“Yang kumaksud skizofrenia adalah sebuah situasi saat kita memiliki dualitas kesadaran, dualitas persepsi, dualitas keyakinan. Ketika kita berpijak di titik hitam tetapi sebenarnya kesadaran kita putih, disitulah kita mengidap skizofrenia. Kita beribadah jungkir balik bersujud kepada Tuhan mengucurkan air mata kita dengan sikap yang (seolah-olah) putih, sementara di waktu yang lain kita melakukan tindakan-tindakan yang sangat “hitam”. Beragama tetapi jahat; tersenyum, tetapi membunuh, serigala berbulu domba!”
(Fadh Djibran, Skizofrenia : A Cat In My Eyes. 2008).
Aku berulang kali membaca salah satu paragraf dari cerpen tersebut. Semakin sering kuulang membacanya maka semakin keras tamparan yang aku rasakan. Panas. Tamparan-tamparan itu tidak hanya aku rasakan di pipi, tapi juga di hati. Membuatku kemudian berfikir dan mati rasa.
Apakah selama ini aku menderita skizofrenia? Karena apa yang Fadh tulis dalam cerpennya itu semuanya aku alami. Memiliki dualitas kesadaran, persepsi dan keyakinan. Semuanya pernah bahkan sampai saat ini masih aku rasakan. Aku kadang berfikir aku sangat baik padahal di lain sisi aku sangat jahat dengan menghalalkan segala cara demi mencapai suatu tujuan. Bukankah itu dualitas yang dimaksudkan Fadh.
Yang lebih parah adalah mengenai dualitas keyakinan. Jungkir balik ibadah untuk mendapatkan ridha Tuhan, tapi ketika ritualitas ibadah itu selesai dikerjakan, aku kembali berenang dalam “kenikmatan” dosa yang sebenarnya juga aku tahu kalau itu adalah dosa. Seakan hidup hanya menyeimbangkan takaran antara ibadah dan dosa sehingga timbul harapan ketika di akhirat ada perhitungan perbuatan, timbangan kita tidak berat sebelah ke kiri atau ke kanan. Kuantitas ibadah kita sama dengan kuantitas dosa. Itu yang sering aku lakukan. Lantas apakah aku menderita skizofrenia?
Terlepas apakah ketika memiliki dualitas itu digolongkan kedalam skizofrenia atau bukan, aku lebih senang menyebut diriku munafik terhadap Tuhan. Tuhan yang aku sambangi paling sedikit 5 kali dalam sehari, bahkan lebih ketika ada hal yang tak bisa aku adukan pada seorang karib sekalipun. Aku menyambangi Tuhan, tapi seringnya disaat yang sama aku juga menodai kepercayaannya dengan melakukan dosa. Dosa yang dengan semangatnya aku reguk dari cawan buatan setan. Dan itu sering, bukan hanya sekali dua kali. Itu yang aku maksud munafik.
Tak jarang sifat munafikku terhadap Tuhan kulakukan hampir bersamaan. Setelah selesai aku menyambanginya, memohon pertolongannya, aku langsung melakukan dosa besar lagi yang pastinya sangat dimurkainya. Bahkan tanpa sempat aku menanggalkan baju koko yang kupakai untuk menemuinya. Bukankah itu munafik? Bukankah itu dualitas yang menggolongkan aku menjadi penderita skizofrenia menurut Fadh.
Tuhan, ketika aku hidup dalam dualitas seperti sekarang ini apakah karena aku memang tidak Engkau beri pilihan? Atau Engkau sesungguhnya sudah memberiku banyak pilihan, tapi aku selalu memilih jalan yang salah, langkah yang keliru? Ketika kemudian aku marah, pada siapa aku harus marah? Kepada siapa aku harus mengugat? Kepada lingkungan? Kepada alam? Yang jelas, aku tak akan pernah Mengugat Mu. Kenapa? Karena aku yakin bahwa sebenarnya dualitas itu adalah suatu pilihan. Kembali aku yang selalu salah memilih.
Skizofrenia atau hanya munafik hanya Engkau yang bisa menilainya duhai Tuhan. Aku kerdil di hadapan Mu. Berilah aku kesempatan untuk selalu memilih yang benar meskipun dosa itu lebih manis rasanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar