Halaman

Selasa, 31 Mei 2016

Kemanakah harus kucari rindu?

Kemanakah harus kucari rindu?

Sejengkal demi sejengkal aku menyusuri pematang perasaan yang sudah sekian lama terbentuk lewat kisah-kisah yang tertoreh. Tapi tidak ada. Kuulangi lagi dari awal. Kali ini lebih teliti, tidak ingin ceroboh sehingga tidak bisa menemukan sesuatu yang harusnya ada. Nihil. Tetap tidak ada.

Kemanakah harus kucari rindu?

Kuberlari ke setiap sudutan. Menyisir perlahan setiap celah yang mungkin padanya terselip selembar rasa rindu. Tidak ada. Kubuka semua jendela, berharap angin akan menerbangkan apa yang bersembunyi di dalam para-para. Siapa tahu rindu bersembunyi di sana. Di dalam gelap pengap tanpa bisa lagi dirasa keberadaannya. Tetap tidak ada. Sia-sia.

Apakah rindu sudah menjadi bangkai? Tapi harusnya bangkai mengeluarkan aroma. Meninggalkan alur jejak yang bisa ditelusuri bahkan sambil memejamkan mata. Apakah rindu sudah menguap ke udara? Tapi kenapa? Tidak inginkah dia berpamitan kepada sang tuan jika ingin terbang dan menghilang kembali kepada sang muasal? Kemana perginya rindu? Tanpa tapak langkah dia pergi tak berjejak. Hilang ditelan ribuan kilo jarak yang terbentang.

Mungkin aku sedemikian mandirinya, bahkan rindu dirasa tidak lagi penting untuk dipelihara. Mungkin aku terlalu sibuk, melogikakan semua yang harus dicerna di dalam kepala sehingga puluhan drama yang dulu begitu sangat dipuja dilewatkannya begitu saja. Entahlah.

Kemanakah harus kucari rindu?

Lewat udara musim semi yang masih seringkali dingin aku mencari pembenaran. Memperpanjang episode ketika perasaan sudah berhenti untuk sekedar berjuang, hanya akan memperberat kesakitan. Menambah jumlah kepura-puraan hanya akan membuat suatu hubungan menjadi keropos tidak lagi bisa  ditambal sulam. Aku memutuskan untuk berhenti berjuang. Dalih demi kebaikan mungkin terdengar klise dan berlebihan. Tapi ini kenyataan. Memelihara hubungan dalam keadaan hambar hanya seolah memicu bom waktu yang sedang bergerak mundur menjadi meloncat dua sampai tiga hitungan lebih cepat.

Aku sudah mencoba bertahan. Menambah kayu bakar pada perapian yang menjelang padam. Masih ada bara di sana, tapi ternyata tidak cukup besar untuk membakar kayu dan menghangatkan ruang rindu yang digigilkan musim dingin yang tidak pernah panjang. Aku mencoba lebih keras, terkadang memanggangkan badan dengan harapan bara menyala lebih besar. Merubahnya jadi api yang tidak hanya bisa membakar tapi berpendar menghangatkan. Kemudian aku sadar. Aku gagal.

Kemanakah harus kucari rindu?

Bahkan ketika tidak ada pemeran ketiga rasa itu hilang tak berbekas. Tidak meninggalkan kenangan yang hampir 4 tahun dipapah bersamaan. Aku mungkin yang salah, tapi aku tidak ingin jadi lebih keliru. Berupura-pura memang bisa dilakukan, tapi sampai kapan? Bersandiwara bisa saja jadi sebuah pilihan, tapi apa yang akan kita dapatkan? Tidak ada kecuali kesakitan yang semakin bertambah ketika nanti akhirnya kita harus saling menjelaskan.

Aku meminta maaf karena telah gagal. Gagal membawa hubungan yang sudah sedemikian jauh tetap berada di zona nyaman. AKu bahkan gagal menemukan kemana rindu yang dulu selalu terbakar bahkan ketika tidak ada api sekalipun. Aku gagal. Tapi aku tidak ingin jadi pecundang yang menunggang kebohongan. Lebih baik aku berkata jujur sekarang daripada ketahuan bersandiwara belakangan.

Hari ini, aku, kamu, memutuskan. Tidak ada lagi cerita di antara kita. Kita menyudahi peran kita masing-masing dalam sebuah lakon yang dulunya diberi judul masa depan. Masa depan yang semakin kabur setiap digerus putaran waktu. Kita menyudahkan. Menamatkan rasa yang sudah tidak lagi berwarna.

Kemanakah harus kucari rindu?

Sepertinya tidak perlu lagi mencari karena kita sudah ikhlas melarungnya ke lautan. Membiarkannya menyatu dengan buih-buih kenangan yang bisa diingat di masa yang akan datang.

Terima kasih sudah pernah menjadi bagian terpenting dalam hidup seorang Apisindica. Semoga sekarang kita bisa sekedar berteman.

Wageningen, 30 Mei 2016.