Halaman

Selasa, 25 September 2012

While You Were Sleeping


Aku senang memandangi wajahnya saat dia sedang terlelap. Rasanya damai.  Seperti malam itu di ruang preparasi laboratorium mikrobiologi di kampusku, kampus kami. Dia tidur seperti bayi, tidak terganggu oleh aktivitasku yang hilir mudik mengerjakan penelitian tugas akhir jaman kuliah sarjana dulu.

Awalnya dia tidak mau menemaniku, katanya tidak ada kerjaan menunggui orang yang sedang menghitung jumlah bakteri per dua jam hanya untuk melihat kurva pertumbuhannya. Melihat kapan bakteri-bakteri itu mulai tumbuh pesat, lalu tumbuh stagnan kemudian mengalami fase kematian. Otak tekniknya menganggap pekerjaanku hanya buang-buang waktu. Sesuatu yang tidak perlu dikaji secara teliti.

Hal-hal seperti itu biasanya menjadi sumber pertengkaran. Sampai aku bosan melayani dan dia bosan mempertanyakan. Kami hanya melakukan kewajiban ‘menemani’ seperti apa yang dilakukan pasangan lain. Menguatkan secara emosi meski kadang tidak bisa membantu secara fisik. Seperti beberapa hari sebelum malam itu, aku merajuk untuk ditemani menginap di lab. Dan dia menolak layaknya biasa. Bagi dia kalau bisa berkata tidak untuk apa mempermudah keadaan dengan mengatakan iya. Aku sudah hapal benar tabiatnya. Sialan.

Aku tetap bertahan. Keukeuh minta ditemani dengan alasan tidak ada partner lain yang mengerjakan hal serupa. Biasanya aku memang tandem dengan teman-teman lain yang tema penelitiannya relatif serupa. Sayang, hari itu tidak ada yang merencanakan melakukan pekerjaan yang sama sehingga aku harus mengerjakannya sendirian. Tidak masalah sebetulnya, karena meskipun tandem kami akan bekerja sendiri-sendiri, hanya saja merasa tertemani.

Rumor mengenai keangkeran kampus kami, termasuk “si gaun merah” penghuni selasar di lantai 4 lab mikrobiologi yang menyebabkan aku tidak pernah berani bekerja sendirian malam hari. Apalagi harus menginap. Karenanya aku mengajak dia, yang berstatus sebagai kekasihku untuk menemani. Tidak peduli kalau nanti dia hanya tidur di kasur lipat yang sengaja aku bawa dari rumah, setidaknya aku tidak merasa sendiri. Ada dia, meskipun dukungan terbesar yang bisa dilakukannya hanyalah terlelap dengan nyenyak.

Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Rasanya damai. Seperti malam itu ketika aku di sela-sela waktu jeda duduk memeluk lutut di sebelahnya. Tanpa banyak suara aku hanya mengamati. Menelisik hampir setiap bagian tubuhnya yang malam itu lagi-lagi dibalut jaket himpunan kebanggaannya. Jaket himpunan yang sering berbau tidak enak saking jarangnya bertemu air dan sabun. Jaket himpunan yang pernah aku ambil diam-diam dari kosannya untuk kemudian aku laundry di binatu dekat kampus.

Aku senang memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Rasanya damai. Dan sepertinya aku kecanduan. Terpuaskan hanya dengan memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap. Menyihirku agar tidak kesal dengan kebiasaannya yang bisa tidur di mana saja dan kapan saja. Tidak peduli saat itu kami sedang berdiskusi, atau sedang duduk saling bersisian sambil menonton DVD secara marathon di kosannya yang berantakan. Kalaupun aku mengutarakan kekesalanku, maka dengan cekatan dia akan mengucapkan kalimat andalannya “Kalau dekat kamu itu rasanya nyaman. Membuatku aman” Gombal.

Kebiasaanku memandangi wajahnya ketika dia sedang terlelap harus dihentikan saat kami berdua mencapai titik akhir sebuah tujuan. Kelulusan. Meskipun aku dan dia berbeda angkatan, tapi kami lulus berbarengan. Dia terlambat dengan alasan bahwa lulus kuliah di jurusan teknik tidak semudah lulus dari jurusanku yang hanya dengan menghitung jumlah bakteri bisa naik ke podium dan dinyatakan berhasil menyabet sebuah gelar.

