Saya bukan cina. Dan kalaupun ada darah cina yang (masih) mengalir dalam tubuh saya, itu sudah mengalami pengenceran beberapa kali sampai kadarnya mungkin tidak bisa terdeteksi lagi. Memang ada jejak yang masih terekam seperti prasasti di bagian mata, membuatnya tidak sebesar orang kebanyakan, tapi itu tidak lantas menjadikan saya terlihat seperti cina. Banyak pribumi yang matanya seperti orang keturunan, dan itu tidak menjadikan mereka seperti cina.
Bukan saya tidak bangga dengan (sedikit) darah cina yang mengalir dalam pembuluh darah saya. Bukan saya tidak mengetahui bagaimana silsilah atas kelahiran saya terbentuk secara pasti dan tidak terbantahkan. Saya hanya sudah tidak merasakan bagaimana aura kecinaan dalam diri saya bisa saya umbar karena konsentrasinya yang bisa disebut minim. Tapi bagaimanapun saya tetap bangga. Saya bangga nenek saya seorang cina tulen, saya bangga ibu saya setengah cina. Dan saya bangga menjadi seperempat cina.
Saya bangga menjadi seperempat cina selayaknya saya bangga menjadi seorang sunda. Darah sunda yang kental membuat penampakan saya menjadi sangat indonesia meskipun tidak bisa dibilang “terlihat” seperti sunda sejati. Melanin yang diwariskan turun temurun sebagai pigmentasi dalam kulit saya berkadar lebih dari orang sunda kebanyakan, menjadikan saya “murtad” dari kekhasan orang sunda itu sendiri yang kebanyakan berkulit bersih.
Kulit saya juga bersih, tapi hitam bersih. Sesuatu yang kadang membuat orang salah tafsir mengenai asal usul saya. Tidak nampak seperti cina, dan tidak nampak seperti sunda. Kemudian bolehlah saya mengkatagorikannya sebagai unik, keunikan yang sering saya tertawakan sendiri ketika saya sedang bercermin. Hal yang mulai sering saya lakukan ketika saya sudah mengerti bagaimana pohon keturunan atas saya terbentuk. Mentertawakan keunikan saya, yang seperempat cina dan tiga perempat sunda tetapi tidak mewakili keduanya.
Hal itu tidak membingungkan saya, saya hanya terlahir seperti ini. Born this way. Tetapi yang membingungkan saya adalah ketika ada orang yang tidak saya kenal kemudian menebak kalau saya memiliki keturunan cina. Beberapa hari yang lalu, saya sedang berkumpul dengan teman-teman cina saya, yang pasti akan membuat saya semakin terlihat “berbeda” dari mereka. Dan ketika saya pulang dari toilet dan sedang berjalan ke arah meja kami seorang bapak-bapak cina menyapa saya dan bertanya, “Kamu masih ada keturunan cina yah?” Seketika saya bengong, dan hanya “Hah?” yang muncul dari mulut saya.
Bagaimana si Bapak bisa membaui kalau saya masih ada keturunan cina walau encer? Padahal saya merasa sudah tidak nampak cina sama sekali malam itu, jangankan nampak, darah “pelit” dan “irit” khas golongan cina saja sudah hengkang dari darah saya. Bukan rasis, tapi saya banyak belajar dari teman-teman cina dan nenek saya tentang “kepelitan” mereka. Jadi bagaimana Bapak itu menerka kalau saya masih ada keturunan cina? Apa karena teman-teman gaul saya malam itu semuanya cina? Tapi bukankah kalau seperti itu saya malah nampak menonjol seperti dakocan di tengah area salju. Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.
Saya seperempat cina. Tetapi saya merasa sudah kehilangan esensi dari menjadi seperempat keturunan ras itu. Sudah tidak ada ciri menonjol yang bisa saya guar berlebihan karena saya memang tidak punya. Kalaupun ada yang masih melekat erat di darah saya mengenai kecinaan itu, itu hanya karena saya lebih menyukai cina. Sekiyan.
Senin, 31 Oktober 2011
Kamis, 27 Oktober 2011
Berkatmu
Berkatmu aku rela berbincang-bincang lama dengan Tuhan dalam doa.
Sebetulnya aku belum tahu kalau itu kamu. Terlalu banyak rambu malah membuatku bingung untuk menterjemahkan semua pertanda kemana harus melangkah. Karenanya aku lebih banyak diam berharap setidaknya ada kunang-kunang yang datang dan menunjukkan kemana jalan untuk pulang.
Berkatmu aku jadi lebih sering meraba hati.
Mengeliminir apa yang dianggap tidak lagi pantas untuk dipajang di dinding perjalanan dan menggantinya dengan hiasan sesuai umur yang terpampang. Bukan berarti aku merubah diri menjadi orang lain yang mungkin asing, karena itu tidak mungkin. Aku hanya sekedar memperbaiki riasan yang pastinya tidak lagi sesuai dengan jaman.
Berkatmu aku seringkali larut dengan malam beserta gerimis yang turun perlahan.
Berharap. Mendamba. Atau paling tidak melambungkan impian tentang masa depan yang masih belum jelas gambarannya. Tapi itu tidak menggoyahkan tekadku untuk terus mengerami mimpi yang masih dalam cangkangnya. Belum tahu akan menetas seperti apa tapi setidaknya pasti membawa kebaikan. Bukan sesumbar, hanya yakin karena kebaikan niscaya akan berbuah kebaikan.
Berkatmu aku ingin tetap menjadi aku.
Kalau itu benar-benar kamu, maka kamu pasti akan menerima aku apa adanya. Mencinta tanpa syarat, mengasihi tanpa pamrih. Sederhana tapi mengalir deras seperti air bah yang meluncur dari puncak gunung, dan aku akan berusaha menampungnya tanpa tumpah. Karena bila benar itu kamu, maka aku harus melakukan hal yang sama. Mencinta dengan sepenuh nyawa.
Berkatmu aku terus berjalan. Tidak peduli pada rintangan yang pasti banyak menghadang.
Berkatmu aku terus menguntai doa. Tidak takut Tuhan akan bosan mendengar pinta yang hanya berkisar seputaran itu melulu. Hanya kamu dan kamu.
Berkatmu aku beranjak dewasa.
Berkatmu aku belajar bersabar dan menunggu.
Berkatmu aku tidak bosan bertanya. Benarkah itu kamu? Jodohku?
Sebetulnya aku belum tahu kalau itu kamu. Terlalu banyak rambu malah membuatku bingung untuk menterjemahkan semua pertanda kemana harus melangkah. Karenanya aku lebih banyak diam berharap setidaknya ada kunang-kunang yang datang dan menunjukkan kemana jalan untuk pulang.
Berkatmu aku jadi lebih sering meraba hati.
Mengeliminir apa yang dianggap tidak lagi pantas untuk dipajang di dinding perjalanan dan menggantinya dengan hiasan sesuai umur yang terpampang. Bukan berarti aku merubah diri menjadi orang lain yang mungkin asing, karena itu tidak mungkin. Aku hanya sekedar memperbaiki riasan yang pastinya tidak lagi sesuai dengan jaman.
Berkatmu aku seringkali larut dengan malam beserta gerimis yang turun perlahan.
Berharap. Mendamba. Atau paling tidak melambungkan impian tentang masa depan yang masih belum jelas gambarannya. Tapi itu tidak menggoyahkan tekadku untuk terus mengerami mimpi yang masih dalam cangkangnya. Belum tahu akan menetas seperti apa tapi setidaknya pasti membawa kebaikan. Bukan sesumbar, hanya yakin karena kebaikan niscaya akan berbuah kebaikan.
Berkatmu aku ingin tetap menjadi aku.
Kalau itu benar-benar kamu, maka kamu pasti akan menerima aku apa adanya. Mencinta tanpa syarat, mengasihi tanpa pamrih. Sederhana tapi mengalir deras seperti air bah yang meluncur dari puncak gunung, dan aku akan berusaha menampungnya tanpa tumpah. Karena bila benar itu kamu, maka aku harus melakukan hal yang sama. Mencinta dengan sepenuh nyawa.
Berkatmu aku terus berjalan. Tidak peduli pada rintangan yang pasti banyak menghadang.
Berkatmu aku terus menguntai doa. Tidak takut Tuhan akan bosan mendengar pinta yang hanya berkisar seputaran itu melulu. Hanya kamu dan kamu.
Berkatmu aku beranjak dewasa.
Berkatmu aku belajar bersabar dan menunggu.
Berkatmu aku tidak bosan bertanya. Benarkah itu kamu? Jodohku?
Senin, 24 Oktober 2011
RINDU
Rindu itu adalah ketika aku masih bisa merasakan rumput basah yang menggelitik telapak kakiku di halaman belakang rumahmu, padahal waktu sudah bergulir seiring dengan sobekan-sobekan almanak yang bertempo dinamis.
Mereka mengendap dalam labirin-labirin panjang tanpa sekat di sebuah padang ilalang subur tak terurus. Mempertontonkan ranum tarian angin yang membelai bulir-bulir kembang ilalang seakan menggoda dan mengajaknya berdansa.
