Halaman

Selasa, 26 Februari 2013

Seharusnya


Harusnya siang itu kamu berada di sana. Tidak perlu banyak bicara. Cukup duduk manis dan menonton apa yang mereka semua sedang pertunjukan. Kalaupun ingin terlihat sedikit lebih antusias cukuplah kamu pamerkan sederetan gigi geligimu yang tersusun rapi dari celah bibirmu yang tipis menawan dalam sebentuk senyuman yang terpasang tanpa paksaan.

Menganggukan kepala juga sepertinya akan lebih dari cukup ketika menanggapi beragam pertanyaan yang mungkin akan memborbardirmu. Menjawab hanya akan membuat mereka mengejarmu, menempatkanmu pada posisi sulit yang mungkin selama ini kamu hindari. Jadi cukuplah tersenyum dan menganggukan kepala seolah kamu sangat tertarik dengan keriaan yang sedang berlangsung di hadapan.

Harusnya siang itu kamu berada di sana. Menjelma menjadi semacam tameng yang bisa aku jadikan tempat untuk berlindung. Benteng yang akan melindungi aku dari sebuah kerapuhan yang selama ini tersamar lewat keceriaan yang aku pertontonkan. Harusnya kamu berada di sana, tidak perlu banyak bicara, cukup kamu genggam saja tanganku. Alirkan keberanian yang saling menguatkan lewat kapiler-kapiler yang bersentuhan di telapak tangan yang ujungnya mengapal.

Tapi sepertinya itu tidak adil untukmu. Bagaimana mungkin kamu harus aku seret pada pusaran yang sebetulnya kamu tidak harus terlibat. Belum harus terlibat lebih tepatnya. Masalah yang mengintaiku harus aku yang menyelesaikan. Membawamu pada sesuatu yang kamu belum tahu hanya akan membuatmu berpikir berulang kali apakah akan terus berada di sampingku. Membuatmu mengkaji banyak kemungkinan untuk berbalik arah dan meninggalkanku sendirian. Seperti siang itu.

Aku tidak akan bertanya kepadamu kemana kamu siang itu. Aku juga tidak akan menuntutmu nanti ketika kita bertemu kelak hanya karena kamu telah tega membiarkanku sendirian menyaksikan banyak momen sakral yang sengaja digadang. Aku mengerti kalau kamu masih belum mau dipamerkan, belum ingin dibewarakan kepada khalayak kalau kamu sudah tersimpan sekian putaran jaman.  Aku bisa apa. Kita ikuti saja bagaimana permainan ini diputar.

Dua kali kamu absen datang di saat sebetulnya aku ingin diselamatkan. Dua kali kamu tidak hadir ketika banyak dari mereka mempertanyakan. Dan seperti yang kamu ajarkan lewat mimpi yang bergelung di malam-malam yang panjang, aku hanya membalas semua pertanyaan dengan senyuman. Bertahan hanya akan membuat mereka mengejar. Berdalih hanya akan membuat mereka semakin mentertawakan. Karenanya aku mengikuti saranmu ketika untuk kedua kalinya kamu masih belum mau datang siang itu, aku hanya lebih banyak tersenyum.

Harusnya kamu berada di sana siang itu. Membelai bahu tanganku dan meyakinkan kalau semua akan baik-baik saja. Mungkin kamu juga akan berbisik bahwa didahului bukanlah sesuatu yang menohok harga diri. Terlambat adalah bukan pilihan yang sengaja ditekadkan ketika orang-orang di sekitar justru sudah menemukan kenyamanan. Kamu pasti akan menguatkanku seperti itu, sayang kamu masih saja absen untuk datang. Dan aku menghadapinya sendirian.

Aku masih kuat bertahan. Tidak peduli kamu sampai kapan akan berdiam di dalam persembunyian. Penantian adalah sesuatu yang sudah aku candu dari dulu. Dan aku yakin kalau penantian ini akan membuahkan hasil seperti yang mungkin kita berdua idam-idamkan.