Setelah lulus, dia harus pulang ke kampungnya. Mungkin lebih tepat ingin pulang karena jiwa aktivisnya membuat dia ingin membangun kampung halamannya. Aku tidak memaksa dia untuk tetap tinggal. Percuma. Dia tipikal orang dengan sifat kalau memiliki keinginan maka harus dilaksanakan atau setidaknya diperjuangkan, dan aku sebetulnya bangga. Sayangnya kami tidak percaya dengan LDR, Long Distance Relationship yang sering kami pelesetkan menjadi Lots of Drama Relationship.  Kami harus mengambil satu keputusan. Perpisahan.

Terakhir aku bertemu dengannya di bandara ketika aku mengantarnya. Setelah itu tidak pernah ada kabar berita. Masing-masing dari kami saling menjaga hati untuk tidak saling menyakiti. Saling berkirim kabar hanya akan membuat luka yang menganga menjadi semakin menganga. Menyulitkan hati untuk kembali membuka diri.

Waktu menyembuhkan. Putaran hari membuat perasaan termanipulasi. Seolah-olah kenangan itu terbenam dalam padahal sebetulnya terkubur dangkal. Membuat perasaan hati seolah mati padahal dia hanya mati suri. Mudah sekali dibangunkan oleh sesuatu yang sebetulnya tidak terlalu berkesan. Perasaan itu pernah terbangun ketika aku memperoleh kabar dari seorang rekan kalau dia sekarang bermukim di jakarta. Di kota yang sama dengan tempat aku tinggal. Meski begitu kami tidak pernah saling mencari. Kami merasa apa yang sudah terjadi di belakang memang harus di simpan di belakang.

Sampai kemarin. Senin, 24 September 2012. Aku bertemu lagi dengan dia untuk pertama kalinya sejak perpisahan di bandara 9 tahun silam. Aku bertemu lagi dengannya di bandara yang sama. Dan entah konspirasi macam apa yang telah diatur dunia sehingga aku harus sepesawat dengannya dan duduk sejajar hanya dipisahkan oleh sepetak gang. Aku bertindak wajar seperti halnya dia. Tidak banyak perbincangan karena baik aku atau dia masih dikejutkan oleh kebetulan yang rasanya menyesakkan. Kami hanya dibalut diam.

Kebiasaanya ternyata tidak banyak berubah. Layaknya dulu, sore itu dia memakai jaket company tempat dia bekerja. Tidak lama setelah pesawat lepas landas dia kemudian asyik terlelap dilambung impian. Aku diuntungkan. Memiliki kesempatan untuk mentamasyakan hati untuk bernostalgia dengan apa yang dulu sering aku lakukan. Mengamati wajahnya yang damai ketika dia sedang tidur terlelap.

Puluhan kenangan berlarian minta ditayangkan.Seringnya baur terkadang jelas seperti baru saja kejadian. Tapi tidak banyak yang bisa dilakukan. Apalagi kemudian aku melihat sebuah cincin yang melingkar di salah satu jari manisnya.

Balikpapan, 25 September 2012.

Sabtu, 22 September 2012

Mamak Paraji


Ibuku seorang mamak paraji. Dia mendapatkan uang dari hasil orang mengejan. Dia memperoleh bayaran ketika membantu seorang ibu berjuang mengeluarkan bayi melalui proses yang dikenal dengan nama melahirkan.

Ibuku seorang mamak paraji. Dari kecil aku sudah akrab dengan suara tangisan bayi yang bisa terjadi kapan saja tidak kenal waktu. Bisa siang ketika benderang tapi tak jarang juga malam ketika katanya banyak hantu-hantu gentayangan. Bukan hanya suara tangisan bayi, aku juga sudah terbiasa dengan jeritan ibu-ibu yang geram karena kesakitan. Tak jarang aku mendengar ibuku dicaci dan dimarahi karena bayi yang ada di perut tak kunjung keluar. Anehnya ibuku yang seorang mamak paraji hanya diam.