Rindu itu adalah ketika aku masih bisa membaui aroma tubuhmu bahkan ketika kamu belum sepenuhnya masuk pintu. Menunggang udara, mereka menyapa lebut syaraf-syaraf penciumanku kemudian mencumbunya perlahan. Berkarat dalam rongga ingatan.
Perantaraan segala wahana, mereka minta dihadirkan meskipun aku tidak menghamba. Membuat limbung seketika karena aku seringkali tidak siap menerima hantamannya yang membabi buta. Mendesirkan selaksa lewat darah yang kuat terpompa menjelajahi setiap inchi bagian tubuhku, menjajahnya dengan leluasa.
Rindu itu adalah ketika aku masih seperti dalam rengkuhanmu padahal dulu itu malam terakhir kita berjumpa. Kamu pamit, tapi pori-poriku selayaknya terbungkam keringat yang meleleh gemetar dari erat yang tercipta. Mereguknya dan disimpan di jambangan rahasia untuk diuapkan sedikit demi sedikit sesukanya, bahkan ketika aku sudah hampir lupa.
Mereka menari. Bercanda. Bahkan tertawa lepas dalam palung-palung emosi yang memenuhi halaman rasa yang aku pelihara. Mereka sengaja menjebakkan diri pada palung buntu tanpa saluran sehingga tidak bisa lepas dari jeratan. Menenggelamkan diri dalam ceruk dangkal yang mudah tergambar membentuk bayangan. Memutar kisah antara aku dan kamu dalam bumbu kerinduan yang tertahan.
Rindu itu ketika kita berlarian di jalanan aspal tanpa sandal. Berebut berburu layang-layang yang putus tanpa tujuan. Tidak peduli lagi pada luka parut yang mungkin akan tergores, tidak takut pada matahari yang garang memanggang.
Dalam selokan mereka berdiam, dorman ketika lingkungan dirasa tidak menguntungkan. Seperti spora cendawan yang menyelubungi diri dengan selimut tahan ancaman, mereka hidup menghimpun tenaga untuk pecah suatu masa. Menyebarkan anak panah untuk menancap pada simpul-simpul syaraf yang membuatku tak bergeming menghadapi serangan.
Aku bertahan, meski kadang kala air mata meleleh perlahan. Membentuk alur memanjang sebagai pertanda suatu kepedihan. Aku menguatkan diri dengan mengkerut di pojokan, menonton kilas balik masa lalu yang menggantung dalam layar ingatan. Seperti godam yang berulang-ulang memukul ujung saluran pencernaan, tidak berhenti hingga semuanya termuntahkan tanpa sisa dan meninggalkan perasaan lega.
Rindu itu adalah seperti saat ini. Ketika aku rindu merindukan seseorang. Sepertimu. Dulu.
Mereka mengendap dalam labirin-labirin panjang tanpa sekat di sebuah padang ilalang subur tak terurus. Mempertontonkan ranum tarian angin yang membelai bulir-bulir kembang ilalang seakan menggoda dan mengajaknya berdansa.
Rindu itu adalah ketika aku masih bisa membaui aroma tubuhmu bahkan ketika kamu belum sepenuhnya masuk pintu. Menunggang udara, mereka menyapa lebut syaraf-syaraf penciumanku kemudian mencumbunya perlahan. Berkarat dalam rongga ingatan.
Perantaraan segala wahana, mereka minta dihadirkan meskipun aku tidak menghamba. Membuat limbung seketika karena aku seringkali tidak siap menerima hantamannya yang membabi buta. Mendesirkan selaksa lewat darah yang kuat terpompa menjelajahi setiap inchi bagian tubuhku, menjajahnya dengan leluasa.
Rindu itu adalah ketika aku masih seperti dalam rengkuhanmu padahal dulu itu malam terakhir kita berjumpa. Kamu pamit, tapi pori-poriku selayaknya terbungkam keringat yang meleleh gemetar dari erat yang tercipta. Mereguknya dan disimpan di jambangan rahasia untuk diuapkan sedikit demi sedikit sesukanya, bahkan ketika aku sudah hampir lupa.
Mereka menari. Bercanda. Bahkan tertawa lepas dalam palung-palung emosi yang memenuhi halaman rasa yang aku pelihara. Mereka sengaja menjebakkan diri pada palung buntu tanpa saluran sehingga tidak bisa lepas dari jeratan. Menenggelamkan diri dalam ceruk dangkal yang mudah tergambar membentuk bayangan. Memutar kisah antara aku dan kamu dalam bumbu kerinduan yang tertahan.
Rindu itu ketika kita berlarian di jalanan aspal tanpa sandal. Berebut berburu layang-layang yang putus tanpa tujuan. Tidak peduli lagi pada luka parut yang mungkin akan tergores, tidak takut pada matahari yang garang memanggang.
Dalam selokan mereka berdiam, dorman ketika lingkungan dirasa tidak menguntungkan. Seperti spora cendawan yang menyelubungi diri dengan selimut tahan ancaman, mereka hidup menghimpun tenaga untuk pecah suatu masa. Menyebarkan anak panah untuk menancap pada simpul-simpul syaraf yang membuatku tak bergeming menghadapi serangan.
Aku bertahan, meski kadang kala air mata meleleh perlahan. Membentuk alur memanjang sebagai pertanda suatu kepedihan. Aku menguatkan diri dengan mengkerut di pojokan, menonton kilas balik masa lalu yang menggantung dalam layar ingatan. Seperti godam yang berulang-ulang memukul ujung saluran pencernaan, tidak berhenti hingga semuanya termuntahkan tanpa sisa dan meninggalkan perasaan lega.
Rindu itu adalah seperti saat ini. Ketika aku rindu merindukan seseorang. Sepertimu. Dulu.
Sabtu, 22 Oktober 2011
Unfaithful (repost)
Saya selingkuh.
Saya tahu saya salah. Saya melayani tawaran hati ketika hati saya sebenarnya telah termiliki. Saya bermain api yang saya sadari bisa membakar diri saya sendiri.
Saya tahu saya salah. Tidak perlu kemudian saya menyalahkan orang lain atau pasangan saya sebagai pemicu tindakan itu. Cukup saya menyadari kemudian merefleksi langkah yang selanjutnya harus ditempuh. Belajar dari segala kebodohan yang telah terlajur dilakukan. Menjadi dewasa dengan cara yang sebenarnya tidak dianjurkan.
Pasangan saya tidak salah. Meskipun dia posesif, meskipun dia banyak melarang saya untuk melakukan ini dan itu bahkan dengan alasan yang seringnya tidak masuk akal, dia tetap tidak salah. Harusnya saya bangga dicintai sedemikian rupa. Harusnya saya bersyukur dianugerahi pasangan yang menyayangi saya melebihi kapasitas saya menyayangi dia.
Selingkuhan saya tidak salah. Dia datang dari masa lalu, menggagas cerita lama untuk dirunut kembali, kemudian menawarkan hati warna merah jambu untuk direguk sarinya. Dia tidak salah, dia hanya datang disaat yang tidak tepat. Datang disaat hati saya sudah berlabel milik seseorang. Hati yang sedang dilanda berontak karena aturan yang makin hari dirasa memberatkan. Hati yang bimbang antara ingin bertahan dan ingin menyelesaikan.
Saya salah. Saya tergoda. Saya selingkuh.
Sebagai manusia biasa, meskipun saya tahu saya bersalah, saya ingin membela diri. Bukan mencari pembenaran, karena jelas-jelas salah. Bukan mencari bala bantuan yang akan mengiyakan karena sejuta iya tetap akan membuat saya sebagai yang bersalah. Saya hanya ingin menjelaskan, atau mungkin lebih tepatnya bercerita. Jangan dihakimi, saya sedang tidak butuh itu. Biarkan saya menghakimi diri saya sendiri. Dengan cara saya.
Saya tidak suka dilarang-larang. Tidak boleh gym, tidak boleh online di YM atau Gtalk, tidak boleh mengumbar cerita di blog, bahkan lebih parah saya dibatasi untuk bertemu teman-teman saya. Hidup saya tidak melulu soal dia, saya punya hidup saya sendiri. Saya ingin menjalani apa yang ingin saya jalani, meskipun tetap akan mengorbit pada dia. Jadi kenapa harus melarang-larang. Toh saya akan tetap hadir mengelilingi lintasan orbit dengan dia sebagai porosnya. Kenapa harus takut.
Lama-lama saya bosan. Saya terkekang. Saya mencari pelarian.
Ketika saya sedang berlari membawa hati yang bimbang, saya bertemu godaan. Manis. Godaan selalu manis, meski akhirnya pasti pahit. Saya salah karena saya melayani, saya salah karena saya kemudian tidak bertutur tentang kebenaran kalau saya sudah bersama seseorang. Entahlah, waktu itu saya memilih bungkam. Saya pikir saya akan keluar sebagai pemenang, ternyata saya jadi pecundang. Saya terlena. Hati saya terobati.
Beruntung saya menyadari dengan cepat sebelum semuanya menjadi rumit. Saya membuat pengakuan kepada keduanya. Membuat semacam list dosa. Saya tidak membela diri di hadapan mereka karena saya salah. Saya hanya ingin menyelesaikan semua urusan, mengakui apa yang memang harus saya akui.
