Halaman

Selasa, 25 Juni 2013

Hampura

Assalamu’alaikum.

Nama saya Apisindica. Saya orang baik yang kadang berbuat tidak baik. Perbuatan tidak baik tersebut bisa jadi saya lakukan secara sadar maupun tanpa disengaja. Untuk perbuatan yang dilakukan secara sadar mungkin lebih mudah untuk saya dimintakan maaf karena bisa jadi saya mengingatnya atau saya bisa mengingat-ngingatnya. Yang jadi masalah adalah perbuatan tercela yang dilakukan tanpa disengaja. Seringkali saya tergelincir pada suatu keadaan yang ternyata itu menyakiti orang tanpa saya sadari benar. Dan karena tanpa disengaja tentu saja saya akan lupa, karenanya saya juga minta dimaafkan. Diampuni.

Nama saya Apisindica. Dari mulut saya bisa keluar banyak hal. Doa, harapan, nasihat, sampah hingga serapah. Saya juga seringkali tidak bisa mengontrol apa yang keluar dari mulut saya. Terlontar tanpa dipikirkan terlebih dahulu sehingga berujung tindakan menyakitkan bagi orang. Bergunjing juga merupakan aktivitas yang tidak bisa saya hindarkan. Membicarakan orang demi sekedar memuaskan kepenasaran atau malah justru menjelek-jelekkan. Lagi-lagi saya tidak bisa mengontrol mulut saya, sehingga darinya lebih banyak keluar dosa.

Maaf. Mungkin hanya sepenggal kata tersebut yang saat ini bisa saya ujarkan. Saya mengerti kalau saya seperti membuat semuanya terasa sederhana. Mudah dilakukan. Bertahun-tahun membuat berbagai kesalahan, kemudian datang dengan enteng menghadirkan maaf yang seperti tanpa muatan beban. Tapi terus terang, saya juga tidak tahu bagaimana menghapusnya. Noda sudah terlanjur tergambar, jejak mungkin sudah mengeras tidak bisa hilang. Karenanya saya hanya ingin diberikan ampunan. Diberikan sebuah bentuk pemaafan. Tidak peduli seberat apapun kesalahan yang sudah dilakukan. Saya meminta maaf dengan penuh penyesalan.

Nama saya Apisindica. Saya tidak jutek atau judes. Potongan muka saya memang seperti ini dari sananya. Bukan ingin menyalahkan Tuhan atas apa yang sudah dia ciptakan. Bukan juga ingin mencari pembenaran dari mimik yang sering saya pertontonkan. Tapi benar, saya hanya terlihat tidak bersahabat. Saya hanya sulit untuk memulai perbincangan dengan orang asing atau orang yang baru saya kenal. Aslinya saya jauh lebih ramah, asalkan saya sudah merasa nyaman dan aman. Saya hidup dalam sebuah rahasia yang sampai saat ini belum berani saya buka. Saya ketakutan kalau apa yang saya sembunyikan terbongkar pada orang yang belum terlalu saya kenal. Itu saja.

Nama saya Apisindica. Saya orang sunda yang seperti kebanyakan orang dari suku tersebut senang sekali bercanda. Tapi mungkin saya bercanda kadang kelewatan, tidak meraba perasaan orang yang menjadi bahan bercandaan. Becandaan saya mungkin juga kadang seperti tidak berpendidikan karena saya lebih mementingkan bagaimana banyolan yang saya ucapkan menjadi bahan tertawaan. Saya sering lupa kalau apa yang saya lontarkan membuat orang tidak berkenan. Saya alpa. Nyaris selalu lupa.

Lagi-lagi saya minta dimaafkan untuk semua jenis kesalahan yang tidak akan selesai saya detailkan sekarang. Saya meminta maaf untuk semua perbuatan tidak terpuji yang sudah merugikan banyak orang. Saya berserah, dimaafkan atau tidak itu bukan menjadi persoalan. Saya hanya ingin berdiri jujur di titik ini dan meminta sebuah bentuk pengampunan. Mengakui  dosa-dosa yang sudah saya lakukan. Mungkin ada yang luput karena itu di luar kapasitas saya sebagai manusia dengan banyak keterbatasan.

Nama saya Apisindica. Saya pendendam. Saya mengingat orang-orang yang pernah menjadi mimpi buruk selama saya menjalani kehidupan. Orang-orang yang pernah melakukan pengkerdilan tidak langsung pada diri saya sebelum akhirnya saya bangkit dan membuktikan kalau saya tidak seperti yang mereka bayangkan. Saya mengingat mereka semua karena semakin saya ingin lupa, kotak memori itu justru dengan jelas tergambar. Mungkin mereka tidak sengaja. Atau bisa jadi mereka justru dikirim Tuhan untuk membentuk saya menjadi manusia seperti sekarang. Saya belajar memahami. Belajar memaklumi. Untuk itu saya mohon didoakan agar dapat menghapus semua keperihan-keperihan yang pernah tertoreh sehingga tidak lagi ada dendam.