Sebetulnya aku sedikit tidak senang ibuku berprofesi sebagai mamak paraji. Bukan karena aku tidak tahan melihat darah atau tidak tega melihat ibuku dimarahi orang yang sedang mengejan. Aku tidak begitu senang karena waktu ibu buatku menjadi sangat minim. Memang aku tidak pernah kekurangan kasih sayang, apalagi uang jajan tapi waktu ibuku menjadi sangat tersita. Sedari dulu aku harus belajar berbagi, ibuku bukan hanya milikku satu.

Ibuku seorang mamak paraji. Dia menghidupiku dari uang hasil orang mengejan. Berkolaborasi sempurna dengan bapakku yang seorang mantri kesehatan, menjadikanku makan dan sekolah dari uang para pasien yang bertandang. Lewat tangan para pasien-pasien itu dapur di rumah kami tetap mengepul. Lewat rezeki yang datang dari pasien-pasien itu aku bisa bersekolah di tempat yang bagus, menyemai mimpi agar suatu saat aku bisa menjadi mamak paraji seperti ibu atau mantri kesehatan layaknya bapak.

Pernah suatu hari aku bertanya kepada ibuku yang seorang mamak paraji kenapa dia seperti tidak pernah lelah. Seakan waktu baginya lebih dari 24 jam dalam sehari semalam. Dan aku tidak mendapatkan jawaban. Sebagai gantinya ibuku yang seorang mamak paraji membisikanku sesuatu. Dia bilang dia tidak pernah lelah karena dia punya mantra rahasia yang bisa mengenyahkan lelah dalam sekali hentakan. Aku mengejarnya dengan pertanyaan apa bunyi mantra tersebut. Otak kanak-kanakku tertarik dengan mantra seperti aku tertarik pada kembang gula sehingga dengan sabar aku menunggu ibu memberitahukan rahasia itu. Masih berbisik ibu memberitahukan rahasia itu langsung ke arah telingaku. Kata ibu mantra itu “uang...uang...uang”.

Ibuku seorang mamak paraji. Dia tidak menTuhankan uang, tidak menganggap kalau uang adalah sumber segala kebahagiaan. Ibu pernah bilang kalau kita melayani dengan tulus dan iklhas maka uang akan mengikuti sebagai imbalan. Setimpal dengan kerja keras yang sudah kita lakukan. Itu yang terus diajarkan ibu kepadaku. Uang bukan segala-galanya, tapi melihat kebahagiaan di wajah orang-orang yang sudah terlayani dengan tulus akan membuat semuanya lebih mudah. Membuat semua kesukaran akan menemukan jalan keluar termasuk penghidupan.

Ibuku seorang mamak paraji, dari tangannya mungkin sudah ribuan bayi diperkenalkan pada dunia luar. Tapi meskipun demikian, dia belum pernah menolong seorang bayi yang sampai kini masih diidam-idamkannya. Bayi mungil dimana ada darahnya yang ikut mengalir di dalam arteri dan aorta bayi tersebut. Bayi yang pastinya lucu. Bayi yang merupakan sumber banyak kebahagiaan. Bayi yang akan meneruskan silsilah keturunannya. Anakku. Cucu ibu.

Hari ini ibukku yang seorang mamak paraji merayakan hari jadinya yang ke-54. Dan sampai hari ini pula aku masih menyesal karena belum bisa memberinya seorang keturunan. Memang ibuku yang seorang mamak paraji tidak menuntutku berlebihan, tapi aku tahu kalau dia diam-diam menginginkannya. Tidak banyak bicara tapi aku yakin kalau ada keinginan itu terselip diantara doa-doanya.

Selamat ulang tahun mamak paraji. Semoga umurmu dipanjangkan oleh Allah SWT, dilimpahi banyak kebahagiaan dan diberikan keberkahan lewat tanganmu yang tidak pernah berhenti menolong orang. Tidak banyak yang bisa aku berikan, hanya setangkup doa agar sisa umurmu menjadi berkah yang akan membuatmu menjadi bagian dari orang-orang yang mulia. Amin.

Tiap tahun aku tidak bosan untuk juga meminta dimaafkan atas segala kesalahan dan ketidakmudahan selama aku menjadi anakmu. Atas kesabaranmu mendidik dan membesarkan aku. Kesabaran menunggu aku memberimu cucu. Ah sudahlah, bukankah semua itu pasti ada waktunya, aku hanya sedang menunggu giliran seperti apa yang sering engkau bilang. Yang pasti aku akan terus berusaha membahagiakanmu. Dengan caraku.