Saya melepas keduanya. Hanya untuk bersikap adil menurut versi saya. Saya beranjak dari dua hati yang sama-sama ingin bertahan. Saya sudah terlanjur menyakiti keduanya, jadi saya tidak ingin menyakiti lebih salah satunya dengan memilih satu diantara mereka. Biarkan saya tetap menjadi saya yang bersalah, yang telah terlena dan tergoda. Saya yang berlari membawa kekeliruan kedalam kekeliruan baru.
Terakhir, untuk kesekian kalinya ijinkan saya untuk kembali mengucap maaf!
Note: Artikel ketiga yang diterbitkan di book of cheat jilid 3 oleh publisher Nulis Buku
Saya tahu saya salah. Saya melayani tawaran hati ketika hati saya sebenarnya telah termiliki. Saya bermain api yang saya sadari bisa membakar diri saya sendiri.
Saya tahu saya salah. Tidak perlu kemudian saya menyalahkan orang lain atau pasangan saya sebagai pemicu tindakan itu. Cukup saya menyadari kemudian merefleksi langkah yang selanjutnya harus ditempuh. Belajar dari segala kebodohan yang telah terlajur dilakukan. Menjadi dewasa dengan cara yang sebenarnya tidak dianjurkan.
Pasangan saya tidak salah. Meskipun dia posesif, meskipun dia banyak melarang saya untuk melakukan ini dan itu bahkan dengan alasan yang seringnya tidak masuk akal, dia tetap tidak salah. Harusnya saya bangga dicintai sedemikian rupa. Harusnya saya bersyukur dianugerahi pasangan yang menyayangi saya melebihi kapasitas saya menyayangi dia.
Selingkuhan saya tidak salah. Dia datang dari masa lalu, menggagas cerita lama untuk dirunut kembali, kemudian menawarkan hati warna merah jambu untuk direguk sarinya. Dia tidak salah, dia hanya datang disaat yang tidak tepat. Datang disaat hati saya sudah berlabel milik seseorang. Hati yang sedang dilanda berontak karena aturan yang makin hari dirasa memberatkan. Hati yang bimbang antara ingin bertahan dan ingin menyelesaikan.
Saya salah. Saya tergoda. Saya selingkuh.
Sebagai manusia biasa, meskipun saya tahu saya bersalah, saya ingin membela diri. Bukan mencari pembenaran, karena jelas-jelas salah. Bukan mencari bala bantuan yang akan mengiyakan karena sejuta iya tetap akan membuat saya sebagai yang bersalah. Saya hanya ingin menjelaskan, atau mungkin lebih tepatnya bercerita. Jangan dihakimi, saya sedang tidak butuh itu. Biarkan saya menghakimi diri saya sendiri. Dengan cara saya.
Saya tidak suka dilarang-larang. Tidak boleh gym, tidak boleh online di YM atau Gtalk, tidak boleh mengumbar cerita di blog, bahkan lebih parah saya dibatasi untuk bertemu teman-teman saya. Hidup saya tidak melulu soal dia, saya punya hidup saya sendiri. Saya ingin menjalani apa yang ingin saya jalani, meskipun tetap akan mengorbit pada dia. Jadi kenapa harus melarang-larang. Toh saya akan tetap hadir mengelilingi lintasan orbit dengan dia sebagai porosnya. Kenapa harus takut.
Lama-lama saya bosan. Saya terkekang. Saya mencari pelarian.
Ketika saya sedang berlari membawa hati yang bimbang, saya bertemu godaan. Manis. Godaan selalu manis, meski akhirnya pasti pahit. Saya salah karena saya melayani, saya salah karena saya kemudian tidak bertutur tentang kebenaran kalau saya sudah bersama seseorang. Entahlah, waktu itu saya memilih bungkam. Saya pikir saya akan keluar sebagai pemenang, ternyata saya jadi pecundang. Saya terlena. Hati saya terobati.
Beruntung saya menyadari dengan cepat sebelum semuanya menjadi rumit. Saya membuat pengakuan kepada keduanya. Membuat semacam list dosa. Saya tidak membela diri di hadapan mereka karena saya salah. Saya hanya ingin menyelesaikan semua urusan, mengakui apa yang memang harus saya akui.
Saya melepas keduanya. Hanya untuk bersikap adil menurut versi saya. Saya beranjak dari dua hati yang sama-sama ingin bertahan. Saya sudah terlanjur menyakiti keduanya, jadi saya tidak ingin menyakiti lebih salah satunya dengan memilih satu diantara mereka. Biarkan saya tetap menjadi saya yang bersalah, yang telah terlena dan tergoda. Saya yang berlari membawa kekeliruan kedalam kekeliruan baru.
Terakhir, untuk kesekian kalinya ijinkan saya untuk kembali mengucap maaf!
Note: Artikel ketiga yang diterbitkan di book of cheat jilid 3 oleh publisher Nulis Buku
Kamis, 20 Oktober 2011
I Love My Ally
Saya mengenal Ally ketika saya masih berpakaian putih biru. Perkenalan yang tidak disengaja tetapi memberikan kesan yang begitu mendalam. Ally memberi saya pengalaman jatuh cinta pada pandangan pertama. Entah bagaimana awalnya, tetapi sejak saya melihatnya hati saya berucap bahwa dia sosok yang menyenangkan. Seorang perempuan yang bisa membawa saya merasakan arung jeram perasaan yang sering kali dia pertontonkan.
Pertemuan saya dan dia memang dibatasi oleh waktu. Saya hanya memiliki kesempatan bertemu dengannya seminggu sekali, itupun tidak jarang saya melewatkan pertemuan itu karena saya ketiduran. Bodoh, padahal sedari pagi saya sudah menuliskan jadwal dalam hati untuk bertemu dengannya. Kalau sudah seperti itu, ketika saya terbangun dan Ally sudah tidak ada di tempatnya maka saya akan merasakan kosong. Seperti ruh saya diambil paksa dan hanya meninggalkan raga yang bebal rasa.
Ally seorang perempuan yang mandiri. Perempuan yang dengan keunikan karakternya justru membawanya menapaki setingkat demi setingkat undakan hidup menuju kesuksesan menurut takarannya. Saya banyak belajar dari dia, termasuk bagaimana mentertawakan banyak kebodohan ketika hal tersebut dilakukan tanpa sadar dan berefek panjang. Saya berkaca pada perempuan itu, mengambil intisari hidup dalam mata saya yang masih bocah.
Tak jarang saya mengamatinya ketika sedang menangis sendirian di kedai kopi, atau melampiaskan kekesalan serta kesedihannya pada berbotol-botol minuman keras. Saya tidak bisa melarangnya, saya tidak memiliki kapasitas itu karena saya dan dia seperti dipisahkan sebuah sekat kaca. Tembus pandang tapi tidak bisa saling bersentuhan. Karenanya saya hanya mengamati sambil berharap andai saja saya bisa mendatanginya dan merengkuhnya atau paling tidak menangis bersamanya.
Ally mengajarkan saya bagaimana menjadi sentimentil. Mendahulukan perasaan daripada logika dan akal nalar meskipun pada akhirnya tetap tersadar dan bangkit mengejar ketertinggalan. Ally sering membuat saya menangis dan tertawa disaat yang bersamaan lewat tingkahnya yang kocak sekaligus membuat haru. Sebal sebetulnya saya kalau dia sudah berlaku seperti itu, mengaduk-ngaduk perasaan saya sampai kadang saya bingung harus ikut tertawa atau justru mengeluarkan air mata. Tapi Ally pintar, di ujung setiap cerita yang dia pertontonkan dia selalu membuat saya tersenyum lega dan bertekad untuk menemuinya lagi di minggu berikutnya.
Kami bersahabat, atau lebih tepatnya saya bersahabat dengan dia sementara saya tidak tahu dia akan menganggap saya sebagai apa. Saya tidak mempermasalahkannya selama dia masih setia menyambangi saya di jadwal tetap pertemuan kami. Dia tidak pernah absen, tidak seperti saya yang selalu saja ada masa dimana saya melanggar janji untuk bertemu dengannya. Dia tidak pernah marah, tapi saya seperti dibebani karena saya akan luput mengetahui apa yang telah terjadi semenjak pertemuan terakhir kami. Dan pasti saya akan menyesal.
Lewat penuturan Ally, saya mencoba memahami hidup. Perbedaan usia tidak lantas membuat saya berhenti mengaguminya. Lewat sosoknya, saya mengecap bahagia luar biasa karena bisa menjadi semacam saksi dari perjalanan hidupnya yang saya akulturasikan dengan kehidupan saya sendiri. Jauh berbeda memang, tapi proses memahami hidup bagaimanapun akan tetap sama karena hidup mengajarkan bagaimana kita harus bertahan. Hidup memaksa kita berstrategi untuk sekedar menjadi seorang pemenang atau seorang yang beruntung. Dari Ally saya belajar semua itu.