Harusnya kamu berada di sana siang itu. Menemaniku tersenyum dan menjawab pertanyaan-pertanyaan wajar yang dirasa hambar. Pertanyaan-pertanyaan biasa yang ternyata bisa merontokan telinga. Tapi kamu tidak ada, jadilah aku menghadapinya tanpa senjata. Sendiri mengumbar bahwa aku ikut bahagia dengan apa yang sedang mereka upacarakan. Sungguh, saya tidak bersedih. Tidak hanya karena kamu belum juga datang  atau karena saya harus lagi-lagi di dahului.

Harusnya kamu berada di sana siang itu. Tidak perlu banyak bicara. Cukup duduk bersisian denganku sambil menyaksikan acara pertunangan adikku dengan pasangannya yang sudah terlebih dahulu datang dikirim Tuhan.

Senin, 18 Februari 2013

Pengalaman Pertama


Sekilas saya menyapu pandang ke seluruh bagian ruangan yang terletak di bagian belakang rumah ini. Letaknya memang terpisah dari bagian rumah inti sehingga untuk sampai ke sini saya harus melewati jalanan batu yang di kanan kirinya terdapat taman yang ditumbuhi rumput jepang yang asri. Tidak ada yang istimewa dari ruangan ini, hanya ada sebuah sofa kulit di samping pintu dan sebuah ranjang yang masih tertutup sprei putih yang rapi.

Satu hal yang membuat saya sedikit merasa janggal. Lampunya temaram. Minim untuk ukuran ruangan yang lumayan besar.

Saya kemudian duduk di sofa kulit dan kembali mengedarkan pandangan ke seluruh ruang. Mata saya kemudian tertumbuk pada beberapa lukisan janggal yang menempel dengan posisi yang tidak wajar di dindingnya yang berwarna tak kalah aneh. Lukisan bukan abstrak tetapi tidak mudah dimengerti. Lukisan sederhana tetapi rumit dijabarkan kata.

Seorang laki-laki kemudian masuk ke ruangan itu. Laki-laki yang belum pernah saya kenal sebelumnya. Laki-laki yang baru saya tahu suaranya melalui sambungan telpon beberapa hari lalu. Dan saya takjub karena laki-laki itu tidak kalah janggal dengan lukisan-lukisan yang ada di ruangan tersebut. Dia hanya memakai kaos kutung bergambar Curt Cobain. Berbagai tato terlihat menghiasi kedua lengannya yang kekar. Saya juga melihat beberapa terletak di betisnya yang nyaris tanpa bulu. Seketika saya ciut, keberanian yang sudah saya bangun runtuh dalam hitungan detik padahal laki-laki itu belum mengatakan apa-apa.

Laki-laki itu mengulurkan tangan dan menyebutkan nama. Nama seperti yang dia sebutkan ketika saya menelponnya. Gagap saya menyambut uluran tangannya dan sepertinya dia bisa mencium ranah keragu-raguan yang mungkin tergambar nyata di wajah saya sore itu.

“Tangan kamu dingin sekali. Nampaknya kamu gugup dan belum yakin dengan apa yang akan kita lakukan” Laki-laki itu menggenggam tangan saya seperti mau meyakinkan bahwa apa yang akan kami lakukan nanti bukan sesuatu yang berbahaya.

“Maklum ini yang pertama buat saya” Hanya itu yang bisa keluar dari mulut saya, itupun diucapkan dengan sedikit terbata.

Saya memang belum terlalu yakin dengan apa yang akan saya lakukan. Keinginan ini memang sudah sekian lama saya pendam, tetapi saya sepertinya terlalu pengecut untuk mengalahkan ketakutan yang seringkali singgah di hati tidak mau pergi. Pergulatan batin selalu menggelayuti ketika saya ingin mencicipi hal yang akan saya lakukan dengan laki-laki itu. Laki-laki yang mungkin saya percaya, atau paling tidak padanya saya melabuhkan banyak kepercayaan untuk menuntaskan kepenasaran saya dengan sesuatu yang sedari dulu ingin saya lakukan.

“Tenang. Kamu bisa percaya pada saya. Tidak akan sakit seperti yang banyak orang bilang. Kamu datang pada orang yang tepat maka yang perlu kamu lakukan hanyalah percaya kepada saya” Laki-laki itu menenangkan. Sejurus kemudian dia menyalakan musik dari perangkat pemutar yang ada di atas meja kecil di sudut ruangan. Musik instrumental melumat pendengaran saya, membuat sendi-sendi yang sedikit kaku mejadi seperti dilolosi.