Ibuku seorang mamak paraji, dan hari ini dia sedang berulang tahun. Meskipun demikian dia tidak berhenti dari kegiatannya menolong orang yang sedang mengejan sambil merapal mantra andalannya. Uang...uang..uang...


Selasa, 18 September 2012

Tak Perlu Cemburu


Seharusnya aku tidak perlu cemburu.

Ya seharusnya. Karena sudah dari dulu kamu tidak pernah tertarik dengan aku. Kamu hanya menganggap aku sebagai seorang sahabat, tidak lebih. Sahabat yang kemudian lambat laun pernah menyemai cinta yang datangnya tiba-tiba. Cinta yang datang begitu saja. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh pergi.

Awalnya aku mengira itu hanya sementara. Buah dari kedekatan yang intens. Reaksi dari pertemuan dan percakapan yang terlalu sering. Kemudian aku merasa nyaman. Merasa menemukan pelabuhan untuk sekedar menambatkan hati. Menguntai serakan kelopak rasa yang datang tiba-tiba. Tanpa permisi, tanpa bisa disuruh pergi.

Dan aku salah. Rasa itu tidak lantas mau pergi bahkan ketika waktu sudah banyak berlalu. Rasa itu mengendap, tidak mudah dienyahkan bahkan ketika sudah banyak hati lain yang datang bergantian. Rasa itu seperti tidak mau mati, minta dituntaskan padahal sudah tidak ada jalan.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Membelanjakan perasaan yang ujungnya hanya berupa jalan tak bertuan. Harusnya aku hanya menjadi pendengar setia ketika kamu dengan antusias menceritakan seseorang yang sekarang sedang dekat bersamamu. Seseorang yang katanya membuatmu utuh karena mengisi banyak kekosongan di hatimu. Seseorang yang mampu memberimu semangat ketika banyak halangan yang harus disingkarkan. Seperti aku terhadapmu. Dulu.

Coba kamu dengar lebih seksama. Kalaupun aku lebih banyak diam dan mendengarkan ketika pagi itu kita duduk berisisian, hati aku gaduh. Ramai oleh banyak sekali keberatan yang terlontar tanpa perkataan. Aku lebih banyak diam seolah menyimak dengan benar tentang dia yang kamu bangga-banggakan, seolah aku antusias dengan apa yang kini kamu rasakan. Padahal semua itu adalah caraku meredam gaduh. Mengalihkan ramai yang hati tengah rasakan.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Bahkan ketika nama laki-laki itu muncul di layar telponmu, atau ketika kamu berbicara sambil setengah berbisik kepadanya. Seharusnya aku tidak perlu cemburu pagi itu. Tapi aku mendadak berharap tuli, tidak ingin mendengar apa yang kalian perbincangkan. Berharap kalau suara tidak bisa merambat melalui udara dan hanya sebuah momentum yang hanya menghubungkan mulutmu dengan telinganya dan sebaliknya. Aku tidak perlu terlibat.

Entah bagaimana caranya membunuh cinta. Atau setidaknya rasa yang mengendap kalau itu tidak lagi layak dikatagorikan cinta. Aku bosan diganduli perasaan yang masih terus saja mengganggu padahal aku tahu ujung jalannya serupa buntu. Tidak akan pernah ada jalan keluar, karena selayaknya aku, kamu juga bertahan. Bertahan untuk tidak lantas peduli. Bertahan untuk menganggap apa yang pernah aku lakukan dan utarakan hanyalah setangkup masa lalu.

Memang akhirnya selalu aku yang bersalah. Tidak perlu diberi tahu karena aku sadar benar kalau apa yang aku jalankan adalah sebuah langkah yang keliru. Memupuk perasaan yang seharusnya sudah dienyahkan ketika malam itu, di kostmu kamu berkata bahwa diantara kita tidak mungkin ada apa-apa. Ada yang harus lebih dihormati selain cinta yang tumbuh tanpa permisi, persahabatan itu sendiri.