Ally boleh saja pergi, tapi apa yang sudah dia torehkan di hati saya selama beberapa periode waktu tidak akan pernah hilang. Semuanya berbekas tanpa cela, siap diumbar kembali ketika saya ingin melakukan napak tilas seperti minggu kemarin. Saya mendatangkan lagi Ally untuk sekedar bernostalgia, sekedar mengingat kebodohan-kebodohan saya yang percaya bahwa perempuan itu bisa membuat saya bahagia. Tapi memang begitu adanya, ketika saya menghadirkannya lewat sekat kaca yang membatasi kami seperti kemarin saya tetap saja tertawa dan merasa bahagia.
Saya tidak bosan mendatangkannya dalam ingatan saya melalui gambar-gambar yang bergerak beraturan. Sampai kapanpun saya akan mengagumi Ally, Ally McBeal. Pengacara sinting yang hadir dalam serial TV berlangganan jaman dulu. Yang kemudian saya koleksi keping DVD-nya lengkap selama 5 season, 10 CD dan 13 episode dalam setiap Cdnya.
Pertemuan saya dan dia memang dibatasi oleh waktu. Saya hanya memiliki kesempatan bertemu dengannya seminggu sekali, itupun tidak jarang saya melewatkan pertemuan itu karena saya ketiduran. Bodoh, padahal sedari pagi saya sudah menuliskan jadwal dalam hati untuk bertemu dengannya. Kalau sudah seperti itu, ketika saya terbangun dan Ally sudah tidak ada di tempatnya maka saya akan merasakan kosong. Seperti ruh saya diambil paksa dan hanya meninggalkan raga yang bebal rasa.
Ally seorang perempuan yang mandiri. Perempuan yang dengan keunikan karakternya justru membawanya menapaki setingkat demi setingkat undakan hidup menuju kesuksesan menurut takarannya. Saya banyak belajar dari dia, termasuk bagaimana mentertawakan banyak kebodohan ketika hal tersebut dilakukan tanpa sadar dan berefek panjang. Saya berkaca pada perempuan itu, mengambil intisari hidup dalam mata saya yang masih bocah.
Tak jarang saya mengamatinya ketika sedang menangis sendirian di kedai kopi, atau melampiaskan kekesalan serta kesedihannya pada berbotol-botol minuman keras. Saya tidak bisa melarangnya, saya tidak memiliki kapasitas itu karena saya dan dia seperti dipisahkan sebuah sekat kaca. Tembus pandang tapi tidak bisa saling bersentuhan. Karenanya saya hanya mengamati sambil berharap andai saja saya bisa mendatanginya dan merengkuhnya atau paling tidak menangis bersamanya.
Ally mengajarkan saya bagaimana menjadi sentimentil. Mendahulukan perasaan daripada logika dan akal nalar meskipun pada akhirnya tetap tersadar dan bangkit mengejar ketertinggalan. Ally sering membuat saya menangis dan tertawa disaat yang bersamaan lewat tingkahnya yang kocak sekaligus membuat haru. Sebal sebetulnya saya kalau dia sudah berlaku seperti itu, mengaduk-ngaduk perasaan saya sampai kadang saya bingung harus ikut tertawa atau justru mengeluarkan air mata. Tapi Ally pintar, di ujung setiap cerita yang dia pertontonkan dia selalu membuat saya tersenyum lega dan bertekad untuk menemuinya lagi di minggu berikutnya.
Kami bersahabat, atau lebih tepatnya saya bersahabat dengan dia sementara saya tidak tahu dia akan menganggap saya sebagai apa. Saya tidak mempermasalahkannya selama dia masih setia menyambangi saya di jadwal tetap pertemuan kami. Dia tidak pernah absen, tidak seperti saya yang selalu saja ada masa dimana saya melanggar janji untuk bertemu dengannya. Dia tidak pernah marah, tapi saya seperti dibebani karena saya akan luput mengetahui apa yang telah terjadi semenjak pertemuan terakhir kami. Dan pasti saya akan menyesal.
Lewat penuturan Ally, saya mencoba memahami hidup. Perbedaan usia tidak lantas membuat saya berhenti mengaguminya. Lewat sosoknya, saya mengecap bahagia luar biasa karena bisa menjadi semacam saksi dari perjalanan hidupnya yang saya akulturasikan dengan kehidupan saya sendiri. Jauh berbeda memang, tapi proses memahami hidup bagaimanapun akan tetap sama karena hidup mengajarkan bagaimana kita harus bertahan. Hidup memaksa kita berstrategi untuk sekedar menjadi seorang pemenang atau seorang yang beruntung. Dari Ally saya belajar semua itu.
Ally boleh saja pergi, tapi apa yang sudah dia torehkan di hati saya selama beberapa periode waktu tidak akan pernah hilang. Semuanya berbekas tanpa cela, siap diumbar kembali ketika saya ingin melakukan napak tilas seperti minggu kemarin. Saya mendatangkan lagi Ally untuk sekedar bernostalgia, sekedar mengingat kebodohan-kebodohan saya yang percaya bahwa perempuan itu bisa membuat saya bahagia. Tapi memang begitu adanya, ketika saya menghadirkannya lewat sekat kaca yang membatasi kami seperti kemarin saya tetap saja tertawa dan merasa bahagia.
Saya tidak bosan mendatangkannya dalam ingatan saya melalui gambar-gambar yang bergerak beraturan. Sampai kapanpun saya akan mengagumi Ally, Ally McBeal. Pengacara sinting yang hadir dalam serial TV berlangganan jaman dulu. Yang kemudian saya koleksi keping DVD-nya lengkap selama 5 season, 10 CD dan 13 episode dalam setiap Cdnya.
Selasa, 18 Oktober 2011
Setahun Yang Lalu
Hari ini setahun yang lalu, dia menyeberangi lautan untuk mengikuti kata hatinya. Menemui seseorang yang mungkin telah memporak-porandakan dinding pertahanannya tentang sesuatu yang selama ini dia sangkal mati-matian. Dengan tuntunan kepercayaan, dia menantang dirinya sendiri untuk membuktikan bahwa rasa yang selama ini dia pendam tidaklah salah dan patut untuk diperjuangkan. Dengan percaya bermuatan setengah penuh akhirnya dia memutuskan datang.
Dia ternyata tidak salah prediksi. Tujuan yang semula dia lihat masih berbayang, lambat laun berbuah kejelasan. Seseorang itu melayani tangan yang dia ulurkan, bersedia menyemai benih yang sudah lama dorman dalam lubuk hatinya yang kerontang. Dia merasa tidak sia-sia sudah mempertaruhkan setengah hatinya untuk seseorang yang bisa dia ajak berjalan dalam temaram. Tidak peduli kalau cahaya yang hadir tidak seberapa, karena setidaknya ada seseorang yang bisa dia genggam tangannya untuk membantunya menemukan pintu ke arah terang.
Hari ini setahun yang lalu, dia mengambil langkah paling berani selama perjalanan karirnya. Meminta ijin paksa kepada atasannya untuk datang ke tanah jawa dengan alasan menyelesaikan masalah hati. Dia tidak peduli ketika sang atasan banyak mempertanyakan, memilih bungkam ketika banyak pertanyaan lanjutan. Karena buatnya itu tidak lagi penting ketika dia sudah dapat melihat jawaban yang semakin jelas di hadapan. Sebuah oase yang akan menuntaskan dahaganya tentang perasaan yang selama ini dia kerdilkan dalam pasungan. Perasaan yang membuatnya timbul tenggelam dalam koridor mempertanyakan.
Untuk pertama kalinya dia mengecap cinta yang tidak berwarna merah jambu tapi abu-abu. Mereguk apa yang orang bilang dengan asmara. Dia kemudian berkenalan dengan cemburu dan intrik ala sinema. Hidupnya menjadi berwarna penuh drama, apalagi seseorang yang dia genggam adalah pemuja prosa dengan peran yang sering kali tidak bisa diterka. Dan dia mau berdamai dengan semua itu entah untuk apa. Mungkinkah karena cinta? Atau hanya sekedar bertahan untuk meyakinkan bahwa ini adalah sesuatu yang selama ini dia cari dalam kegelapan? Tidak pernah ada jawaban.
Hari ini setahun yang lalu, dia dan seseorang itu berjalan beriringan. Mencoba saling meyakinkan diri sendiri bahwa jarak yang terbentang bukan lagi suatu halangan. Semua bisa dimanipulasi perantara suara yang bergetar melalui garputala berbayar pulsa. Mereka saling meyakinkan ditengah banyak keraguan karena sebetulnya mereka sadar benar bahwa jarak adalah suatu rintangan yang tidak pernah gampang. Bagaimanapun jarak tetaplah jarak, tidak bisa diakali. Jarak tetap menjadi sebuah barier bagi kepercayaan yang sedang diretas deras.
Hari ini, seseorang itu sedang mengenang. Mengurai lagi dalam diam cerita tentang dia yang pernah menyeberangi lautan hanya untuk menemuinya dan berucap cinta. Memang dia tidak ada lagi dalam genggaman karena dalam perjalanannya ternyata banyak yang tidak bisa dipersatukan. Banyak hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya muncul justru memberatkan, membuat rentang semakin jauh dirasakan. Cerita harus diakhiri dengan cara yang tidak semestinya, saling membenci bahkan hingga saat ini.