Saya menelan ludah. Kebimbangan masih berperang di dalam hati. Keinginan untuk mencicipi dan ketakutan akan menjadi ketagihan silih berganti menghantam perasaan saya yang semakin mengambang. Rasanya ingin berlari pergi, tapi entah apa yang tetap membuat saya tetap berada di sini. Harusnya saya berani, tidak lagi takut dengan apa yang selama ini saya ingini. Saya memutuskan untuk tepat tinggal.

“Bisa kita mulai?” laki-laki itu bertanya kemudian tersenyum ke arah saya. Deretan giginya yang rapi dengan jejak banyak nikotin dan kafein jelas terlihat di sana. “Tidak usah ragu, saya jamin kamu tidak akan apa-apa” Kembali dia meyakinkan saya yang masih dilimbung keragu-raguan.

Bagai kerbau dicucuk hidung saya berjalan mendekati laki-laki itu. Masih diselimuti ragu, perlahan saya membuka baju saya dan melonggarkan ikatan tali pinggang yang saya kenakan. Saya menaiki ranjang berseprei putih yang masih rapi dengan posisi tengkurap. Wangi pengharum pakaian yang dikeluarkan sarung bantal yang menopang kepala saya sekejap mencumbu saraf olfaktorius di dalam lubang penciuman. Menyegarkan. Menenangkan.

Tangan laki-laki itu saya rasakan menyentuh bagian bawah badan saya. Dingin. Tapi kemudian tidak ada lagi dingin karena yang saya rasakan hanyalah sakit. Tangan saya mencengkram kuat bagian samping ranjang yang sedikit berdecit. Sesekali saya memejamkan mata berharap kesakitan itu segera sirna. Tidak ada suara karena tenggorokan saya lebih ke arah menahan, tapi ada suara lain yang asing yang belum pernah saya dengar sebelumnya. Suara yang timbul bersamaan dengan saat tangan laki-laki itu menekan badan saya.

Saya tidak melihat, tidak bisa melihat lebih tepatnya. Tapi saya yakin di bagian bawah sana ada darah. Kesakitan semacam yang sedang saya rasakan tentu saja akan membuahkan pendarahan. Proses pendarahan yang entah kenapa membuat teman-teman saya seperti ketagihan sehingga mengulangi lagi dan lagi. Keringat saya rasakan membasahi hampir seluruh permukaan tubuh saya. Keringat yang keluar karena suhu tubuh saya yang meningkat seiring dengan saya menahan. Sesekali laki-laki itu menyeka keringat saya. Tangannya masih dingin saya rasakan. Tangan yang saya percayai untuk memberikan pengalaman pertama saya dengan hal baru yang selama ini mungkin saya inginkan.

Waktu berjalan lambat seakan memberi kesempatan saya untuk menikmati kesakitan yang sedang ditimbulkan. Dan memang benar, lambat laun saya merasa nyaman. Tidak ada lagi sebentuk kesakitan, hilang sudah semua perasaan menahan. Saya menikmati semua proses yang sedang berlangsung hingga tidak ingin permainan ini menemukan akhiran. Saya tidak lagi menutup mata karena saya ingin menyaksikan bagaimana proses ini dimainkan.

Laki-laki itu kemudian berdiri. Suara yang tadi timbul memenuhi ruangan lenyap tanpa sebab, tapi keringat masih meninggalkan jejak di badan saya. Lembab.

“Kamu hebat. Untuk ukuran orang yang pertama kali melakukan ini kamu luar biasa” laki-laki itu berkata sambil melemparkan handuk kecil ke arah saya. Dan saya hanya tersenyum. Tersanjung oleh ucapan laki-laki yang baru pertama ini saya temui. Laki-laki berlengan kekar dengan tato yang terpasang sempurna di sana.