Seharusnya aku tidak perlu cemburu. Yang perlu aku lakukan hanyalah membunuh rasa yang sudah sekian lama mengendap. Entah dengan cara apa.

Jumat, 14 September 2012

Pertengkaran Itu...


Gelap. Hanya hitam yang kemudian kudapati sesaat setelah sensasi kilatan cahaya menyelinap menghampiri mata. Aku terpelating, badanku tidak siap menerima gerakan yang tiba-tiba sehingga badanku mencium lantai sepenuhnya.

Kurasakan panas yang menjalar di seputaran mata, merambat perlahan yang kemudian menjelma menjadi sebuah kesakitan. Dalam kondisi masih gelap dan badan yang juga masih luruh di atas lantai, aku mencoba meraba-raba. Mencari sedikit cahaya yang bisa menuntunku berdiri. Tapi sebelum cahaya itu kutemui, rasa panas di seputaran mata itu semakin menjadi, membakar retina sampai keluar air mata.

Dengan kekuatan yang sedikit tersiksa, aku mencoba berdiri dengan menopangkan tangan di sudut meja. Sedikit demi sedikit kesadaran aku pulih meskipun rasa sakit yang mendera kepala berubah menjadi pening yang berputar-putar tidak karuan. Aku tak abaikan, aku terus mencoba berdiri, mengumpulan keberanian untuk melihat dalam keremangan yang mengelabui jarak pandang.

Kucoba mengingat, mengurai rentetan peristiwa yang hanya terjadi dalam hitungan 10 jari. Panas masih menjalar di mata sebelah kananku sementara air mata terus mengalir seperti berusaha meredam panas yang tercipta dan mencegahnya gosong hingga menjadi bara. Rentetan peristiwa itu justru baur ketika aku mecoba menguntainya menjadi sebuah jalan cerita yang utuh. Seperti ada bagian-bagian yang hilang berserakan entah ke arah mana. Aku masih terus mencoba berdiri sementara dadaku penuh, memburu, tersumbat emosi.

Lambat laun aku bisa menginderai sesuatu. Seseorang yang aku kenal benar sedang duduk gemetar juga di atas lantai. Mukanya pucat seperti habis melihat hantu, tangan kirinya menutupi tangan kanannya yang bergetar hebat. Aku masih menangis, efek dari rasa panas dan pusing yang masih berdiam di dalam kepala. Sementara dia hanya diam. Tidak berusaha menolong tidak juga berusaha menghindar. Kami saling berpandangan.

Tiba-tiba aku berteriak di awal kesadaranku yang mulai pulih. Aku menemukan kewarasanku tentang semua peristiwa yang tadi sempat hilang melompat-lompat dalam impuls syaraf seumpama gerak brown. Acak. Tidak karuan. Aku berteriak seperti orang kerasukan. Tubuh bergocang karena emosi yang meledak tiba-tiba seperti granat nanas yang dilemparkan ke medan peperangan. Aku meronta di tengah ketidakbedayaan. Aku terus berontak di tengah panas dan sakit yang mendera bagian kepala secara bersamaan.

Sementara dia masih gemetar. Wajahnya sepucat mayat. Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Tidak ada usaha untuk menghindar ketika aku mendekatinya dan mengangkat kerah baju di lehernya. Entah dengan kekuatan yang datangnya dari mana, aku memaksanya berdiri dan menyeretnya ke pintu apartemen yang terkunci. Dengan nafas yang masih saja menderu, aku membuka pintu dan mendorongnya ke arah gang kemudian menutup pintu dan menguncinya seperti tadi.

Aku bersandar di balik pintu, memelorotkan tubuh sampai duduk terkulai di atas lantai. Tidak aku pedulikan suara ketukan dan rengekan permintaan maaf dari balik pintu. Aku hanya diam seperti ditotok seumpama patung. Sadar tetapi tidak punya sedikitpun kekuatan untuk sekedar menggerakan badan. Perlahan aku menangis, pelan sampai kemudian terisak tanpa suara. Aku hilang faham, aku mutlak kehilangan akal atas apa yang barusan dia lakukan.