Nama saya Apisindica. Insya Allah nanti malam saya akan melakukan perjalanan religi ke rumah Allah. Ke Tanah Haram untuk melakukan ibadah Umrah. Saya mohon dimaafkan atas semua kesalahan yang sudah terlanjur dilakukan. Katanya dengan banyak dimaafkan, saya akan menjadi lebih lapang untuk melangkah bertemu Allah. Kalaupun nanti di sana saya mendapat ganjaran atas apa yang sudah saya lakukan, maka doakan saya ikhlas menerimanya sebagai kifarat atau penghapusan dosa. Saya Ridho. Pasrah sampai tingkatan pasrah yang paling rebah dengan tanah.


Doakan saya, agar ketika kalau saya pulang nanti saya menjelma menjadi manusia yang lebih baik dari sekarang.Tidak ada tujuan khusus dari kepergian saya mengunjungi Tanah Haram, saya hanya ingin meminta pengampunan. Insya Allah.

Jumat, 14 Juni 2013

Teruntuk Hujan

Untuk Hujan,

Semalam kamu singgah lagi di halaman. Entah apa yang ingin kamu bewarakan padahal seharusnya ini bukan lagi saatnya musim penghujan. Tapi kamu kerap kali masih datang, seperti kehausan. Seperti ada beban yang belum tuntas terlunaskan.

Lewat rintik yang membasuh karat debu di ujung dedauan, kamu menebar muram. Mengigilkan kesunyian yang tercipta karena sebagian besar orang justru berdiam dalam selimut kenyamanan. Menyuarakan kidung perih seperti anak yang menangis menunggu ibunya pulang dari ladang.

Kamu mendobrak belenggu. Menganomalikan sabda alam ketika seharusnya kamu tenang beristirahat sambil menyulam rinai untuk diturunkan ketika kering sudah menghasilkan bosan. Kamu tidak peduli, datang dan datang lagi seolah ingin selalu dihadirkan. Tidak ingin tergantikan oleh kerontang yang sepertinya sudah mengintai.

Semalam kamu memapah pagi yang menjanjikan embun kesejukan. Menghadirkan becek  di kubangan-kubangan aspal yang regas dilindas roda-roda kendaraan. Lewat genangan kamu ingin dikenang, bahwa semuanya belum usai. Kamu belum ingin dienyahkan. Belum ingin ditamatkan sesaat.

Hujan, berteduhlah barang sebentar. Ada cinta yang masih harus aku jelang. Cinta yang baru saja aku semai. Cinta yang baru berkecambah sehingga kuncupnya mencumbui udara. Jangan biarkan dia luruh kembali hanya karena terlalu banyak menyesap uap yang membuatnya kedinginan. Jangan biarkan dia tenggelam dalam deras air yang tercurah perantaraan awan. Aku ingin yang sekarang lebih lama bertahan karena aku bosan memulai dari awal. Aku letih di ujung banyak penantian. Karenanya bersahabatlah sedikit padaku, padanya. Pada kami.

Aku bukan tidak ingin kamu datang di penghujung petang, karena bagaimanapun kamu akan menjadi semacam ujian bagi kami. Menjadi kuat atau malah tercerai berai. Tapi tolong jangan dulu sekarang, jangan terlalu cepat datang. Kami masih saling menyamakan banyak pertentangan. Berdamai dengan seribu macam perbedaan, mematut diri pada cermin yang tergantung di dinding untuk menyesuaikan proporsi.

Hinggaplah sejenak di ranting cemara, amati kami dan beri nilai dari proses yang sedang dijalani. Ketika kamu sudah merasa kami cukup kuat maka datanglah bertandang. Beri kami sedikit tantangan. Tak perlu yang menguras tenaga sampai berkeringat hingga basah. Cukuplah sebuah permainan yang rasanya seperti menaiki bianglala. Berputar, menaik dan kadang berhenti.

Aku dan dia bagaimanapun berasal dari dua kutub yang bertolak belakang. Karenanya mungkin akan ada saatnya kami lelah dan berjalan menuju titik yang sama untuk menunggu datangnya hujan dan mengiba kesegaran. Nanti. Tidak sekarang.

Minggu, 02 Juni 2013

Teu Bisa Ngarawu Ku Siku

“Teu bisa ngarawu ku siku”

Falsafah orang sunda yang sampai saat ini masih saya pegang. Falsafah yang tidak akan pernah berubah artinya sekalipun dunia sudah mengalami banyak kemajuan seperti sekarang ini. Teu bisa ngarawu ku siku arti secara harfiahnya adalah “tidak bisa meraup menggunakan sikut” sedangkan menurut enin (nenek) yang pernah mengajarkan falsafah ini artinya adalah kita tidak akan pernah bisa mendapatkan semua yang kita inginkan. Sikut memiliki keterbasan meskipun dia bisa digunakan untuk mengambil sesuatu.

Dan saya percaya. Mungkin lebih tepatnya diajarkan untuk percaya karena berbagai pengalaman hidup mengajarkan saya untuk lebih meyakini falsafah tersebut. Dan benar. Banyak hal yang tidak bisa diraih sekaligus. Banyak hal yang untuk dicapai, terlebih dahulu dihadapkan pada sebuah pilihan. Bisa dua, tiga atau mungkin sekaligus banyak yang seringkali membuat saya bingung dan linglung.