Hari ini, seseorang itu sedang mengenang. Melabeli dia dengan predikat salah satu kekasih terbaik yang pernah dikirimkan Tuhan untuk membuatnya merasa sempurna. Dia yang pernah memberinya kebahagiaan, dia yang pernah memberinya air mata, dia yang sampai sekarang masih menimbulkan keraguan apakah dia bersedia diberi kesempatan kedua?
Hari ini, seseorang itu mengenang bahwa setahun yang lalu dia pernah punya pacar.
Dia ternyata tidak salah prediksi. Tujuan yang semula dia lihat masih berbayang, lambat laun berbuah kejelasan. Seseorang itu melayani tangan yang dia ulurkan, bersedia menyemai benih yang sudah lama dorman dalam lubuk hatinya yang kerontang. Dia merasa tidak sia-sia sudah mempertaruhkan setengah hatinya untuk seseorang yang bisa dia ajak berjalan dalam temaram. Tidak peduli kalau cahaya yang hadir tidak seberapa, karena setidaknya ada seseorang yang bisa dia genggam tangannya untuk membantunya menemukan pintu ke arah terang.
Hari ini setahun yang lalu, dia mengambil langkah paling berani selama perjalanan karirnya. Meminta ijin paksa kepada atasannya untuk datang ke tanah jawa dengan alasan menyelesaikan masalah hati. Dia tidak peduli ketika sang atasan banyak mempertanyakan, memilih bungkam ketika banyak pertanyaan lanjutan. Karena buatnya itu tidak lagi penting ketika dia sudah dapat melihat jawaban yang semakin jelas di hadapan. Sebuah oase yang akan menuntaskan dahaganya tentang perasaan yang selama ini dia kerdilkan dalam pasungan. Perasaan yang membuatnya timbul tenggelam dalam koridor mempertanyakan.
Untuk pertama kalinya dia mengecap cinta yang tidak berwarna merah jambu tapi abu-abu. Mereguk apa yang orang bilang dengan asmara. Dia kemudian berkenalan dengan cemburu dan intrik ala sinema. Hidupnya menjadi berwarna penuh drama, apalagi seseorang yang dia genggam adalah pemuja prosa dengan peran yang sering kali tidak bisa diterka. Dan dia mau berdamai dengan semua itu entah untuk apa. Mungkinkah karena cinta? Atau hanya sekedar bertahan untuk meyakinkan bahwa ini adalah sesuatu yang selama ini dia cari dalam kegelapan? Tidak pernah ada jawaban.
Hari ini setahun yang lalu, dia dan seseorang itu berjalan beriringan. Mencoba saling meyakinkan diri sendiri bahwa jarak yang terbentang bukan lagi suatu halangan. Semua bisa dimanipulasi perantara suara yang bergetar melalui garputala berbayar pulsa. Mereka saling meyakinkan ditengah banyak keraguan karena sebetulnya mereka sadar benar bahwa jarak adalah suatu rintangan yang tidak pernah gampang. Bagaimanapun jarak tetaplah jarak, tidak bisa diakali. Jarak tetap menjadi sebuah barier bagi kepercayaan yang sedang diretas deras.
Hari ini, seseorang itu sedang mengenang. Mengurai lagi dalam diam cerita tentang dia yang pernah menyeberangi lautan hanya untuk menemuinya dan berucap cinta. Memang dia tidak ada lagi dalam genggaman karena dalam perjalanannya ternyata banyak yang tidak bisa dipersatukan. Banyak hal yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya muncul justru memberatkan, membuat rentang semakin jauh dirasakan. Cerita harus diakhiri dengan cara yang tidak semestinya, saling membenci bahkan hingga saat ini.
Hari ini, seseorang itu sedang mengenang. Melabeli dia dengan predikat salah satu kekasih terbaik yang pernah dikirimkan Tuhan untuk membuatnya merasa sempurna. Dia yang pernah memberinya kebahagiaan, dia yang pernah memberinya air mata, dia yang sampai sekarang masih menimbulkan keraguan apakah dia bersedia diberi kesempatan kedua?
Hari ini, seseorang itu mengenang bahwa setahun yang lalu dia pernah punya pacar.
Kamis, 13 Oktober 2011
Hujan Musim Ini (Repost)
Aku menghargai kejujuranmu yang telah mengakui bahwa sebetulnya kamu masih memiliki seorang kekasih. Entah kemudian menurutmu itu kekasih di luar nalarmu, di luar logikamu, tapi tetap dia disebut kekasih, seseorang yang pastinya masih mengisi tempat teristimewa di hatimu. Aku menghargai semua niat baikmu sehingga kamu masih menghormati aku dengan berterus terang. Sebelum semuanya berjalan lebih jauh.
Aku tidak ingin cinta menjadikanku bodoh. Aku tidak ingin cinta membuat jiwaku menjadi kerdil. Dan apabila kemudian aku mau berkompromi dengan semua keadaanmu itu artinya aku bodoh, dan aku membiarkan jiwaku kerdil. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa menang bersaing dengan cinta yang masa tumbuhnya berkelipatan 365 hari itu. Aku akan selalu kalah tersisih. Tak peduli meskipun kamu bilang bahwa dia sebenarnya kosong, bahwa mencintai dia sungguh di luar akal sehatmu. Aku akan selalu kalah.
Mungkin aku kamu anggap bisa mengisi kosong yang kekasihmu beri, tapi itu artinya aku akan hidup dalam bayang-bayang dia. Dan aku tidak mau seperti itu. Apabila hubungan kalian sudah hitungan tahun, artinya selama ini kamu sudah berkompromi dengan kekosongan itu. Kenapa sekarang kamu justru seperti kebakaran jenggot dengan complain bahwa dia kosong? Jangan jadikan aku sebagai alasanmu mengugat kekosongan itu.
Kamu boleh bilang bahwa mencintainya di luar nalarmu, bahwa mencintainya membuatmu menomersekiankan logika. Tapi, ketika hubungan itu bisa kamu pertahankan sampai sekarang kamu bukan lagi hidup di luar nalar, tidak lagi mengabaikan logika, kamu sudah nyaman. Nikmati kenyamanan itu, jangan kemudian berontak karena kamu pikir aku bisa menutupi kekosongan kekasihmu. Aku mungkin hadir di saat yang tidak tepat, memberikan sensasi baru yang mungkin hanya sebuah selingan.
Gambar puzzle hati di dadamu mungkin tidak penuh karena kekosongan yang menurutmu dimiliki oleh kekasihmu itu, tapi selama hatinya masih bisa mengalunkan isyarat cinta kenapa harus dipermasalahkan. Aku mungkin bisa pas dengan potongan puzzle yang belum lengkap itu, tapi aku yakin warna gambar hatinya akan berbeda, dan aku hanya akan tetap menjadi potongan puzzle. Bukan gambar hati utuh. Karenanya aku memilih untuk mundur. Aku tidak ingin cinta menjadikanku tidak adil terhadap dia. Kekasihmu.
Hujan masih menyisakan genangan air meski bau tanahnya sudah menguap. Genting masih basah setelah sesaat dicumbu rinai hujan. Basah hujan musim ini aku memutuskan untuk beranjak dari sana, dari kepingan harapan yang sebelumnya aku kembangkan. Maaf jika aku kemudian menutup akses komunikasi diantara kita. Tolong beri aku waktu untuk menyembuhkan luka, karena layaknya gerimis, kamu hanya datang sesaat. Dan dalam kesesaatannya itu kamu masih meninggalkan jejak. Jejak air mata.
Note: artikel kedua yang dimuat di book of cheat jilid 2 dan diterbitkan oleh publisher Nulis Buku
Aku tidak ingin cinta menjadikanku bodoh. Aku tidak ingin cinta membuat jiwaku menjadi kerdil. Dan apabila kemudian aku mau berkompromi dengan semua keadaanmu itu artinya aku bodoh, dan aku membiarkan jiwaku kerdil. Sampai kapanpun aku tidak akan bisa menang bersaing dengan cinta yang masa tumbuhnya berkelipatan 365 hari itu. Aku akan selalu kalah tersisih. Tak peduli meskipun kamu bilang bahwa dia sebenarnya kosong, bahwa mencintai dia sungguh di luar akal sehatmu. Aku akan selalu kalah.
Mungkin aku kamu anggap bisa mengisi kosong yang kekasihmu beri, tapi itu artinya aku akan hidup dalam bayang-bayang dia. Dan aku tidak mau seperti itu. Apabila hubungan kalian sudah hitungan tahun, artinya selama ini kamu sudah berkompromi dengan kekosongan itu. Kenapa sekarang kamu justru seperti kebakaran jenggot dengan complain bahwa dia kosong? Jangan jadikan aku sebagai alasanmu mengugat kekosongan itu.
Kamu boleh bilang bahwa mencintainya di luar nalarmu, bahwa mencintainya membuatmu menomersekiankan logika. Tapi, ketika hubungan itu bisa kamu pertahankan sampai sekarang kamu bukan lagi hidup di luar nalar, tidak lagi mengabaikan logika, kamu sudah nyaman. Nikmati kenyamanan itu, jangan kemudian berontak karena kamu pikir aku bisa menutupi kekosongan kekasihmu. Aku mungkin hadir di saat yang tidak tepat, memberikan sensasi baru yang mungkin hanya sebuah selingan.