Saya bangkit dari ranjang dan berjalan ke sisi ruangan. Tangan saya memegang celana yang tadi melorot ketika serangkaian proses dilakukan. Cermin persegi yang tergantung di sebelah lukisan yang abnormal saya datangi, celana saya turunkan lagi hingga panggul. Sambil mematut diri dari belakang saya merasa puas dengan apa yang laki-laki itu lakukan. Laki-laki yang baru saya kenal hari ini. Laki-laki yang menuntaskan kepenasaran saya tentang rasa yang selama ini justru saya inginkan. Laki-laki yang dengan piawai membubuhkan gambar naga di pinggul saya dalam bentuk tato permanen.

Kamis, 14 Februari 2013

Dia


Saya tidak menyangka kalau angin akan menerbangkan saya ke arahnya. Seseorang yang mungkin telah saya tunggu di lorong gelap penantian. Seseorang yang saya harap membawa seberkas cahaya, tidak perlu besar asal berpendar. Dan dengan itu kemudian dia menuntun saya lepas dari ketersesatan, menyelamatkan saya dari buta berkepanjangan.

Mungkin hati saya sudah sedemikian kerontang, gersang dihajar kemarau yang tak berkesudahan. Kemarau yang tetap menghadang walau hujan tengah datang hampir di setiap kesempatan. Rasa yang mengendap kering menyebabkan saya merasa nyaman, enggan beranjak sekedar untuk memapah rintik di halaman.


Kini, ketika dia datang, kemarau seakan lenyap menguap bagai keringat. Diganti segar laksana kuncup yang menitis mekar. Saya merasa hidup, seakan dilahirkan kembali dari rahim cakrawala hati. Dia membawa udara untuk dihela, merangkul matahari guna menyinari. Menggugah perasaan yang sempat mati suri untuk hidup kembali.

Awalnya saya bimbang. Tidak yakin dengan apa yang hati rasakan. Teramat sering saya salah menginderai terang, kerap saya salah mencumbui fatamorgana yang justru membawa saya tidak bisa pulang. Karenanya saya bertahan, tak goyah oleh buai kata yang keluar. Saya tidak ingin gagal karena kecerobohan, saya hanya ingin pulang. Ke peluk hangat pangkuan sayang.

Sekarang, saya yakin kalau dia seseorang. Sosok yang akan saya persilahkan masuk ke dalam. Tidak hanya mengamati tapi boleh juga mengisi. Menambah peralatan yang mungkin masih terasa kurang. Mengganti yang mungkin tidak cocok dengan bentuk dan ruang. Mengarsir dan menandai mana yang boleh diterjang dan mana yang harus ditentang. Saya yakin dia adalah seseorang.

Dalam temaram pendar yang dia hadirkan, saya menemukan lagi siapa saya, siapa dia. Merefleksi bayangan yang terbentuk di dinding. Tidak jelas tapi nyata. Saya berharap semuanya menjadi lebih nampak ketika sudah keluar dari terowongan. Saya senang. Setidaknya saya tidak memapah jejak sendirian, saya bersamanya. Seseorang.

Ketika cahaya semakin benderang, kenapa bayangannya malah memudar. Saya berlari ke tengah lapang, tapi bayangannya terus menciut dimakan terang. Saya berteriak, tapi dia malah menghilang. Saya menangis di batas kesabaran.

Dia memang seseorang. Seseorang yang saya liat dalam impian.

Happy Valentine's day dear dreamed soulmate!

Senin, 11 Februari 2013

Membunyi Genta


Aku hampir lupa bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati. Rasa beraroma kenangan lambat laun terkikis dan menghilang. Tidak ada lagi jejak yang dapat disesap setidaknya untuk memuaskan perasaan bahwa hati ini pernah ada yang memiliki. Waktu melunturkan semua, menggerusnya dalam putaran-putaran yang tidak bisa ditahan. Meninggalkan aku dengan sebuah perasaan kosong tak berisi yang dulu penuh oleh bilah-bilah kenangan usang.

Kasihan. Mungkin itu yang akan orang bilang ketika menyaksikan apa yang selalu aku pertontonkan. Sebuah pertunjukan tidak mutu yang ceritanya selalu itu melulu. Tidak saat hujan ataupun saat kemarau panjang, yang digugat hanyalah tentang kesendirian. Cerita kesedihan yang seharusnya bisa dengan mudah dienyahkan. Alur picisan yang membosankan seolah kebahagiaan menjadi barang langka nan mahal.