Kenapa harus bingung? Saya sebetulnya tinggal memilih, bahkan bisa dilakukan sambil memejamkan mata atau nungging sekalipun. Tapi andai semua bisa sesederhana itu, semudah kata atau nasihat yang keluar dari mulut saya untuk orang lain. Nasihat seringkali mudah diberikan kepada orang lain, tapi ketika diterapkan pada diri sendiri ternyata tidak semudah apa yang harus dilakukan. Banyak pertimbangan, banyak pertentangan, banyak konflik. Akhirnya saya sering terduduk dan bingung. Alasannya karena saya ingin semua opsi dari pilihan yang dihadapkan.

Serakah? Sepertinya. Salah? Tidak. Sangat manusiawi menurut saya ketika seorang manusia sebutlah saya menginginkan lebih dari 1 perwujudan keinginan. Urusan terwujud atau tidaknya sering saya abaikan karena saya lebih berfokus untuk tetap memperjuangkannya. Apakah saya mendapatkan kesemua pilihannya? Kadang iya dan seringkali tidak. Kalaupun saya mendapatkan semuanya, maka tidak ada salah satu yang maksimal, semuanya nanggung seperti hukum alam.

Ibu saya pernah bilang, ketika kita mendapatkan sesuatu maka kita harus melepaskan yang lainnya. Dan saya juga tidak kalah mengamini. Serakah saja tidak cukup. Kemaruk saja tidak lantas membuat saya bahagia dan mengantarkan saya jadi pemenang. Berpikir matang yang kemudian harus dilakukan ketika saya dihadapkan pada sebuah pilihan. Sekali keputusan sudah dibuat maka akan sukar untuk saya berjalan mundur ke belakang. Dan saya tidak ingin hidup dalam penyesalan. Menyalahkan suratan padahal jelas-jelas saya yang memutuskan.

Beberapa hari ke belakang saya dihadapkan pada sebuah pilihan sulit. Sulit menurut saya karena bisa jadi menurut orang lain itu hanya hal remeh yang seharusnya tidak dipikirkan secara berlebihan. Sulit menurut saya karena pertentangan yang hadir justru mempertemukan dua kutub yang saling berlawanan. Masalah duniawi dan akhirat. Sulit menurut saya karena sekarang saya masih hidup di dunia, bagaimanapun saya harus menabung bekal untuk kehidupan saya di dunia ke depannya. Kebutuhan harus dibeli, tidak turun dari langit. Sulit menurut saya karena saya sangat yakin dengan kehidupan akhirat. Kehidupan setelah mati. Jadi sayapun harus menabung untuk bekal saya di akhirat kelak. Dilematisnya adalah ketika jadwal untuk memenuhi kebutuhan duniawi dan akhirat ternyata berbentrokan. Salah satu tidak bisa ditawar. Tidak bisa dijawal ulang seperti yang pernah saya bayangkan.

Berhari-hari saya bingung. Dirundung banyak pertentangan yang menghantarkan saya pada sakit kepala hebat dan produksi asam lambung yang berlebihan. Cemen. Berhari-hari saya seperti orang linglung yang tidak tahu jalan pulang padahal jalanan di depan jelas tanpa tutupan awan. Saya menangis. Ingin protes pada Sang Pemilik Hidup, tapi urung saya lakukan. Terlalu sering saya protes. Terlalu sering saya menjadi hamba yang pembangkang. Kali ini saya ingin lebih ‘nrimo. ‘Narimakeun’ atas apa yang sudah Tuhan rencanakan.

Katanya saya harus belajar ikhlas. Belajar menerima suratan sebagai takdir yang memang harus disandang. Dan ternyata iklhas itu tidak gampang. Mudah diucapkan tapi hati seringkali tidak mudah ditaklukan. Berulangkali dia menggugat apa yang sudah saya putuskan. Melemparkan saya pada putaran yang semakin membuat saya sempoyongan. Berulang-ulang. Sampai saya tidak bisa lagi menahan isi perut untuk keluar. Mual.

Waktu terus diputar. Tengat waktu semakin sempit untuk saya memutuskan. Ditengah tangisan yang sudah mulai mereda. Di ujung kepeningan sisa dari saya berkontemplasi tentang pilihan yang muncul akhirnya saya memutuskan. Mengambil satu pilihan, dan melepaskan yang yang lainnya. Apakah saya ikhlas? Masih sedang diusahakan. Masih terus belajar. Saya hanya yakin bahwa Tuhan tahu yang terbaik untuk saya. Tuhan akan membukakan pintu rezeki lainnya ketika saya justru menutupnya dengan sadar. Tuhan pasti menyayangi saya, hambanya yang pembangkang.


Bismillah. Keputusan sudah bulat dibuat. Semoga ini memang jalan yang terbaik, tidak hanya menurut saya tapi juga menurut Tuhan. Amin.