Gambar puzzle hati di dadamu mungkin tidak penuh karena kekosongan yang menurutmu dimiliki oleh kekasihmu itu, tapi selama hatinya masih bisa mengalunkan isyarat cinta kenapa harus dipermasalahkan. Aku mungkin bisa pas dengan potongan puzzle yang belum lengkap itu, tapi aku yakin warna gambar hatinya akan berbeda, dan aku hanya akan tetap menjadi potongan puzzle. Bukan gambar hati utuh. Karenanya aku memilih untuk mundur. Aku tidak ingin cinta menjadikanku tidak adil terhadap dia. Kekasihmu.
Hujan masih menyisakan genangan air meski bau tanahnya sudah menguap. Genting masih basah setelah sesaat dicumbu rinai hujan. Basah hujan musim ini aku memutuskan untuk beranjak dari sana, dari kepingan harapan yang sebelumnya aku kembangkan. Maaf jika aku kemudian menutup akses komunikasi diantara kita. Tolong beri aku waktu untuk menyembuhkan luka, karena layaknya gerimis, kamu hanya datang sesaat. Dan dalam kesesaatannya itu kamu masih meninggalkan jejak. Jejak air mata.
Note: artikel kedua yang dimuat di book of cheat jilid 2 dan diterbitkan oleh publisher Nulis Buku
Senin, 10 Oktober 2011
Pertaruhan
Taruhan. Sudah sekian lama saya mempertaruhkan hidup saya di atas meja judi. Tidak ada kekhususan judi jenis apa yang menjadi favorit saya, karena saya hanya ingin bertaruh bukannya berjudi. Andaikan permainan anak-anak semacam galasin bisa diajadikan ajang taruhan, saya pasti sudah mempertaruhkan hidup saya disana. Menikmati ketegangan, mencari keberuntungan.
Lewat dadu yang dilempar atau kartu yang dihentak bergantian, saya mempertaruhkan hidup saya. Mengatur beragam strategi untuk mendapatkan kepuasan batin yang tergambar melalui seulas senyuman kemenangan. Saya seringkali tidak tertarik dengan hadiah utama, karena proses bagaimana jantung saya berpacu seiring dengan deru kocokan dadu atau kocokan kartu mejadi hal yang menurut saya lebih penting untuk dinikmati.
Tidak jarang saya terlewat gila, saya gadaikan tidak hanya sebagian hidup saya tapi hampir keseluruhannya. Yang tersisa mungkin hanya kepercayaan bahwa siapa tahu saya menang. Siapa tahu saya bisa memberikan hidup saya sensasi arung jeram adrenalin yang akan membuatnya lebih kuat. Tempaan-tempaan semacam ini memang saya perkenalkan pada hidup saya agar dia tidak cengeng, agar dia tahu bahwa ada rasa yang disebut dengan kekalahan.
Saya bukan Tuhan, jadi tidak selamanya saya menang. Saya sering dipaksa menyicip kalah, dan kekalahan itu akan saya nikmati dengan mengemasi hati. Beranjak dari ajang pertaruhan itu untuk menjajal arena pertaruhan baru. Bagi saya mengemasi hati bukan lagi sesuatu yang dirasa sulit, aneka pengalaman telah memberi saya awahan untuk melakukannya sesederhana menghirup udara. Memang kadang arena pertaruhannya meninggalkan jejak yang tidak mudah dihilangkan, merapat erat pada hati selayaknya lintah yang belum puas mereguk darah. Tapi saya tetap berkemas dan terus berjalan.
Waktu akan menyembuhkan. Mengikis perlahan ketidakberuntungan yang saya pernah taruhkan di meja perjudian, meski tetap akan meninggalkan sebuah ceruk seperti bopeng akibat jerawat yang digaruk paksa. Kalau sudah seperti itu maka saya akan membungkusnya dalam kristal memori untuk saya telan dan simpan di lobus khusus hati saya. Kristal bening yang bisa saya terawang isinya ketika suatu saat saya ingin bernostalgia. Bukan mengungkit, karena saya hanya melakukan wisata hati. Memutar film dokumenter yang ceritanya sudah pasti usang.
Waktu akan menyembuhkan. Memberikan kekuatan baru untuk saya mempertaruhkan hidup di arena perjudian yang berhadiah sama. Saya tidak akan pernah tahu saya menang kalau saya tidak bertaruh. Saya tidak akan pernah bisa mengklaim kalau saya seorang pecundang, apabila saya tidak menggadaikan kepercayaan saya kemudian kalah. Saya hanya menjalani hidup dengan mengecap pertaruhan demi pertaruhan, dengan harapan di salah satu ujung pertaruhan entah yang mana saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan.
Kali ini, entah untuk yang keberapa belas kali, saya pasang taruhan kemudian bermain sesuai aturan. Tidak banyak yang saya pertaruhkan, hanya segenggam hati perak kecil berisi anyaman kepercayaan yang saya inisiasi sejak lama. Sesaat sebelum saya melemparkan kocokan kartu ke landasan, saya terpejam dan berharap bahwa pertaruhan saya dengan takdir di permainan ini akan saya menangkan dan mengantarkan saya pada seseorang yang akan saya panggil jodohku.
Lewat dadu yang dilempar atau kartu yang dihentak bergantian, saya mempertaruhkan hidup saya. Mengatur beragam strategi untuk mendapatkan kepuasan batin yang tergambar melalui seulas senyuman kemenangan. Saya seringkali tidak tertarik dengan hadiah utama, karena proses bagaimana jantung saya berpacu seiring dengan deru kocokan dadu atau kocokan kartu mejadi hal yang menurut saya lebih penting untuk dinikmati.
Tidak jarang saya terlewat gila, saya gadaikan tidak hanya sebagian hidup saya tapi hampir keseluruhannya. Yang tersisa mungkin hanya kepercayaan bahwa siapa tahu saya menang. Siapa tahu saya bisa memberikan hidup saya sensasi arung jeram adrenalin yang akan membuatnya lebih kuat. Tempaan-tempaan semacam ini memang saya perkenalkan pada hidup saya agar dia tidak cengeng, agar dia tahu bahwa ada rasa yang disebut dengan kekalahan.
Saya bukan Tuhan, jadi tidak selamanya saya menang. Saya sering dipaksa menyicip kalah, dan kekalahan itu akan saya nikmati dengan mengemasi hati. Beranjak dari ajang pertaruhan itu untuk menjajal arena pertaruhan baru. Bagi saya mengemasi hati bukan lagi sesuatu yang dirasa sulit, aneka pengalaman telah memberi saya awahan untuk melakukannya sesederhana menghirup udara. Memang kadang arena pertaruhannya meninggalkan jejak yang tidak mudah dihilangkan, merapat erat pada hati selayaknya lintah yang belum puas mereguk darah. Tapi saya tetap berkemas dan terus berjalan.
Waktu akan menyembuhkan. Mengikis perlahan ketidakberuntungan yang saya pernah taruhkan di meja perjudian, meski tetap akan meninggalkan sebuah ceruk seperti bopeng akibat jerawat yang digaruk paksa. Kalau sudah seperti itu maka saya akan membungkusnya dalam kristal memori untuk saya telan dan simpan di lobus khusus hati saya. Kristal bening yang bisa saya terawang isinya ketika suatu saat saya ingin bernostalgia. Bukan mengungkit, karena saya hanya melakukan wisata hati. Memutar film dokumenter yang ceritanya sudah pasti usang.
Waktu akan menyembuhkan. Memberikan kekuatan baru untuk saya mempertaruhkan hidup di arena perjudian yang berhadiah sama. Saya tidak akan pernah tahu saya menang kalau saya tidak bertaruh. Saya tidak akan pernah bisa mengklaim kalau saya seorang pecundang, apabila saya tidak menggadaikan kepercayaan saya kemudian kalah. Saya hanya menjalani hidup dengan mengecap pertaruhan demi pertaruhan, dengan harapan di salah satu ujung pertaruhan entah yang mana saya akan mendapatkan apa yang saya inginkan.
Kali ini, entah untuk yang keberapa belas kali, saya pasang taruhan kemudian bermain sesuai aturan. Tidak banyak yang saya pertaruhkan, hanya segenggam hati perak kecil berisi anyaman kepercayaan yang saya inisiasi sejak lama. Sesaat sebelum saya melemparkan kocokan kartu ke landasan, saya terpejam dan berharap bahwa pertaruhan saya dengan takdir di permainan ini akan saya menangkan dan mengantarkan saya pada seseorang yang akan saya panggil jodohku.
Sabtu, 08 Oktober 2011
Bukan Matematika (Repost)
Semalam kami bertengkar hebat, dan rasanya setelah pertengkaran itu saya merasa gamang melihat jalan yang terpampang di depan. Saya tidak lagi yakin kemana saya akan membawa hati ini berlari, saya melihat kebuntuan.
Memang bukan sekali dua kali kami berselisih paham, tapi kejadian semalam itu rasanya berbeda. Tidak hanya koma, saya melihat titik. Saya menginderai hadirnya sebuah akhir, garis finish.
