Halaman

Selasa, 07 April 2009

Lega, tapi Kenapa Sedih


Tidak bermaksud bangga dengan apa yang terjadi, tidak bermaksud sombong dengan konsistensi perasaan sesorang terhadap gue, dan tidak ada tujuan untuk mendeskreditkan dia, yang dengan sangat indah mereflesikan rasa sayangnya meskipun pada orang yang salah, waktu yang salah. Hanya sekedar membuatnya menjadi sebuah testimoni perjalanan hidup gue.

Beberapa hari lalu, gue dapet email dari si anak kecil yang suka sama gue itu (iyah, dia juga punya alamat email gue, entah dari mana). Dan tanpa maksud apapun, gue memposting sedikit petikan isi emailnya dia.

Dear apisindica,

Rasanya nggak perlu meminta maaf untuk semua yang sudah aku lakukan, karena menurutku itu bukan suatu kesalahan, jadi untuk apa meminta maaf. Berjuang untuk sesuatu yang kita yakini benar adanya adalah suatu proses dan dalam berproses itu kesalahan bisa diabaikan, jadi kembali aku tekankan, aku tidak akan meminta maaf karena telah memperjuangkan cinta.

Mungkin selama ini aku berjuang melebihi batas kewajaran, mengambil langkah yang terlalu berani, mengekspresikan perasaan dengan cara yang terlalu brutal. Sehingga aku kini sadar bahwa semua yang aku lakukan justru membuatmu menjauh, membuatku justru kehilangan kesempatan mengenalmu lebih banyak. Ah sudahlah, aku tak perlu menyesal karena memang perjuangan tak perlu disesali dan kamupun tak perlu meminta maaf untuk ketidakpedulianmu padaku.

Ketika malam-malam aku berpikir dan mempertanyakan kenapa kamu begitu sangat tidak peduli padaku, aku sampai pada suatu kesimpulan bahwa kamu memang tidak menyukaiku. Jangankan menyukaiku, belajar untuk mengenalku dengan benar saja rasanya kamu tidak mau. Kalau sudah begitu aku mau apa? Sekuat apapun aku berusaha tetapi kalau kamu tetap di jalurmu aku tak bisa bergerak, aku membatu di tengah perasaan tandus. Tidak berarti apa-apa. Sebenarnya aku sedih. Tapi aku bisa apa?!

Beberapa hari yang lalu, ada seseorang yang menelponku, menyuruhku untuk menjauh darimu. Dia mengaku kalau dia itu pacarmu. Aku tertawa dalam getir, dalam perasaan antara ingin percaya dan ingin buta rasa. Ketika akal sehat memaksaku untuk mempercayainya, maka yang kudapat hanyalah sepi. Tapi ketika egois mengajarkanku untuk buta rasa, aku benar-benar tak peduli kalau kamu memang sudah punya seseorang. Yang aku lakukan adalah terus berharap agar kamu meyakini bahwa kamu hanya terlanjur menjatuhkan pilihan. Coba kamu mengenalku lebih awal, ceritanya pasti lain. Perang batin itu hanya membuatku merasa kerdil.

Sekarang aku sudah membuat keputusan. Aku akan mundur, tapi untuk sementara. Aku akan berjuang lagi ketika kamu sudah sendirian. Dan aku minta kepadamu, kabari aku ketika waktu itu tiba. Aku akan tetap menjadi aku yang sama, mengharapmu.

-aku-


Selesai baca surat itu gue seperti mendengar hati gue robek. Rasa sedih tiba-tiba menyelusup di rongga dada. Gue lega tapi sedih

Note: isi emailnya gue edit soalnya panjang banget aslinya

Tidak ada komentar: