Halaman

Rabu, 25 Januari 2017

Cemburu

Ajarkan aku apa itu cemburu. Perasaan yang berkecamuk tidak karuan seumpama taufan yang menghantam apapun yang ada di hadapan. Perasaan ketika sebuah perasaan menang perlahan-lahan runtuh, tercerai berai menjadi serpihan. Perasaan ketika sudah merasa berjalan jauh ke depan tetapi ternyata tertarik kembali ke dalam pusaran oleh sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.

Harusnya aku tidak cemburu. Tidak ada alasan untukku berlaku begitu. Siapa aku dan siapa dia tidak lagi dibingkai dalam sebuah kesamaan semesta. Sekarang aku adalah aku dan dia adalah dia. Berbeda. Tidak lagi berjalan di setapak yang dulu dipapah bersamaan bahkan ketika hujan selalu datang di setiap kesempatan. Aku adalah aku dan dia adalah dia. Tidak lagi sama, tidak lagi bisa disebut saling melengkapkan.

Dari mana datangnya api itu? Bahkan perasaan sayang sudah sedemikian lama padam. Jangan-jangan masih ada setitik nyala yang kemudian berubah menjadi bara, membakar penggalan-penggalan kisah yang sudah berubah menjadi sekam.


Ajarkan aku apa itu cemburu. Apakah perasaan seperti ini ketika seorang mantan menjalin hubungan dengan seseorang yang lebih dari seorang teman? 

Selasa, 31 Mei 2016

Kemanakah harus kucari rindu?

Kemanakah harus kucari rindu?

Sejengkal demi sejengkal aku menyusuri pematang perasaan yang sudah sekian lama terbentuk lewat kisah-kisah yang tertoreh. Tapi tidak ada. Kuulangi lagi dari awal. Kali ini lebih teliti, tidak ingin ceroboh sehingga tidak bisa menemukan sesuatu yang harusnya ada. Nihil. Tetap tidak ada.

Kemanakah harus kucari rindu?

Kuberlari ke setiap sudutan. Menyisir perlahan setiap celah yang mungkin padanya terselip selembar rasa rindu. Tidak ada. Kubuka semua jendela, berharap angin akan menerbangkan apa yang bersembunyi di dalam para-para. Siapa tahu rindu bersembunyi di sana. Di dalam gelap pengap tanpa bisa lagi dirasa keberadaannya. Tetap tidak ada. Sia-sia.

Apakah rindu sudah menjadi bangkai? Tapi harusnya bangkai mengeluarkan aroma. Meninggalkan alur jejak yang bisa ditelusuri bahkan sambil memejamkan mata. Apakah rindu sudah menguap ke udara? Tapi kenapa? Tidak inginkah dia berpamitan kepada sang tuan jika ingin terbang dan menghilang kembali kepada sang muasal? Kemana perginya rindu? Tanpa tapak langkah dia pergi tak berjejak. Hilang ditelan ribuan kilo jarak yang terbentang.

Mungkin aku sedemikian mandirinya, bahkan rindu dirasa tidak lagi penting untuk dipelihara. Mungkin aku terlalu sibuk, melogikakan semua yang harus dicerna di dalam kepala sehingga puluhan drama yang dulu begitu sangat dipuja dilewatkannya begitu saja. Entahlah.

Kemanakah harus kucari rindu?

Lewat udara musim semi yang masih seringkali dingin aku mencari pembenaran. Memperpanjang episode ketika perasaan sudah berhenti untuk sekedar berjuang, hanya akan memperberat kesakitan. Menambah jumlah kepura-puraan hanya akan membuat suatu hubungan menjadi keropos tidak lagi bisa  ditambal sulam. Aku memutuskan untuk berhenti berjuang. Dalih demi kebaikan mungkin terdengar klise dan berlebihan. Tapi ini kenyataan. Memelihara hubungan dalam keadaan hambar hanya seolah memicu bom waktu yang sedang bergerak mundur menjadi meloncat dua sampai tiga hitungan lebih cepat.

Aku sudah mencoba bertahan. Menambah kayu bakar pada perapian yang menjelang padam. Masih ada bara di sana, tapi ternyata tidak cukup besar untuk membakar kayu dan menghangatkan ruang rindu yang digigilkan musim dingin yang tidak pernah panjang. Aku mencoba lebih keras, terkadang memanggangkan badan dengan harapan bara menyala lebih besar. Merubahnya jadi api yang tidak hanya bisa membakar tapi berpendar menghangatkan. Kemudian aku sadar. Aku gagal.

Kemanakah harus kucari rindu?

Bahkan ketika tidak ada pemeran ketiga rasa itu hilang tak berbekas. Tidak meninggalkan kenangan yang hampir 4 tahun dipapah bersamaan. Aku mungkin yang salah, tapi aku tidak ingin jadi lebih keliru. Berupura-pura memang bisa dilakukan, tapi sampai kapan? Bersandiwara bisa saja jadi sebuah pilihan, tapi apa yang akan kita dapatkan? Tidak ada kecuali kesakitan yang semakin bertambah ketika nanti akhirnya kita harus saling menjelaskan.

Aku meminta maaf karena telah gagal. Gagal membawa hubungan yang sudah sedemikian jauh tetap berada di zona nyaman. AKu bahkan gagal menemukan kemana rindu yang dulu selalu terbakar bahkan ketika tidak ada api sekalipun. Aku gagal. Tapi aku tidak ingin jadi pecundang yang menunggang kebohongan. Lebih baik aku berkata jujur sekarang daripada ketahuan bersandiwara belakangan.

Hari ini, aku, kamu, memutuskan. Tidak ada lagi cerita di antara kita. Kita menyudahi peran kita masing-masing dalam sebuah lakon yang dulunya diberi judul masa depan. Masa depan yang semakin kabur setiap digerus putaran waktu. Kita menyudahkan. Menamatkan rasa yang sudah tidak lagi berwarna.

Kemanakah harus kucari rindu?

Sepertinya tidak perlu lagi mencari karena kita sudah ikhlas melarungnya ke lautan. Membiarkannya menyatu dengan buih-buih kenangan yang bisa diingat di masa yang akan datang.

Terima kasih sudah pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup seorang Apisindica. Semoga sekarang kita bisa sekedar berteman.

Wageningen, 30 Mei 2016.  



Senin, 04 Januari 2016

Harapan Awal Tahun

Alhamdulillah tahun 2015 sudah berlalu. Tahun penuh suka cita bagi seorang Apisindica. Bagaimana tidak, tahun 2015 adalah tahun dimana saya akhirnya dapat merealisasi mimpi masa lalu saya. Mimpi yang selalu didengungkan di setiap kesempatan, bahkan sejak Apis kecil ditanya kalau besar ingin menjadi apa. Apis polos selalu menjawab bahwa  dia ingin sekolah ke Eropa. Mimpi muluk-muluk mungkin bagi seorang anak kecil yang hanya mengenal Eropa perantaraan peta dunia.

Iya, tahun 2015 akhirnya saya memulai babak baru dalam hidup saya. Berada jauh dari rumah, dari keluarga, dari pasangan jiwa, untuk sesuatu yang disebut dengan cita-cita. Bulan Mei tepatnya, tanggal 1 seorang Apisindica kembali menginjakkan kaki di Belanda. Usia tidak lagi muda seperti dahulu kala, tapi semangat tetap membara. Tidak lagi banyak harapan yang dilukis di dalam kepala seperti ketika pertama kali menginjakan kaki di sini lagi, tidak seperti beberapa tahun ke belakang ketika banyak harapan yang terkembang dalam angan.

Saya tidak lagi muda, tidak lagi muluk-muluk seperti saat darah muda yang keras terpompa saat untuk pertama kalinya menginjakan kaki di Belanda 12 tahun silam. Kali ini saya hanya ingin sekolah, tidak lagi mengembarakan hati. Apalagi ada seseorang yang sudah menanti di ujung janji.

