Kemanakah harus kucari rindu?
Sejengkal demi sejengkal aku menyusuri pematang perasaan
yang sudah sekian lama terbentuk lewat kisah-kisah yang tertoreh. Tapi tidak
ada. Kuulangi lagi dari awal. Kali ini lebih teliti, tidak ingin ceroboh
sehingga tidak bisa menemukan sesuatu yang harusnya ada. Nihil. Tetap tidak
ada.
Kemanakah harus kucari rindu?
Kuberlari ke setiap sudutan. Menyisir perlahan setiap celah
yang mungkin padanya terselip selembar rasa rindu. Tidak ada. Kubuka semua
jendela, berharap angin akan menerbangkan apa yang bersembunyi di dalam
para-para. Siapa tahu rindu bersembunyi di sana. Di dalam gelap pengap tanpa bisa
lagi dirasa keberadaannya. Tetap tidak ada. Sia-sia.
Apakah rindu sudah menjadi bangkai? Tapi harusnya bangkai
mengeluarkan aroma. Meninggalkan alur jejak yang bisa ditelusuri bahkan sambil
memejamkan mata. Apakah rindu sudah menguap ke udara? Tapi kenapa? Tidak inginkah
dia berpamitan kepada sang tuan jika ingin terbang dan menghilang kembali
kepada sang muasal? Kemana perginya rindu? Tanpa tapak langkah dia pergi tak
berjejak. Hilang ditelan ribuan kilo jarak yang terbentang.
Mungkin aku sedemikian mandirinya, bahkan rindu dirasa tidak
lagi penting untuk dipelihara. Mungkin aku terlalu sibuk, melogikakan semua
yang harus dicerna di dalam kepala sehingga puluhan drama yang dulu begitu
sangat dipuja dilewatkannya begitu saja. Entahlah.
Kemanakah harus kucari rindu?
Lewat udara musim semi yang masih seringkali dingin aku
mencari pembenaran. Memperpanjang episode ketika perasaan sudah berhenti untuk
sekedar berjuang, hanya akan memperberat kesakitan. Menambah jumlah
kepura-puraan hanya akan membuat suatu hubungan menjadi keropos tidak lagi bisa
ditambal sulam. Aku memutuskan untuk
berhenti berjuang. Dalih demi kebaikan mungkin terdengar klise dan berlebihan.
Tapi ini kenyataan. Memelihara hubungan dalam keadaan hambar hanya seolah memicu
bom waktu yang sedang bergerak mundur menjadi meloncat dua sampai tiga hitungan
lebih cepat.
Aku sudah mencoba bertahan. Menambah kayu bakar pada
perapian yang menjelang padam. Masih ada bara di sana, tapi ternyata tidak
cukup besar untuk membakar kayu dan menghangatkan ruang rindu yang digigilkan
musim dingin yang tidak pernah panjang. Aku mencoba lebih keras, terkadang
memanggangkan badan dengan harapan bara menyala lebih besar. Merubahnya jadi
api yang tidak hanya bisa membakar tapi berpendar menghangatkan. Kemudian aku
sadar. Aku gagal.
Kemanakah harus kucari rindu?
Bahkan ketika tidak ada pemeran ketiga rasa itu hilang tak
berbekas. Tidak meninggalkan kenangan yang hampir 4 tahun dipapah bersamaan.
Aku mungkin yang salah, tapi aku tidak ingin jadi lebih keliru. Berupura-pura
memang bisa dilakukan, tapi sampai kapan? Bersandiwara bisa saja jadi sebuah
pilihan, tapi apa yang akan kita dapatkan? Tidak ada kecuali kesakitan yang
semakin bertambah ketika nanti akhirnya kita harus saling menjelaskan.
Aku meminta maaf karena telah gagal. Gagal membawa hubungan
yang sudah sedemikian jauh tetap berada di zona nyaman. AKu bahkan gagal
menemukan kemana rindu yang dulu selalu terbakar bahkan ketika tidak ada api
sekalipun. Aku gagal. Tapi aku tidak ingin jadi pecundang yang menunggang
kebohongan. Lebih baik aku berkata jujur sekarang daripada ketahuan
bersandiwara belakangan.
Hari ini, aku, kamu, memutuskan. Tidak ada lagi cerita di
antara kita. Kita menyudahi peran kita masing-masing dalam sebuah lakon yang
dulunya diberi judul masa depan. Masa depan yang semakin kabur setiap digerus
putaran waktu. Kita menyudahkan. Menamatkan rasa yang sudah tidak lagi
berwarna.
Kemanakah harus kucari rindu?
Sepertinya tidak perlu lagi mencari karena kita sudah ikhlas
melarungnya ke lautan. Membiarkannya menyatu dengan buih-buih kenangan yang
bisa diingat di masa yang akan datang.
Terima kasih sudah pernah menjadi bagian terpenting dalam
hidup seorang Apisindica. Semoga sekarang kita bisa sekedar berteman.
Wageningen, 30 Mei 2016.