Saya mengerti benar posisi saya, saya sangat tahu diri. Karenanya dari awal saya tidak pernah banyak menuntut, tidak pernah meminta untuk ini dan itu. Tapi ternyata dia terlanjur asyik dengan kenyamanan yang tercipta, tenggelam dalam tenang suasana yang saya pilih untuk saya jalani. Bukan saya tidak ingin berkonflik, bukan saya tidak ingin sekedar melakukan konfrontasi, tapi saya lebih ke mencoba memahami posisinya yang tidak gampang. Meraba hatinya yang sedari awal sudah terbagi.
Untuk saya cinta bukan matematika. Dalam cinta tidak ada proses menghitung berapa yang sudah saya berikan kepada pasangan. Tidak ada menghitung persentase keuntungan dari saya menawarkan sebentuk hati. Tidak ada spekulasi linier bagaimana menghitung persamaan sebelah kanan agar bisa seimbang dengan persamaan sebelah kiri. Cinta itu ikhlas. Tanpa perhitungan, tanpa angka.
Tapi semalam dia memaksa saya menghitung. Semalam dia memojokkan saya sehingga saya dipaksa seperti membuat list laporan pengeluaran bulanan. Saya mendetailkan apa yang sudah saya korbankan. Saya merinci apa-apa yang hati saya sudah belanjakan sekedar untuk berjalan beriringan dengannya yang tidak lagi sendiri. Saya menghitung berapa banyak kerugian yang saya raup semenjak dulu saya berkata iya.
Salahkah ketika saya meminta perhatian lebih? Salahkah ketika saya meminta waktu yang lebih lama untuk berdua? Saya ingin apa yang kami jalani berkualitas meskipun berjalan di acuan yang mungkin salah. Saya hanya ingin dimengerti bahwa meskipun mungkin saya marginal tapi saya juga punya perasaan yang perlu dipertimbangkan.
Posisi saya selamanya akan seperti yang dia bilang tadi malam, selalu salah. Ketika saya banyak menuntut maka hukumnya adalah salah. Dia bilang saya sudah berkomitmen dengan segala konsekuensi yang saya tahu dari awal, jadi menuntut lebih hanya akan membuat saya seperti mengingkari komitmen yang sudah saya sepakati dengan hati saya sendiri.
Saya sadar, mencintai dia menimbulkan banyak polemik. Menyebabkan banyak konflik. Tapi bukan berarti kalau hanya saya yang harus mengerti, dia juga harus memahami. Menyelami hati saya yang sudah berkomitmen dengan statusnya. Tapi mungkin memang sudah saatnya saya untuk berjalan mundur, meninggalkan jejak keambiguan yang dia ciptakan. Saya harus pintar membaca banyak pertanda, dan mungkin ini tanda kalau memang hubungan ini harus segera diterminasi.
Semalam kami bertengkar hebat. Dan ketika dia berlalu sambil membanting pintu, jangan harap saya akan membukanya kembali. Cukuplah bagi saya dipaksa menghitung cinta yang sesungguhnya bukan matematika.
Note: Direpost karena tulisan ini baru saja dimuat di book of cheat jilid 1 yang akan diterbitkan oleh publisher Nulis Buku
Memang bukan sekali dua kali kami berselisih paham, tapi kejadian semalam itu rasanya berbeda. Tidak hanya koma, saya melihat titik. Saya menginderai hadirnya sebuah akhir, garis finish.
Saya mengerti benar posisi saya, saya sangat tahu diri. Karenanya dari awal saya tidak pernah banyak menuntut, tidak pernah meminta untuk ini dan itu. Tapi ternyata dia terlanjur asyik dengan kenyamanan yang tercipta, tenggelam dalam tenang suasana yang saya pilih untuk saya jalani. Bukan saya tidak ingin berkonflik, bukan saya tidak ingin sekedar melakukan konfrontasi, tapi saya lebih ke mencoba memahami posisinya yang tidak gampang. Meraba hatinya yang sedari awal sudah terbagi.
Untuk saya cinta bukan matematika. Dalam cinta tidak ada proses menghitung berapa yang sudah saya berikan kepada pasangan. Tidak ada menghitung persentase keuntungan dari saya menawarkan sebentuk hati. Tidak ada spekulasi linier bagaimana menghitung persamaan sebelah kanan agar bisa seimbang dengan persamaan sebelah kiri. Cinta itu ikhlas. Tanpa perhitungan, tanpa angka.
Tapi semalam dia memaksa saya menghitung. Semalam dia memojokkan saya sehingga saya dipaksa seperti membuat list laporan pengeluaran bulanan. Saya mendetailkan apa yang sudah saya korbankan. Saya merinci apa-apa yang hati saya sudah belanjakan sekedar untuk berjalan beriringan dengannya yang tidak lagi sendiri. Saya menghitung berapa banyak kerugian yang saya raup semenjak dulu saya berkata iya.
Salahkah ketika saya meminta perhatian lebih? Salahkah ketika saya meminta waktu yang lebih lama untuk berdua? Saya ingin apa yang kami jalani berkualitas meskipun berjalan di acuan yang mungkin salah. Saya hanya ingin dimengerti bahwa meskipun mungkin saya marginal tapi saya juga punya perasaan yang perlu dipertimbangkan.
Posisi saya selamanya akan seperti yang dia bilang tadi malam, selalu salah. Ketika saya banyak menuntut maka hukumnya adalah salah. Dia bilang saya sudah berkomitmen dengan segala konsekuensi yang saya tahu dari awal, jadi menuntut lebih hanya akan membuat saya seperti mengingkari komitmen yang sudah saya sepakati dengan hati saya sendiri.
Saya sadar, mencintai dia menimbulkan banyak polemik. Menyebabkan banyak konflik. Tapi bukan berarti kalau hanya saya yang harus mengerti, dia juga harus memahami. Menyelami hati saya yang sudah berkomitmen dengan statusnya. Tapi mungkin memang sudah saatnya saya untuk berjalan mundur, meninggalkan jejak keambiguan yang dia ciptakan. Saya harus pintar membaca banyak pertanda, dan mungkin ini tanda kalau memang hubungan ini harus segera diterminasi.
Semalam kami bertengkar hebat. Dan ketika dia berlalu sambil membanting pintu, jangan harap saya akan membukanya kembali. Cukuplah bagi saya dipaksa menghitung cinta yang sesungguhnya bukan matematika.
Note: Direpost karena tulisan ini baru saja dimuat di book of cheat jilid 1 yang akan diterbitkan oleh publisher Nulis Buku
Rabu, 05 Oktober 2011
KARAM
Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Bukankah semua jembatan sudah aku jajal?
Mungkin memang perlahan
Tapi setidaknya aku sampai di ujung pandangan
Waktu bergerak ibarat anak panah yang melesat
Lewat busur yang meregang dia terlontar tak bisa dihalang
Mengantarkan aku pada satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya
Setia mengikutiku yang kadang berlari tapi seringnya terpapah
Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Ratusan perahu alang-alang sudah aku larung ke lautan
Meskipun tidak ada satupun yang kembali pulang
Aku tetap berdiri menunggu di tepian
Karam,
Sepertinya mereka karam sebelum bertemu dengan daratan
Atau jangan-jangan justru tenggelam sesaat setelah mereka terlepas dari tangan
Dihempas angin yang berputar-putar di atas buritan
Mataku terpejam
Sebait pujian aku nyanyikan kepada pencipta alam
Kalau itu masih dirasa kurang
Tak ragu akan aku tarikan sebuah ritual mirip upacara seserahan
Kudengar bisikan yang datang menunggang kepiluan
Dia membewarakan bahwa benar semuanya sudah karam
Membentur karang di negeri seberang
Tercerai dari harap yang aku ucap dalam bimbang
Aku kecewa tentu saja
Bagaimana bisa alam membelot dari titah sang raja
Kuludahi langit sebagai bentuk tidak terima
Kurapal serapah untuk menunjukan angkara
Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Haruskah menunggu bangkai perahu alang-alang itu terkubur di dasar lautan?
Atau aku harus meronce lagi satu demi satu harapan?
Yang mungkin akhirnya juga akan tetap karam
Karam, kau buat aku hidup dalam penyesalan.
Bukankah semua jembatan sudah aku jajal?
Mungkin memang perlahan
Tapi setidaknya aku sampai di ujung pandangan
Waktu bergerak ibarat anak panah yang melesat
Lewat busur yang meregang dia terlontar tak bisa dihalang
Mengantarkan aku pada satu pemberhentian ke pemberhentian berikutnya
Setia mengikutiku yang kadang berlari tapi seringnya terpapah
Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Ratusan perahu alang-alang sudah aku larung ke lautan
Meskipun tidak ada satupun yang kembali pulang
Aku tetap berdiri menunggu di tepian
Karam,
Sepertinya mereka karam sebelum bertemu dengan daratan
Atau jangan-jangan justru tenggelam sesaat setelah mereka terlepas dari tangan
Dihempas angin yang berputar-putar di atas buritan
Mataku terpejam
Sebait pujian aku nyanyikan kepada pencipta alam
Kalau itu masih dirasa kurang
Tak ragu akan aku tarikan sebuah ritual mirip upacara seserahan
Kudengar bisikan yang datang menunggang kepiluan
Dia membewarakan bahwa benar semuanya sudah karam
Membentur karang di negeri seberang
Tercerai dari harap yang aku ucap dalam bimbang
Aku kecewa tentu saja
Bagaimana bisa alam membelot dari titah sang raja
Kuludahi langit sebagai bentuk tidak terima
Kurapal serapah untuk menunjukan angkara
Kalau tidak sekarang lantas kapan?
