kucandu dia sampai Tuhan cemburu
Dia datang
Menemani aku yang tengah kesepian
Menarikan sebuah penghiburan dalam temaram
Aksaraku mati
Setelah beberapa kali sekarat dan akhirnya kehabisan nafas
Dia menyerah pada awal sebuah alenia
Aksaraku mati
Membusuk khusuk dalam liang tak bertuan
Aksaraku mati
Meninggalkan sebuah prosa tanpa akhiran
Meninggalkan duka di ujung sebuah pengharapan
Aksaraku mati
Dan aku yakin pasti akan hidup lagi
Nanti
Langganan:
Postingan (Atom)