Bagaimana cinta membuatnya menjadi sedemikian brutal. Bagaimana mungkin takut kehilangan bisa membuatnya beringas dan bertindak tak memakai aturan. Banyak pertanyaan berseliweran di ranah pemikiran, sampai akhirnya aku sampai pada satu kesimpulan bahwa meninggalkannya merupakan keputusan yang tidak perlu ditinjau ulang. Berpisah adalah langkah paling tepat untuk digagas bahkan sebelum peristiwa barusan kejadian.

Aku mencintainya, dulu. Dia mencintaiku, katanya. Mungkin dengan porsi yang berlainan. Aku mencintainya dengan cukup sementara dia mencintaiku berlebihan. Dan mungkin karena aku tidak bisa menampungnya secara keseluruhan makanya dia membaginya dengan orang. Menyelingkuhiku di belakang. Dan aku tidak pernah punya ampun untuk sebuah perselingkuhan meskipun dia bersumpah telah memutuskan si selingkuhan dan meminta aku untuk balikan.

Tidak. Tidak akan pernah aku merubah pendirian untuk sebuah ketidaksetiaan. Bentuk memaafkan kesalahan yang paling tepat untuk sebuah perselingkuhan  adalah dengan meninggalkan dan tidak ingin diajak memulainya lagi dari awal. Kesempatan sudah disia-siakan maka tidak perlu lagi ada pembelaan atas dasar kekhilafan. Sekali terjadi tidak mustahil kalau hal tersebut akan berulang di depan. Dan aku tidak ingin jatuh kasihan dengan memberinya satu lagi kesempatan. Usai berarti akhir. Selesai adalah titik.

Malam itu, ketika udara di luar begitu mengigilkan dia datang lagi. Mengagas usulan untuk berdamai dan mengulang apa yang pernah hati bicarakan. Sayang aku sudah bebal, tidak mempan oleh berbagai rayuan ataupun maaf yang dimintakan. Aku memaafkan tapi tidak ada alasan untuk memulainya lagi seolah perselingkuhan adalah hal yang bisa mudah terlupakan. Aku bertahan dengan pendirian ingin sendirian. Aku berdiri pada titik menutup kesempatan pada permintaan yang dia ingin aku kabulkan.

Dan dia kalap. Tidak terima dengan sikap bertahan yang aku pertontonkan. Kami beradu argumen. Saling berteriak hingga suaranya menggema di lorong-lorong apartemen yang kosong. Tidak ada yang melerai, tidak ada satupun yang meredakan. Kami sama-sama bertahan pada keinginan yang justru berlainan. Dan ketika aku terpancing untuk terus berteriak sambil menunjuk-nunjuk tepat di bagian matanya yang hanya berupa garis lurus, dia bereaksi keras. Dengan kekuatan penuh dia mendaratkan tinjunya tepat di mataku sebelah kanan. Dua kali. Setelah itu gelap.

Aku masih bersendar di balik pintu yang tidak lagi mengeluarkan suara hasil ketukan. Masih menangis karena menyesali kemalangan sekaligus mensyukuri berkah atas apa yang baru saja Tuhan tunjukan. Orang yang selama ini aku sayang, yang perilakunya lembut dan tidak pernah mengumbar kekerasan tiba-tiba menunjukan tabiat aslinya. Dia melepas topeng yang selama ini dikenakannya, berubah wujud menjadi seseorang yang sama sekali tidak aku kenal.

Di luar hujan masih turun tidak berkesudahan. Hawa dingin menyelusup dengan leluasa lewat kisi-kisi jendela yang terbuka. Sakit di bagian kepala sekarang sudah menjalar ke bagian dada. Tepat di hati dia beranak pinak menjadi bilur-bilur yang mengeluarkan darah. Untung otak masih bisa diajak menganalisis langkah yang harus diambil sesudahnya, melaporkannya pada pihak yang berwenang atas dasar penganiayaan atau melupakannya dan membiarkannya hidup dalam sepenggal penyesalan.

Dan aku memilih bungkam. Tidak perlu memperpanjang persoalan karena akhirnya hanya malu yang akan terhidang. Biarkan saja waktu berjalan karena beberapa bulan ke depan aku akan pulang dan meninggalkannya sendirian. Beberapa bulan ke depan tidak ada lagi aku dan dia yang sekarang sudah dibandrol sebagai kenangan muram.

Tokyo, 19 November 2003
Ditulis ulang dari draft yang ditemukan terbujur di folder masa lalu.