Haruskah menunggu bangkai perahu alang-alang itu terkubur di dasar lautan?
Atau aku harus meronce lagi satu demi satu harapan?
Yang mungkin akhirnya juga akan tetap karam
Karam, kau buat aku hidup dalam penyesalan.
Senin, 03 Oktober 2011
Laki-laki dan Seorang Bocah
Bocah itu menangis sesenggukan, seakan kesakitan yang baru saja dia rasakan tidak lagi terperi. Bahkan apabila ada orang lain yang melihatnya, mereka bisa langsung merasakan apa yang bocah itu rasakan, seperti menyilet pergelangan tangan sendiri dengan potongan parut yang tidak sesuai dengan bentuk anatomi ototnya. Luka perih yang berantakan.
Pikiran kanak-kananknya sebetulnya tidak bisa dengan jelas mencerna apa yang baru saja dia rasakan. Pengalaman baru yang mungkin sebetulnya tidak ingin dia alami apabila situasi sedikit saja lebih berpihak kepada keberuntungan hidupnya. Sayang, sepertinya jalan cerita yang telah dipilihkan untuk dia lakoni mengharuskannya mengecap pedih. Lewat tangan kecilnya dia menjamah sesuatu yang diluar kendalinya.
Bocah itu teraniaya. Bocah tanpa dosa itu terluka.
Seorang laki-laki setia menemani bocah itu melewati segala macam kepedihan, seperti pasangan sejiwa mereka tidak bisa terpisahkan. Laki-laki itu jatuh kasihan kepada bocah yang seharusnya tidak pernah mengalami kepahitan yang membuat hidupnya berdarah. Laki-laki itu seperti sosok seorang kakak yang selalu hadir ketika bocah itu membutuhkan lawan bicara, atau setidaknya menjelma menjadi sepasang telinga yang rela mendengarkan setiap perih yang terapal dari mulut sang bocah yang tanpa cela.
Mereka bersahabat. Laki-laki itu menjadi saksi bagaimana nista menyambangi si bocah ketika dia diberondong tak berdaya. Laki-laki itu bagai kumpulan naskah yang menampung air mata sang bocah saat dia berjalan terseok di tengah keterpurukannya. Laki-laki itu seperti layar hitam putih yang kapanpun bisa memutar film yang mengejawantahkan si bocah tanpa ada bagian yang terlewat dan keliru. Mereka bersinergi sedemikian kuat dan sempurna.
Seiring waktu, bocah itu tetap menjadi seorang pesakitan. Seorang anak kecil yang tidak lantas bisa memberangus semua hal yang pernah menimpanya sampai gamang. Dan laki-laki itu gagal membebaskan si bocah dari kelam masa lalu, laki-laki itu justru tanpa disadari seperti memberi pupuk dan wahana yang mempersubur perasaan sakit yang tetap dirasakan si bocah. Tanpa sadar, laki-laki itu membiarkan si bocah tetap duduk menangis di pojokan serta meratapi dan menyesali kejadian yang dia kutuki sepanjang hidupnya. Laki-laki itu bertahan, si bocah tidak terbebaskan.
Sebetulnya laki-laki itu tahu apa yang harus dia lakukan. Membukakan pasungan si bocah dengan memberinya pengertian untuk memaafkan dan bergerak melupakan. Memang semua noda yang telah tergambar tidak akan dengan mudah dihilangkan dalam sekali usapan, tapi berdamai dengan diri sendiri termasuk memaafkan orang yang telah meneteskan noda dalam hidup si bocah lambat laun pasti akan membebaskan. Mengikis masa lalunya yang temaram.
Tidak ada untungnya memelihara kesakitan si bocah, meskipun sampai sekarang laki-laki itu masih sering ikut menangis mengiringi kepedihan yang bocah itu dendangkan. Laki-laki itu setia melindungi si bocah dengan cara yang salah. Membiarkannya terus meratapi noktah-noktah luka yang menggerogoti batin sampai kopong. Membiarkan bocah itu mengutuki dan mempersalahkan dirinya sendiri atas apa yang pernah terjadi. Membuatnya tetap berpikir bahwa si bocah terlalu lemah dan menyesali kelemahannya itu sampai mati.
Memaafkan dan melupakan adalah dua kunci yang akan membebaskannya dari trauma yang sepanjang hidupnya membayangi tak berhenti. Mungkin sekaranglah saatnya laki-laki itu membebaskan bocah yang hidup di dalam tubuhnya dari pasung nista dengan cara berdamai dengan diri sendiri.
Note: ditulis untuk seorang sahabat di luar sana yang terus menderita akibat trauma masa lalunya yang berkepanjangan. Seperti apapun kamu, saya akan tetap menemanimu dan akan berusaha selalu hadir setiap kamu butuhkan. Kapanpun.
Pikiran kanak-kananknya sebetulnya tidak bisa dengan jelas mencerna apa yang baru saja dia rasakan. Pengalaman baru yang mungkin sebetulnya tidak ingin dia alami apabila situasi sedikit saja lebih berpihak kepada keberuntungan hidupnya. Sayang, sepertinya jalan cerita yang telah dipilihkan untuk dia lakoni mengharuskannya mengecap pedih. Lewat tangan kecilnya dia menjamah sesuatu yang diluar kendalinya.
Bocah itu teraniaya. Bocah tanpa dosa itu terluka.
Seorang laki-laki setia menemani bocah itu melewati segala macam kepedihan, seperti pasangan sejiwa mereka tidak bisa terpisahkan. Laki-laki itu jatuh kasihan kepada bocah yang seharusnya tidak pernah mengalami kepahitan yang membuat hidupnya berdarah. Laki-laki itu seperti sosok seorang kakak yang selalu hadir ketika bocah itu membutuhkan lawan bicara, atau setidaknya menjelma menjadi sepasang telinga yang rela mendengarkan setiap perih yang terapal dari mulut sang bocah yang tanpa cela.
Mereka bersahabat. Laki-laki itu menjadi saksi bagaimana nista menyambangi si bocah ketika dia diberondong tak berdaya. Laki-laki itu bagai kumpulan naskah yang menampung air mata sang bocah saat dia berjalan terseok di tengah keterpurukannya. Laki-laki itu seperti layar hitam putih yang kapanpun bisa memutar film yang mengejawantahkan si bocah tanpa ada bagian yang terlewat dan keliru. Mereka bersinergi sedemikian kuat dan sempurna.
Seiring waktu, bocah itu tetap menjadi seorang pesakitan. Seorang anak kecil yang tidak lantas bisa memberangus semua hal yang pernah menimpanya sampai gamang. Dan laki-laki itu gagal membebaskan si bocah dari kelam masa lalu, laki-laki itu justru tanpa disadari seperti memberi pupuk dan wahana yang mempersubur perasaan sakit yang tetap dirasakan si bocah. Tanpa sadar, laki-laki itu membiarkan si bocah tetap duduk menangis di pojokan serta meratapi dan menyesali kejadian yang dia kutuki sepanjang hidupnya. Laki-laki itu bertahan, si bocah tidak terbebaskan.
Sebetulnya laki-laki itu tahu apa yang harus dia lakukan. Membukakan pasungan si bocah dengan memberinya pengertian untuk memaafkan dan bergerak melupakan. Memang semua noda yang telah tergambar tidak akan dengan mudah dihilangkan dalam sekali usapan, tapi berdamai dengan diri sendiri termasuk memaafkan orang yang telah meneteskan noda dalam hidup si bocah lambat laun pasti akan membebaskan. Mengikis masa lalunya yang temaram.
Tidak ada untungnya memelihara kesakitan si bocah, meskipun sampai sekarang laki-laki itu masih sering ikut menangis mengiringi kepedihan yang bocah itu dendangkan. Laki-laki itu setia melindungi si bocah dengan cara yang salah. Membiarkannya terus meratapi noktah-noktah luka yang menggerogoti batin sampai kopong. Membiarkan bocah itu mengutuki dan mempersalahkan dirinya sendiri atas apa yang pernah terjadi. Membuatnya tetap berpikir bahwa si bocah terlalu lemah dan menyesali kelemahannya itu sampai mati.
Memaafkan dan melupakan adalah dua kunci yang akan membebaskannya dari trauma yang sepanjang hidupnya membayangi tak berhenti. Mungkin sekaranglah saatnya laki-laki itu membebaskan bocah yang hidup di dalam tubuhnya dari pasung nista dengan cara berdamai dengan diri sendiri.
Note: ditulis untuk seorang sahabat di luar sana yang terus menderita akibat trauma masa lalunya yang berkepanjangan. Seperti apapun kamu, saya akan tetap menemanimu dan akan berusaha selalu hadir setiap kamu butuhkan. Kapanpun.
Langganan:
Postingan (Atom)