Pernah aku mencoba untuk membawa hati ini berlari. Tapi orang menganggapku bersembunyi. Gentar menghadapi kenyataan, takut menerima buah perbuatan. Padahal dengan berlari aku pikir aku bisa terbebas dari segala ketakutan yang mungkin tumbuh menjalar di dalam kepala. Ketakutan tidak beralasan hanya karena banyak pertimbangan ketika melihat dan menimbang suatu hal. Dengan berlari aku kira aku bisa lepas dari cengkraman perangkap yang mungkin sebetulnya aku pasang sendiri.

Sembunyi bukan solusi. Tidak terinderai bukan berarti mati suri. Kehidupan terus berjalan, tidak peduli hati yang sedang digenggam mengeluarkan banyak intuisi untuk berhenti. Berhenti berarti mati, dan mati menandakan harapan sudah tidak dapat lagi dikembangkan. Padahal masih banyak harapan-harapan yang masih bisa diraih. Masih banyak sejumlah mimpi yang sepertinya harus direalisasi. Problema hati hanya sekelumit kecil persoalan yang bisa dihilangkan.

Sayangnya sekecil apapun masalah tentang hati selalu menjadi batu sandungan untuk sekedar beringsut pergi. Perasaan dikebiri hanya karena sudah sekian lama tidak termiliki menjadi bilur yang menggoyahkan langkah. Perasaan diganduli kesendirian justru menjadi halangan terbesar untuk mendekati tujuan. Tujuan yang belum jelas karena hati sedemikian bebal tidak memberi ruang untuk mengikhlaskan apa yang sudah digariskan. Takdir yang sudah ditentukan. Jalanan yang sudah dipilihkan.

Aku hanya tinggal berjalan. Melepaskan banyak keraguan, menanggalkan semua pertanyaan yang semakin digadang justru akan menjadi halangan. Biarkan pertanyaan-pertanyaan itu kandas tak bertemu jawaban karena sunyi mungkin jawaban itu sendiri. Jawaban paling hakiki dibandingkan dengan berlari atupun sembunyi. Jawaban yang tidak perlu digugat mengenai keabsahannya tentang benar atau salah yang selama ini berputar-putar memusingkan.

Benar atau salah sudah ada yang menakar. Yang aku perlukan mungkin hanya sebuah keyakinan bahwa semua yang sudah dan akan terjadi adalah jalan Tuhan. Sendirian ataupun berpasangan bukan suatu persoalan besar. Langkah bijak yang seharusnya dilakukan untuk siap menghadapi kenyataan. Berontak hanya akan membuat riak menjadi gelombang. Pasrah hanya membuat mimpi selamanya dibingkai imaji tanpa realisasi.

Aku hampir lupa bagaimana rasanya dicintai dengan sepenuh hati. Kubunyikan genta, kuciptakan keriuhan. Andai bisa sesederhana apa yang aku lakukan barusan. 

Kamis, 07 Februari 2013

Paralel


Di sebuah gerai kopi yang nyaman seorang laki-laki duduk sambil sibuk mengetik di atas tuts-tuts keybord komputer jingjingnya. Dia sendirian. Di atas meja bundar di depannya hanya ada komputer, gelas plastik berisi es mocha milk kesukaannya dan sebuah asbak tak berpenghuni. Asbak yang merepresentasikan dirinya. Sendirian. Dan kosong.

Entah apa yang tengah dituliskannya di lembaran kertas putih yang kadang terisi beberapa kalimat tapi kemudian kosong lagi karena seketika dipijitnya ctrl+a kemudian del. Sepertinya dia sedang kebingungan. Gagal menuliskan sesuatu yang tengah berkecamuk di dalam pikirannya. Atau jangan-jangan dia sedang berkutat dengan sebuah pekerjaan kantornya. Tapi ini malam minggu, dan laki-laki itu bukan karyawan yang super sibuk sampai harus bekerja di malam yang katanya banyak bergelimpangan cinta.