Selasa, 11 September 2012

Berkemas


Berkemas untuk saya tidak pernah terasa mudah.

Ada banyak pertimbangan ketika menentukan mana yang harus disimpan dan mana yang harus dibuang. Ada berbagai macam ketakutan yang siap membayang ketika ‘terpaksa’ harus membuang sesuatu yang seharusnya disimpan, atau justru malah ‘terpaksa’ menyimpan sesuatu yang seharusnya dibuang dari awal.

Berkemas untuk saya bukan sekedar memilah. Berkemas untuk saya adalah sebuah proses yang mungkin panjang sebelum akhirnya saya tiba pada sebuah titik tujuan. Sebuah keputusan. Proses yang biasanya dibanduli rasa gamang berkepanjangan padahal untuk sebagian besar orang hal itu semudah membalikan telapak tangan.

Ketika ritul berkemas sudah akan dimulai, maka saya akan mengumpulkan semua perabotan dalam satu tumpukan di pekarangan. Satu per satu kemudian saya telaah mengenai asal muasal bagaimana dia datang, sampai pertanyaan apa untung dan ruginya ketika mereka saya simpan atau saya buang. Lama. Mungkin sebagain orang akan kesal melihat apa yang saya lakukan, terutama sahabat-sahabat yang sedari awal meneriaki saya ketika justru saya menyimpan sesuatu yang seharusnya saya buang.

Kadang saya tidak peduli. Seringkali perasaan saya mati. Saya tidak lagi dengan waras dapat membedakan mana yang perlu dibingkai dan mana yang perlu ditanam dalam. Saya percaya dengan apa yang saya yakini meskipun hal tersebut seringkali salah dan menyulitkan saya kemudian. Saya tidak pernah jera, padahal sudah banyak air mata yang tertumpah sia-sia hanya karena saya salah mengemasi tumpukan barang-barang yang bertaburan di pekarangan.

Mendadak saya tidak bisa berfikir panjang ketika saya dihadapkan pada sebuah pilihan ketika berkemas. Otak saya memboikot tidak mau berfungsi sebagaimana mestinya, dia mangkir dari tugasnya mendampingi hati. Karenanya hati bekerja sendiri, dan sudah bisa ditebak ketika hati bekerja tanpa diproteksi nalar maka dia cenderung untuk bergerak tidak sesuai porsi. Hati berontak ketika ‘dipaksa’ mengenyahkan barang yang penuh dengan bilur kenangan yang selayaknya dibuang.

Hati pasang badan. Siap menanggung apapun yang mungkin nanti akan kejadian. Dia seolah sok pintar dan berlagak penuh pengalaman. Sayang hati yang saya punya, yang saya kerangkeng dalam rongga dada dan selapis diafragma, tidak pernah mau belajar. Dia egois tanpa saya bisa berbuat lebih. Dia berujar kalau dia kuat menahan semua siksaan dan akan memikulnya sendirian. Tentu saja dia berbohong, karena ketika dia mendapat ganjaran dari kesalahannya mengemasi kenangan maka saya ikut ketiban sial. Ikut merasakan kesakitan.

Buat saya berkemas adalah suatu proses panjang. Pergulatan hati dan nalar yang sering kali menolak untuk bekerja berbarengan. Mungkin otak saya sudah bosan, makanya dia bungkam dan menyuruh hati yang bergerak sendirian. Memilah dan memilih kenangan mana yang ingin disimpan, membuatnya bingung sehingga seringkali dia salah jalan. Keliru mengambil keputusan.

Atau jangan-jangan hati dan nalar saya sebetulnya berkomplot. Bekerja sama memberi saya pelajaran bahwa kesakitan yang terus disimpan akan membuat keropos perasaan berkepanjangan. Jangan-jangan mereka bersekongkol, membuat saya salah mengemasi kenangan agar saya belajar. Dan bagai anak bodoh yang tidak bisa menurunkan sebuah rumus aljabar, berulang-ulang saya dibuat tidak naik kelas karena saya tertambat di belakang. Di masa lalu yang kenangannya seharusnya dibuang atau dijadikan cerminan untuk berjalan lebih lapang.

Untuk saya berkemas itu adalah, entahlah...