Ternyata sekolah kali ini tidak seperti yang saya bayangkan. Tidak pernah ada yang bilang kalau ini akan mudah, tapi saya juga tidak pernah membayangkan kalau akan sesukar ini. Entah karena putaran usia yang sudah saya jalani sehingga otak sudah sedemikian bebal dan berkarat, atau memang saya tidak sepandai apa yang saya bayangkan. Terseok-seok saya mengikuti sistem pendidikan ala Belanda yang kenapa sekarang menjadi sangat susah. Dulu rasanya mudah-mudah saja. Kuliah yang benar maka hasilnya akan seperti yang diharapkan. Tapi sekarang tidak lagi, kuliah yang benar saja tidak cukup. Perlu kerja keras ekstra. Perlu banyak panjatan doa.

Semua berproses, karena tidak pernah ada yang bilang kalau ini akan mudah maka kemudian saya menjalani sebisa-bisa saja. Tetap bekerja keras tentu saja karena saya dibayang-bayangi ketakutan akan dipulangkan sebelum saya menjejak akhiran. Ketakutan kalau orang-orang yang sudah memberikan saya banyak kepercayaan akhirnya kecewa dengan hasil yang saya berikan. Karenanya lagi-lagi saya memperbanyak rapalan doa.

Tahun 2015 tahun yang luar bisaa. Tahun yang akhirnya membuat saya menjejak nostalgia lewat sederetan mata kuliah yang harus dilalui. Nostalgia bagaimana jantung berdetak sedemikian kencang ketika membuka soal ujian dan harus mengerjakannya hinga lulus. Saya menikmati meskipun dalam kondisi kepayahan karena berbagai hal. Saya senang. Saya terpuaskan. Saya seperti muda kembali.

Tahun 2015 sudah usai. Baru babak awal dari perjalanan 4 tahun ke depan yang masih harus diselesaikan. Saya bersyukur kepada Tuhan atas karunianya selalu mengabulkan apa yang saya inginkan. Bersyukur karena saya mengerti bahwa tidak semua doa akan direalisasi secara instant. Saya hanya perlu bersabar, karena dengan bersabar ternyata saya memperbanyak frekuensi mengunjungi Sang Maha. Dengan bersabar, saya menjelma menjadi orang yang berusaha menjadi hamba yang paling bertaqwa. Doakan saya semoga saya lantas tidak berubah hanya karena cita-cita kini sudah menjelma nyata.

Tahun 2016. Harapan saya hanya agar saya bisa melalui berbagai macam rintangan yang pasti menghadang dalam proses saya mencari ilmu. Bukan hanya ilmu pengetahuan, tapi juga ilmu kehidupan. Tidak apa banyak rintangan, yang penting saya bisa melalui dengan bijaksana. Memaknai dengan kepasrahan hati bahwa tidak ada yang langsung jadi. Lagi-lagi saya mohon didoakan.


#Apis-Menuju-PhD

Kamis, 18 Juni 2015

Marhaban Ya Ramadhan

Assalamualaikum,

Sadar memiliki mulut yang seringkali darinya keluar serapah. Memiliki hati yang seringkali mencaci karena emosi. Memiliki kebiasaan melontarkan becandaan yang seringkali kelewatan. Karenanya dengan segala kerendahan hati saya mohon dimaafkan atas segala kesalahan yang telah dilakukan dalam rangkan menyambut Ramadhan.

Marhaban Ya Ramadhan. Semoga Ramadhan kali ini bisa menjadi sarana untuk kita membersihkan diri dan meraih surga yang hakiki. Aamiin.

Doakan saya yang akan menjalani hari-hari berpuasa selama kurang lebih 19 jam di negara ynag jauh dari Khatulistiwa. Semoga dengan lebih panjangnya waktu yang tersedia, membuat saya memiliki lebih banyak kesempatan untuk mendulang pahala. Aamiin.


--Apisindica--