Lama dia terdiam. Sinar dari layar komputer menerangi hampir seluruh wajahnya. Tidak tergambar raut kekalutan seperti saat dia terburu-buru menghapus beberapa kalimat yang baru saja diketikannya sebelum membentuk sebuah paragraf utuh. Tidak juga terlihat sebuah keputusasaan padahal beberapa saat sebelumnya dia menghela nafas panjang sebelum menyeruput minuman dingin favoritnya. Dia nampak biasa saja. Hanya terlihat sebagai laki-laki yang menikmati malam minggu sambil berusaha menuliskan sesuatu yang mungkin dia juga tidak tahu. Sendirian.

Laki-laki itu seperti memberikan pengumuman tidak tertulis dengan bunyi “apa yang salah dengan menghabiskan malam minggu sendirian?” Dia seolah tidak peduli dengan orang yang berlalu lalang sambil bermesraan atau sekedar berpegangan tangan. Baginya mungkin itu hanya sebuah tontonan gratis yang terlalu diobral. Romantisme yang diumbar seakan butuh pengakuan kalau mereka adalah pasangan. Picisan.

Mendadak dia bersandar. Merebahkan punggungnya yang sedikit terlihat tegang di bantalan kursi yang semula berjarak. Ada sebuah tanda tanya di wajahnya. Tanda tanya yang mungkin bisa dengan jelas terlihat oleh orang yang memperhatikannya dengan seksama. Tanda tanya di akhir pertanyaan yang mungkin menggelumbung di dadanya. Pertanyaan yang kemudian dijawabnya dengan cara berlari. Laki-laki itu seperti berlari dari berondongan pertanyaan kenapa di malam minggu seperti ini dia hanya berdiam di rumah dan sendirian dari para handai taulan. Karenanya dia berlari. Menghabiskan kesendirian di gerai kopi favoritnya. Tempat yang dia anggap aman untuk terlihat seperti mencari kesibukan.

Laki-laki itu tetap berada di dimensi yang sama. Sendirian. Entah itu di rumah ataupun di tempat persembunyiannya sekarang. Bedanya dia hanya terbebas dari serangkaian pertanyaan yang mungkin memekakkan gendang pendengaran. Pertanyaan yang laki-laki itu bosan menelannya. Pertanyaan yang sering kali tidak cukup dijawab hanya dengan diam. Apalagi sekumpulan angka terus bergerak di lingkaran usianya.

Sementara itu di sebuah dunia paralel, seorang perempuan berbaju biru yang dipadu dengan celana jins ketat tampak bergelendotan manja pada tangan kekasihnya. Mereka berjalan bersisian di sebuah pusat perbelanjaan ternama di kotanya. Tanpa riskan mereka masuk dari satu gerai ke gerai lainnya  sambil terus mempertontonkan kemesraan. Cinta yang diumbar seolah tidak ada yang keberatan.

Perempuan itu sumringah. Tidak tampak sama sekali sebuah beban di hidupnya. Bagaimana tidak, di sampingnya ada seorang laki-laki yang padanya dia menggantungkan banyak pengharapan. Sedih berada jauh dari jangkauannya karena dia sudah menemukan cinta. Rasa yang dia gadang akan mengantarkannya pada perasaan pulang. Cinta yang akan menerbitkan sebentuk lain dari sebuah harap yang selama ini dia bayangkan. Termiliki. Seutuhnya.

Laki-laki di sampingnya terus mengenggam tangan sang perempuan. Seperti berlekatan kedua tangan itu tidak terpisahkan. Sesekali laki-laki itu menggoda yang dibalas dengan cubitan manja si perempuan yang mendarat di perutnya. Laki-laki itu seperti ksatria, tahu betul apa yang dibutuhkan pujaan hatinya. Sementara si perempuan berlagak jinak, seperti sudah ditaklukan lewat serentetan kejadian yang melambungkannya ke nirwana.

Mungkin bagi mereka tidak ada istilah malam minggu karena semua malam adalah serupa. Berisi hanya cinta. Mungkin bagi mereka, entah perempuan yang berbaju biru dan bercelana jins atau laki-laki yang menjelma ksatria semua sudah diaturkan Tuhan. Ditulis dalam sebuah perjanjian jauh sebelum mereka dilahirkan. Sekarang mereka hanya memainkan peran, berusaha memenuhi perjanjian banyak pasal yang tidak pernah mereka ingat pernah ditandatangani berbarengan.

Ketidakingatan pada sebuah perjanjian yang dibuatkan Tuhan kadang menyebabkan seseorang salah mengambil jalan. Salah menterjemahkan bunyi pasal yang maknanya tidak tersurat secara gamblang. Salah mengejawantahkan arti karena bunyi dibaca tidak terlalu teliti. Karenanya banyak orang salah meyakini. Banyak orang salah mengambil titian langkah yang justru berputar padahal tujuan terpampang jelas di hadapan.

Di gerai kopi yang mulai sepi, laki-laki yang seperti sedang berlari kembali menuliskan sesuatu di layar komputernya. Lama dia terdiam setelahnya. Mencermati satu demi satu kata yang dia tuliskan menjadi sepenggal kalimat lengkap. Terlihat ada sebuah kepuasaan di wajahnya, seperti menemukan pencerahan. Tangannya menggeser-geser kursor kemudian menghapus kalimat yang baru saja mengantarkannya pada sebuah kepuasan. Membuat kertas di layar komputernya kembali  putih tanpa coretan.

Sesaat setelah laki-laki di gerai kopi itu menghapus kalimat yang membuatnya orgasme, tiba-tiba perempuan berbaju biru bercelana jins di sebuah dunia paralel merasakan sesuatu yang lain di hatinya. Sontak dia melepaskan genggaman tangannya yang seolah menempel dengan laki-laki yang selama ini dicintainya. Entah kenapa ada desir lain yang tidak pernah muncul sebelumnya. Sebuah keraguan yang timbul dalam sebuah keyakinan. Kegamangan yang hadir dalam sebuah kepercayaan. Absurd.

Laki-laki yang berselimut kesendirian beranjak dari gerai kopi yang didatanginya sejak dua jam silam. Mulutnya bergumam merapal kembali kalimat yang sudah dia hapal benar. Kalimat yang tadi dihapusnya setelah seketika mendapatkan pencerahan. Laki-laki itu terus mengulang dan mengulang. Dia bilang “Jodohku malam ini mungkin sedang sibuk mengumbar kemesraan dengan orang yang dia anggap jodohnya”. Lagi-lagi sesaat setelah laki-laki yang nampak sedang berlari selesai mengucapkan kalimat itu, hati perempuan berbaju biru bercelana jins di dunia paralel mendadak hangat. Entah karena apa.

Senin, 04 Februari 2013

L.I.M.A.


Pernah suatu hari beberapa bulan yang lalu di shout box blog saya ada yang nulis “Ini blog gay bukan sih?”

Kaget. Waktu itu saya tidak bereaksi apa-apa tapi kemudian saya bertanya  apakah tulisan saya terlalu “girly” untuk seorang laki-laki? Mungkin jawabannya iya. Laki-laki berperawakan lumayan besar menulis dengan bahasa mendayu-dayu berpedoman pada kaidah diksi dan berlindung dalam makna-makna terselubung pasti akan dipikir kemayu. Entah kemudian itu dianggap sebagai gay atau bukan. Siapa yang salah? Saya? Bukan. Yang salah kultur kita yang mengkotak-kotakan jenis kelamin berdasarkan patokan yang entah dari mana juga awalnya. Laki-laki itu harus suka warna biru. Perempuan itu merah. Dan pink untuk banci. Stigma sudah terpola turun menurun.

Soal tulisan-tulisan saya, malah banyak yang mengira kalau saya adalah seorang perempuan. Perempuan yang dianiaya takdir dan jalan kehidupan. Perempuan yang menulis dengan hati berdarah-darah atau paling tidak menulis dengan air mata yang menetes perlahan. Saya tertawa. Sungguh. Tidak ada niatan dari awal untuk membuat pencitraan semacam itu. Saya hanya menulis yang kemudian menemukan pola tersendiri. Sebuah ciri. Cara yang membuat saya nyaman. Cara yang membuat saya menulis mengalir seolah tanpa beban.

Salah saya. Dari permulaan tulisan-tulisan saya memang ambigu sudut pandangnya. Orang yang membaca bisa mengartikan apa saja. Membentuk karakter saya seperti siapa saja. Bisa perempuan, bisa laki-laki atau bahkan bisa diantara keduanya seperti yang dipertanyakan seseorang di shout box taman aksara. Apa saya keberatan? Tidak. Apa saya kemudian murka? Lebih tidak terpikirkan.

Orang bilang tulisan saya memiliki ciri. Ciri yang saya temukan ketika saya terus berjalan. Menuliskan kisah-kisah pendek yang saya rasakan atau sesuatu yang muncul begitu saja dalam pikiran. Ciri yang kemudian mengantarkan saya pada nyaman dan kekhasan. Pernah seorang sahabat menyampaikan keberatannya ketika saya menulis tidak dengan “cara” saya. Katanya di tulisan tersebut saya tidak menjadi saya. Padahal saya ingin belajar menulis dengan banyak ragam. Mengkayakan kemampuan dalam menceritakan apa yang saya rasakan. Tapi dia benar, cara yang lain itu tidak membuat saya nyaman karenanya saya kembali lagi ke titian awal. Menulis dengan taburan diksi. Menjadi diri saya sendiri.

Dan hari ini tempat saya belajar dan kemudian menemukan ciri tengah berulang tahun. 5 tahun silam, sebuah taman dibangun sebagai tempat bercerita. Apa saja. Dari mulai hal konyol hingga percintaan dan penderitaan, meski dua hal yang saya sebutkan belakangan adalah tema yang paling sering ditampilkan. Di taman tersebut, apisindica si lebah madu mengalami berulang-ulang metamorfosis sempurna, membentuknya menjadi pribadi yang (mudah-mudahan) tangguh. Tidak hanya dalam menulis tetapi juga dalam kehidupan nyata di luarnya.

5 tahun bukan waktu yang sebentar. Ratusan tulisan sudah terpampang dihidangkan. Tidak pernah terpikir kalau akan dibaca oleh sekian banyak orang. Tidak pernah terbanyang lewat tulisan, saya mendapatkan sekian banyak teman. Sahabat yang menjadi alasan terkuat untuk saya tidak berhenti mengurai cerita. Tidak lantas mati dalam menuliskan apa saja. Kalianlah alasan kenapa taman aksara masih ada sampai sekarang.

Memang saya tidak seproduktif dulu. Kesibukan memberangus banyak alur cerita yang temanya sebetulnya sudah ada di kepala. Terlalu sering bergulat dengan tulisan ilmiah, membuat otak saya buntu menulis sesuatu di luar itu. Tapi saya berusaha. Tetap merawat taman aksara lewat kedatangan yang tidak bisa dipaksakan. Tidak rutin sehingga saya tidak bisa menjanjikan kapan bougenville di pojokan taman mengeluarkan kembang, atau kapan sakura stek-kan yang saya curi batangnya dari halaman kampus ranggas hingga bunganya berserakan. Saya tidak bisa menjanjikan. Tapi saya pasti bakal datang.

Di ulang tahunnya yang ke-5 seperti biasa taman aksara ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk orang-orang yang telah melungkan waktu datang menyambangi. Orang-orang terkasih yang sering menjadi sumber inspirasi, sahabat, kawan bahkan lawan. Kalian semualah yang menjadikan semuanya indah. Kalianlah yang membuat matahari di taman aksara tidak pernah bosan menyinari. Kalianlah yang membuat metamorfosis apisindica terus berlangsung tak kenal perubahan iklim alam.

Terima kasih sudah menjadi saudara dengan cara yang tidak biasa. Terima kasih sudah banyak mengapresiasi dan mengkritisi. Apisindica bukan penulis profesional, jadi mohon dimaafkan apabila banyak yang kemudian tidak berkenan. Baik dalam hal bentuk penyampaian, ataupun dalam hal tema yang dikembangkan. Apisindica hanya berusaha menuliskan apa yang sedang dia rasakan. Bergumul dengan sebegitu banyak perasaan yang membuatnya terus mensyukuri apa yang sudah dikaruniakan Tuhan.

Apisindica juga bersyukur memiliki kalian. Sumber kehidupan sebuah taman yang semoga tidak pernah pernah kerontang dilindas pergerakan zaman, sehingga masih bisa bertemu dengan hari ini di tahun-tahun mendatang.